[Fanfiction] Shinsa-dong Geu Saram – Songfict / Choi Minhwan FT Island

Title: Shinsa-Dong Geu Saram (Songfict from FT Island’s Song: That Person In Shinsadong)

Author: Asuka

Casts: Choi Minhwan FT Island as Choi Minhwan || A Girl as Shim Nayeon (OC) || FT Island members as their self || and others support casts

Genre: Songfic, Angst (again -_-“), Friendship, AU

Rate: PG-15

Disclaimer: Semua karakter di dalam fiksi ini murni bukan milik saya, hanya OC dan Plot lah yang berhak saya claim. Lagunya milik FT Island, Minhwan-nya milik Tuhan dan keluarganya, so dont bashing me! Please respect me as an author ^^ silakan komentar dan dukung tulisan ini agar lebih baik lagi 🙂
A/N: Tulisan yang warna biru itu artinya flashback.

Others Songfict: Waiting (Kim Jun T-Max) || Sorry (Song Seunghyun FT Island)

Copyright Asuka_10/10/2013

-o0o-

Himihan bulbitsairo majuchineun geunun-gil pihalsu eobseo
Aku tak bisa melihat jauh dari mata yang aku temui di bawah cahaya redup
Nadomollae sarangeul leukkimyeo mannatdeon geusaram
Orang yang kutemui sambil diam-diam merasakan cinta
Haengyeo oneuldo dasimannalkka
Hari ini juga berharap bertemu lagi
Geunalbam geujarie gidarineunde
Malam itu di tempat yang sama aku menunggu

Sesekali nyala lampu di atasku berkedip disertai bunyi desisan yang mengkhawatirkan. Hampir-hampir padam dengan sebagian sudutnya yang menghitam. Aku mengabaikannya, karena bukan itu alasanku berada di sini. Benda yang berada dalam telapak tanganku sekarang inilah yang menjadi sugesti terbesar.

Hah konyol, seorang drummer dari sebuah band terkenal sepertiku (haha aku terlalu percaya diri) rela memajang seluruh tulang rangka di bawah lampu jalan seperti ini hanya untuk seseorang yang bahkan belum kusapa secara langsung? Terdengar gila, tapi sungguh dorongan dari dalam diri memaksaku untuk bisa mengulangi kejadian hari itu. Masih dengan harapan yang sama, berharap dapat berjumpa kembali di tempat yang sama pula.
Tepatnya minggu lalu.

Sepulang dari sebuah acara off-air yang mana kami menjadi salah satu pengisi acaranya, Seunghyun mendadak ingin mampir ke sebuah toserba di Shinsa-Dong, Gangnam, hanya untuk membeli cardigan dan sarung tangan yang ujarnya untuk hadiah ulang tahun sang adik besok pagi. Parahnya, dia mengajakku ikut serta sementara member yang lain menolak untuk turun dari mobil van. Aku akan berkelit jika saja Seunghyun bukan teman sekamarku.
Sewaktu bocah ajaib itu memilih beberapa sarung tangan kulit, aku berusaha membunuh rasa bosan dengan cara menyetel lagu dari ponsel dan mendengarnya melalui earphone yang hanya kugunakan sebelah saja. Waktu terasa lama ketika kita menunggu.

Aku hanya merunduk sedikit sembari merapatkan topi ketika kerumunan remaja putri melintas di depan. Mereka bisa saja mengerubutiku jika tahu seseorang yang berdiri di depan sebuah toko di kawasan Shinsa-Dong ini adalah Choi Minhwan FT Island. Hingga kemudian perhatianku teralihkan pada seorang gadis dengan rambut panjang terurai berbalut topi wol putih yang tampak kebingungan. Berkali-kali ia memegangi kepalanya dan berputar, seakan hendak bersembunyi dari seseorang yang lain.

Ia yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatku, dengan mudahnya bisa kuamati. Gesturnya benar-benar setengah panik, decakan demi decakan teruntai dari bibirnya yang sesekali ia gepit menggunakan gigi atas. Puncaknya, gadis itu mengibaskan tangannya di kepala sehingga tanpa ia sadari topi wolnya terlepas dan jatuh. Berikutnya sepasang kaki itu berlari menuju pintu keluar.

Baru kusadari topi itu tergeletak di dekat kakiku, aku segera memungutinya dan bergegas menyusul orang itu. Siapa tahu aku berhasil mengembalikan benda ini padanya. Begitu tiba di pintu keluar, sosok gadis berjaket abu-abu itu ternyata telah berada di seberang jalan sana. Ia meremas kedua tangannya secara bergantian dan tanpa sengaja ia menoleh tepat ke arahku. Pandangan kami bertemu pada satu titik.

DEG

Tiba-tiba saja aku membeku di pijakan sambil menggenggam topinya. Iris gelap itu tampak meredup di bawah tiang lampu jalan yang hampir mati. Kerisauan mengerumuninya. Ia menghela nafas sebelum akhirnya memalingkan wajah ke arah kanan, ekspresi wajahnya menyiratkan sesuatu yang tersembunyi di balik alat optik tersebut.

Aku masih mematung ketika gadis itu menyetop taksi lalu memasukinya dan melesat pergi. Merasa aneh dengan dentuman yang memenuhi rongga dada sebelah kiriku, getaran yang menggelikan.

“Apa aku mulai tidak waras?” Gumamku sambil meraba rusuk kiri yang masih meronta liar. Aku belum pernah terpana secepat ini sebelumnya, apalagi kepada seseorang yang tidak kukenal. Tidak juga pada member girlgroup yang beberapa waktu lalu sempat membuat fansku bersedih hati.

Mata yang kutemui tadi, mata itu. Aku tidak ingin melupakannya cepat-cepat. Aku tidak ingin beralih pada yang lain. Tangan kiriku terangkat begitu saja dan topi wol putih itu tersaji di depanku. Kuamati dengan segaris senyum samar, mungkin saja karena ini gadis tadi akan kembali lagi ke tempat yang sama.

“Shim… Na- Yeon…?” Mulutku mengeja sebuah tulisan berwarna hitam yang terpahat di bagian lipatan depan topi tersebut. Mengulanginya beberapa kali, dalam hati tentu saja.

“Minani! Aku mencarimu kemana-mana, kupikir kau diculik siluman ayam!” Celetukan iseng dari Seunghyun menarikku kembali ke alam nyata, berikut melemparinya dengan tatapan protes—sebab selain mengejekku ia juga memotong imajinasiku.

“Sudahlah! Kau sudah dapat barangnya, bukan? Ayo pulang, aku ingin lekas tidur.” Aku menyeret tubuh jangkung itu sampai ke mobil van di mana Hongki Hyeong sudah membuka jendela mobil sembari melambai ke arah kami, menyuruh untuk lekas naik.

Geusaram ojianko nareul ulline
Orang itu tidak datang membuatku menangis
Siganeun jajeongneomeo sebyeogeuro ganeunde
Waktu telah melewati tengah malam dan menjadi dini hari
Ah~ geunalbam mannatdeon saram
Ah~ orang yang kutemui malam itu
Nareul ijeusyeonnabwa
Pasti sudah lupa padaku

Benar ‘kan? Aku takut untuk mengakui firasat ini benar adanya. Orang yang kunantikan tak tampak hingga sekarang. Jika aku tak setua ini, mungkin saja air mataku sudah turun dengan bebasnya. Kecewa, hasrat untuk melihatnya sekali lagi harus pupus.

Jam di pergelangan kiriku sudah menunjukkan waktu yang melewati batas tengah malam, bahkan hampir dini hari. Aku terus saja mengabaikan panggilan masuk ke ponselku yang sejak setengah jam lalu tiada mengistirahatkan diri. Kalau bukan manager, pasti Jonghun Hyeong. Mereka semula memang melarangku keluar malam ini karena besok kami harus melakukan sesi rekaman demi single terbaru.

Hey gadis bernama Shim Nayeon, kenapa kau tidak muncul juga? Tidakkah kau ingat topi wolmu yang tercecer ini? Kau begitu mudah melupakannya, dan apakah itu juga berlaku padaku? Ah, pasti benar saja. Benda yang pernah ia kenakan saja dapat terlupa, apalagi diriku yang hanya bersitatap selama beberapa detik dengannya?
Orang itu, dia jelas sudah lupa padaku. Bahkan mungkin, tidak menyadari keberadaanku saat itu.

-o0o-

Himihan bulbitsairo ogogadeon geunun-gil eceolsu eobseo
Aku tak bisa menolong mata yang aku temui di bawah cahaya redup
Nadomollae maeumeul jumyeonseo saranghan geusaram
Orang yang kuberikan hati dan cintaku secara diam-diam
Oneulbamdo haengyeo mannalkka
Malam ini juga berharap bertemu lagi
Geunalbam geujarie maeum seollemyeo
Malam itu di tempat yang sama dengan hati berdebar

Guliran hari tidak serta merta memampatkan ingatanku tentangnya, tentang Shim Nayeon yang belum jua kujumpai secara tatap muka. Mata kelam itulah yang sulit dilupakan olehku. Bolehkah aku menyatakan jikalau diam-diam aku telah menyukainya? Entahlah, ini sulit diprediksi.

“Kyaaaa… Minhwan Oppa! Tolong bubuhkan tanda tanganmu di sini,” Pinta salah seorang Primadonna dengan Pentastick di tangannya. Telunjuk mungil fans itu mengarahkanku untuk mencoretkan tanda tangan pada cover mini album spesial kami yang telah resmi dirilis kemarin.

“Gamsahamnida.” Usai menyerahkan kembali CD miliknya, aku menghadapi satu lagi fans yang sudah mengantri sejak tadi. Aku menanyakan apakah ia hendak ditambahi kata-kata atau semacamnya selain tanda tanganku, dan di saat bersamaan aku mendongak untuk melihatnya.

Mataku membulat, “Shim… Nayeon?” Spontan aku menyebut sebuah nama yang masih membekas dalam ingatanku. Praktis membuat Jaejin Hyeong serta Seunghyun yang duduk di sebelah kiri dan kanan tubuhku menoleh bingung. Mereka mungkin bertanya-tanya apakah aku mengenal salah satu Primadonna yang datang hari ini.

Gadis yang berdiri di depan mejaku itu memicingkan matanya lebih lebar, kemudian menggeleng. “Jwaesunghamnida, Minhwan-Ssi. Kkeundae, joneun Shim Nayeon ani-yeo. Suyeon, itu namaku.”

Sedikit tersentak malu karena keliru mengenali seseorang, aku meminta maaf lalu menuliskan namanya di atas cover mini album. Tidak habis pikir, wajah gadis ini mirip sekali dengan Shim Nayeon. Makanya saat pertama melihatnya, aku kira dia benar-benar gadis itu.

Fanmeeting berakhir pada tengah hari. Aku dan keempat member lainnya meninggalkan aula tempat acara diikuti manager. Di luar dugaan, gadis yang mengaku bernama Suyeon tadi menunggu kami tak jauh dari mobil van. Awalnya manager memintanya mengurungkan niat untuk menemui kami karena mengingat jadwal kami yang penuh, tetapi saat kuketahui jikalau ternyata orang yang dimaksud olehnya adalah aku, dengan susah payah kudapatkan izin dari manager agar diperbolehkan bicara empat mata dengannya.
.
.
.
“Jadi, kau adalah saudara kembar Shim Nayeon?” Macet rasanya saliva yang hendak kudorong melewati tenggorokan, tercekat pada penjelasan Shim Suyeon—gadis yang salah kukenali tadi. Ia tampak menghela nafas, sebelum berujar lagi.
“Itu benar. Nayeon adalah kakak kembarku, dan aku sempat terkejut ketika tadi kau menyebut namanya padaku. Nayeon bukan fangirl sepertiku yang bebas melakukan hal menyenangkan semaunya. Dia.. terlanjur bergantung pada tiap keputusan orang tua ka— ah, maafkan aku. Seperti aku lancang membicarakan masalah ini padamu,” Suyeon menundukkan kepalanya sekali, dan aku semakin ingin tahu apa yang sebenarnya tersembunyi.

“Tak apa. Kau pantas heran, dan mengenai bagaimana aku bisa tahu namanya, eum itu karena beberapa bulan yang lalu aku sempat bertemu dengannya lalu memungut benda ini,” kukeluarkan topi wol putih dari tas kecil milikku dan memperlihatkannya kepada Suyeon.

“Terjatuh saat Nayeon pergi dengan buru-buru. Ketika hendak memanggilnya, dia keburu menyelinap ke dalam taksi. Aku pikir dengan menunggu di tempat yang sama, di jam yang sama, dia akan kembali. Tapi ternyata tidak. Aku tidak pernah lagi melihatnya di seberang jalan Shinsa-dong.”

Suyeon bergeming menatap topi wol berukirkan nama Shim Nayeon pada permukaannya itu. Setelah hening selama hampir satu setengah menit, Suyeon tengadah menatapku lagi.

“Apa alasan seorang idola sepertimu menyimpan benda asing semacam ini?” Pertanyaan itu hampir menyamai seorang psikolog atau bahkan agen polisi wanita yang tengah mengungkit kasus misteri. Apa dia bisa membaca isi hatiku hanya dengan bersitatap, huh?

Aku tak jadi meneguk minuman kaleng yang kubeli dari kafetaria FnC Academy, “Ah- masalah itu, aku sendiri kurang yakin. Tapi sejak mendapati saudarimu itu dengan mata redupnya, aku tidak bisa menahan rasa membuncah yang aneh dalam dadaku. Menurutmu ini apa?” Yah, lihatlah sekarang. Suyeon ini bukan lagi sekedar fans dari band kami, dia juga merangkap sebagai pendengar yang baik, menurutku.

Mendadak saja gadis berambut pirang itu terkikik tidak jelas, mentertawaiku kah? Tindakannya itu sontak mengundang perhatian pengunjung kafetaria yang sebagian besar adalah training di FnC Entertainment.

“Choi Minhwan-Ssi, mungkin aku berlebihan, tetapi, apa.. kau menyukainya?” Giliran aku yang harus terperangah. Bagaimana bisa? Aku— menyukai Nayeon? Gadis yang bahkan belum pernah sekalipun bicara denganku? Hm, bisa jadi meski kedengarannya sangat mustahil. Bukankah ada istilah love at first sight?

Belum sempat aku menyampaikan protes, Shim Suyeon itu sudah lebih dulu menyambung dengan kalimat-kalimat bernada iri. Ia bilang Nayeon begitu beruntung sampai disukai olehku sementara dirinya saja yang notabene Primadonna tidak sampai diperlakukan dengan perasaan khusus seperti itu.

“Hey! Para fans memiliki tempat tersendiri di hati kami. Urusan pribadi mana boleh dicampur-adukkan dengan profesionalitas kerja.” Sahutku meluruskan pemikirannya yang sedikit absurd. Ia menuntaskan tertawaannya sebelum berujar sesuatu kepadaku.

“Minhwan-Ssi, kau mau aku membantumu bertemu dengan Nayeon, tidak?”
Dan, seketika itu hatiku mencelos senang.
.
.
.
Lagi-lagi perasaanku berkecamuk tak menentu. Harap-harap cemas, apakah benar Shim Suyeon akan menyambungkan pertemuan antara aku dan Nayeon? Kumohon, sekali saja aku ingin menemuinya dan mengenal lebih jauh gadis yang—akhirnya kuakui—telah kusisipkan secuil perasaan istimewa, walau secara diam-diam.

Malam yang dijanjikan, malam ini aku juga berharap dapat menjumpainya kembali. Masih di tempat yang sama, Shinsa-dong. Di bawah lampu jalan, dan akh… organ bernama jantung kepunyaanku ini terus saja berdebar. Konyol, memangnya aku anak remaja yang baru pernah berkencan?

Geusaram gidaryeodo ojireul anne
Orang yang kutunggu itu tidak datang
Jajeongeun beolsseo jina saebyeogeuro ganeunde
Waktu sudah melewati tengah malam dan menjadi pagi
Ah~ nemaeum gajyeogan saram
Ah~ orang yang mengambil hatiku
Shinsadong geusaram
Orang Shinsadong itu

Penyamaranku cukup ampuh. Selama hampir satu jam aku berdiri di seberang toko yang dulu menjadi tempat pertemuanku dengan Nayeon itu, tak satupun orang-orang memperdulikanku. Tidak juga mengenaliku sebagai Choi Minhwan, si drummer band Korea, FT Island. Hanya satu yang menjadi pikiranku saat ini, kenapa Shim Suyeon belum muncul juga? Apa dia berniat mengibuliku? Bodohnya lagi aku terlupa meminta nomor ponselnya. Jika tidak, mungkin sekarang aku sudah mendapatkan kabar darinya.

Kemudian berlalu setengah jam lagi, belum ada tanda-tanda Shim Suyeon maupun Shim Nayeon. Astaga… Apa orang yang kutunggu itu tidak datang lagi? Waktu seakan mempermainkanku, kini apa yang dulu terjadi terulang kembali. Malam menjelma menjadi dini hari, berangsur pekat menggulung hatiku dalam kabut.

“Mungkin aku yang terlalu optimis. Shim Nayeon itu tidak ada, dan orang yang mengaku kembarannya itu hanya penipu…” Lirihku sambil membuang nafas. Kuputar kedua kakiku, nyaris melambaikan tangan sebagai salam perpisahan pada tiang lampu jalan jika saja tidak ada sesuatu yang ganjil menarik perhatianku.

Sekitar dua meter dari keberadaanku, tampak sebuah mobil bercat metalik bersama empat orang—yang dua di antaranya adalah sepasang gadis—tengah bersitegang. Bahkan satu dari dua lelaki berpakaian serba hitam itu tampak memaksa salah seorang gadis untuk masuk ke dalam mobil. Sisanya berusaha mencegah agar gadis itu tidak didorong melewati pintu mobil. Sempat kudengar ringkingan kesal dari gadis berambut pirang berkuncir satu tersebut.

“Jangan bawa pergi Nayeon! Sudah cukup kalian mengekangnya!”
Benar! Itu Shim Suyeon yang memekik. Dan… Shim Nayeon adalah gadis yang dipaksa ikut bersama orang-orang berpakaian serba hitam seperti anggota mavia itu! Tidak boleh! Kalian tidak boleh membawanya pergi, setidaknya izinkan aku sebentar saja menemui orang yang telah berhasil mengambil hatiku tanpa sadar itu! Orang Shinsa-dong yang kunantikan!

Tanpa peduli apapun, aku berlari menghampiri keberadaan Suyeon yang sudah meronta seperti orang kesurupan setelah orang-orang asing itu menghempaskannya ke atas trotoar. Aku tiba bertepatan dengan dilarikannya mobil metalik itu bersama Nayeon di dalamnya. Terlambat. Mereka telah membawa pergi gadis itu.

Suyeon meraung dengan sedihnya, ia baru menyadari keberadaanku setelah berhasil mengumpati orang-orang tadi dengan caci maki. Alveolusku terasa penuh sesak, bukan karena terengah-engah sehabis berlari, melainkan sebagai bentuk penyesalan.

“Choi Minhwan-Ssi.. Maafkan aku, aku tidak bisa mencegah mereka..” Surut Suyeon sebelum ia menceritakan semuanya kepadaku. Awalnya ia berhasil membujuk Nayeon dan memang berencana menemuiku di tempat yang telah disepakati, namun takdir berkata lain.

“Orang-orang suruhan ayah tiri tadi menemukan kami dan memulangkan Nayeon secara paksa. Seumur hidupnya saudariku itu menjadi boneka yang diperlakukan sesuka hati. Ayah tiri memintanya untuk menjadi calon pengantin putra rekan bisnisnya yang berada di Taipei sebagai balasan karena Ayah tiri bersedia membiayai pengobatan serta perawatan ibu kami.. Dan, Nayeon tidak sanggup menolaknya,”

Demi Tuhan, aku tak pernah menyangka gadis kembar itu menjalani hidup seperti ini. Mungkin itu alasan kenapa kesuraman kutemukan dari bola matanya pada kali pertama pertemuan kami beberapa bulan yang lalu. Melihat kenyataannya, aku merasa sedikit beruntung dengan hidupku. Psikis Shim Nayeon jauh lebih lelah dibandingkan aku.

Uljimarayo. Kau seharusnya bangga memiliki saudari sepertinya yang tak mementingkan diri sendiri. Aku tak menyesal pernah menyukainya walau tak diberi kesempatan untuk menuai hasilnya.”

-o0o-

Geusaram ojianko nareul ulline
Orang itu tidak datang membuatku menangis
Siganeun jajeongneomeo saebyeogeuro ganeunde
Waktu telah melewati tengah malam dan menjadi dini hari namun
Ah~ geunalbam mannatdeon saram
Ah~ orang yang kutemui malam itu
Nareul ijeusyeonnabwa
Pasti sudah lupa padaku
Nareul ijeusyeonnabwa
Pasti sudah lupa padaku
Nareul ijeusyeonnabwa
Pasti sudah lupa padaku

Aku masih sanggup mengulas senyum ketika mengantarkan Shim Suyeon hingga mendapatkan sebuah taksi untuknya pulang, berlagak kuat meski sebenarnya hatiku terlampau sakit. Nyatanya, sepeninggal gadis itu, aku terseok-seok di jalanan Gangnam dan pada akhirnya menepikan diri pada satu persimpangan tak jauh dari gedung FnC Ent. Tubuhku merosot turun, kutekuk kedua kakiku lalu memeluknya.

Orang itu tidak datang lagi untuk selamanya. Meski malam pergi dan berganti, ia tetap tidak akan datang. Perlahan kedua pipiku yang semula ditampar oleh dinginnya suhu udara malam hari kini mulai menghangat dikarenakan guliran air asin yang merembes begitu saja dari kelopak mata. Memalukan! Aku menangis sekarang.

Kenapa ia tak boleh mengingatku barang sebentar saja? Setelah malam ini atau malam-malam sebelumnya, ia pasti sudah lupa padaku. Dewi Portuna tampaknya tidak memihakku atas cinta yang kali ini.

“Choi Minhwan! Ya! Kau dari mana saja, huh? Kami mencarimu kemana-mana,” Kudengar teriakan khawatir terlontar bersamaan dengan berhentinya beberapa pasang kaki berlapis sneakers di hadapanku. Itu pasti hyeong-deul se-grupku.
“Sepertinya dia dalam masa-masa sulit, hyeong.” Seunghyun berbisik kepada Jaejin yang masih bisa kudengar. Sementara Jonghun hyeong bersama manager merapalkan wejangan yang tidak semuanya kutangkap dengan baik.

“Songsari benar, hyeong. Aku baru saja kehilangan orang yang berarti, mianhae..” Aku masih terisak. Meski begitu, aku bersyukur bahwa tak satupun dari mereka berniat mengolok-olokku.

“Haish, kenapa kau malah minta maaf? Seharusnya kau meminta bantuan kami untuk mengurangi beban yang kau alami. Bukan menyendiri seperti ini. Kemari,” Titah Hongki Hyeong berikut isyarat tangan agar aku mendekat padanya. Kuturuti perintahnya dan dalam sekejap tubuhku sudah dipagari oleh tangan-tangan hangat yang merangkulku dalam rasa kekeluargaan. Benar. Sahabat terbaik akan selalu ada, mereka tak akan pergi.

“Tenangkan dirimu, Minhwan-ah. Itu adalah hal yang lumrah bagi seluruh manusia. Kau hanya perlu menetralisir perasaanmu dan senantiasa bersyukur atas apa yang terjadi.” Manager-nim turut menyemangatiku.

“Terima kasih, semuanya. Kalian adalah yang terbaik yang pernah kumiliki.”
.
.
.
Shinsa-dong. Tempat di mana aku memulai dan mengakhiri kisah tak sempurna ini. Teruslah menjadi kenangan meski mungkin bukan saat-saat indah yang pernah ada dalam hidupku.

FIN

Hola! Ini FF jauh lebih gaje lagi! Wakakakakk… yakin, ini FF timbul setelah aku liat piku .gif Minan yg keliatannya imyut bgt :3 jadi wajar dink kl feel-nya kurang dapet dan kurang nyambung sm lagu hahaha…
Kenapa jg Minhwan jadi cengeng gini ya? Nista bener! Padahal ‘kan, body dia tuh macho tingkat Monas(?) bro! XD hadeuh, gatot lagi bikin Songfic yg bener (?), lagi-lagi absurd :p Pasti neh pulang2 gue didamprat sm para fans Minaring dan dilemparin pake ayam goreng sekardus *uhuk* okelah, fine! Silakan tulis komentar apapun (asal jangan BASH) di kotak komen, share jika berkenan dan dukung tulisan-tulisan di blog ini biar lebih baik lagi 🙂 gamsaaa~

[MyStepsister/AzmaJoonbee-FF/ParkHanbi-ParkJiyeon/PG-15/Part 2]

My Stepsister Poster

Title : My Stepsister

Author : Azma Joonbee / A.J

Cast : Park Hanbi T-Max ; Lee Ji Eun / IU ; Park Jiyeon T-Ara

Other cast : Choi Min Hwan FT Island ; Jung Yoo Mi and Park Geonil (Hanbi’s Parents)

Genre : Social life-school, Sad-family

Rating : PG-15

Length : 2shot

Part 2

Start~

-author pov-

“Eonnie, kau kenapa??” Ji Eun berhasil meraih tangan Jiyeon, “Kau menangis? Ada apa? Ada masalah? Ceritakan padaku eonnie-” Jiyeon segera menepis tangan Ji Eun dengan kasar.

“Tidak perlu berlagak baik padaku! Kau hanya ingin merebut semua yang kumiliki. Appa, posisi eomma, dan sekarang… kau menghancurkan harapanku terhadapnya. Aku benci kau, Ji Eun!!!” Jiyeon terisak, Ji Eun merasa bersalah namun tidak tahu apa alasannya.

“Maafkan aku eonnie jika kehadiranku dan eomma membuatmu tidak nyaman. Tapi, aku masih belum mengerti…”

“Kau memang tak akan pernah bisa mengerti!” bentak Jiyeon lagi. Min Hwan datang menyusul, melihat itu Jiyeon berbalik dan meninggalkan keduanya. Ji Eun menoleh pada Min hwan yang berada di belakangnya. Timbul di pikirannya :

“Apa Jiyeon eonnie menangis karena Min Hwan???”

*

-Ji Eun pov-

Sudah tiga hari Jiyeon eonnie tidak menegur ataupun menyapaku. Di rumah maupun di sekolah. kelihatannya ia sangat marah,

“Ji Eun-ah, panggilkan Jiyeon untuk turun sarapan bersama.” Suruh eomma padaku yang sedang meletakkan piring di meja makan. “Ne eomma.” Sahutnya, meski tak bisa kupungkiri hatiku risau.

Dengan hati-hati aku mengetuk pintu kamar Jiyeon dan memanggil namanya, “Jiyeon eonnie… kau sudah selesai? Ayo kita sarapan pagi dulu sebelum berangkat sekolah.” tidak terdengar ada jawaban dari dalam kamar. Sekali lagi kuketuk pintu, “Eonnie… kalau kau tidak sarapan kau bisa sakit.”

“Dia tak akan membuka pintunya. Katakan pada wali kelasmu Jiyeon hari ini izin tidak masuk.” Ujar Hanbi sambil berlalu. Lelaki itu turun namun tidak ke meja makan. Akupun ikut turun,

“Hanbi, kau tidak sarapan dulu???” tanya eomma keheranan melihat Hanbi yang berlalu tanpa menghiraukan sajian di atas meja. Ia berhenti, “Tidak. Aku sedang tidak berselera.” Jawabnya dingin. Ia membetulkan letak tas ransel di pundaknya dan melenggang keluar.

“Eomma- Jiyeon eonnie juga tidak mau keluar kamar. Sepertinya ia masih marah padaku.” Kataku tertunduk di samping eomma. Eomma mengelus lembut kepalaku, “Kiranya kita harus bersabar menghadapi dua kakak beradik itu. eomma yakin, suatu saat mereka akan bisa menerima keberadaan kita di sini. Ayah tirimu berpesan, agar eomma mendidik serta memberi pelajaran yang berharga untuk kedua anaknya, Hanbi dan Jiyeon. Sekarang, kau makan yah. Setelah itu berangkat ke sekolah. naik bus bisa kan??”

“Ne,” aku mulai menyendok makanan di piringnya. Hingga makananku habis, dan aku berangkat sekolah sendiri karena Jiyeon tak kunjung keluar dari kamarnya.

“Eomma, nan galge! Annyeong!” pamitku diiringi lambai tangan eomma. Tak lama aku sudah tiba di sekolahnya, baru saja memasuki pintu gerbang, seseorang memanggil namaku.

“Ye? Memanggilku?” aku berbalik dan mendapati Min hwan yang berlari menghampiriku. “Min Hwan? Ada apa?” kini pemuda itu sudah mensejajarkan langkahnya denganku.

“Eum, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu…mengenai sikap Jiyeon kemarin. kalian bertengkar??” selidik Min hwan. Sepertinya ia berfirasat kalau ia juga terlibat dalam persoalan kemarin. aku menelan ludah, “Ini masih dugaanku, belum menemukan kepastian yang jelas. Tapi sepertinya, kau ada sangkut pautnya dengan masalah ini.”

Mata sipitnya melebar, “Jeongmalyo?? Apa aku pernah berbuat salah pada Jiyeon? Tapi, kenapa dia harus marah padamu? Tunggu, apa hubunganku dengan masalah kalian??” pertanyaan yang dibuat Min hwan berbelit-belit, aku sampai bingung menjawabnya.

“Kubilang tadi kan, ini masih perkiraanku. Jiyeon eonnie langsung pergi ketika melihat kau datang menghampiri kami. Apa kau tidak merasa itu aneh??” ia manggut manggut mendengarku. “Lalu?”

“Kau sudah pasti ada di balik semua kejadian ini.” simpulku. Keningnya memunculkan kerutan lebih banyak, “Musun mariya??” kami sudah memijak tangga menuju lantai dua.

“Hmm~ nanti akan kuceritakan lebih rincinya. Sekarang kuberitahu intinya saja, kemarikan telingamu…” Min Hwan mendekatkan telinganya dan aku membisikkan sesuatu yang membuat matanya hampir menggelinding. Ada pancaran kegembiraan bercampur keterkejutan di sana.

“Kau sungguhan, hoh??”

Aku mengangguk sambil tersenyum simpul. “Lalu, mana Jiyeon? Dia tidak bersamamu?”

“Ani. Eonnie tidak bisa masuk hari ini, sepertinya dia sakit. Kau mau menjenguknya tidak?” godaku. Min Hwan segera menggeleng, “Kau mau mempermalukanku?! Nanti saja,”

Aku tertawa melihat ekspresinya, “Hahaha- ternyata kau tipikal pemalu juga. Kupikir kau bukan orang seperti itu, kau kan ketua kelas. Haha”

“Ya! Berhenti mentertawaiku!” Min Hwan menarik kunciran rambutku. Kami memasuki kelas bersama-sama.

*

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, aku terbangun dan keluar dari kamar untuk mengambil air minum. Ketika aku kembali ke kamar, kulihat pintu kamar Jiyeon eonnie terbuka dan lampunya masih menyala. Kupikir sedang apa dia belum tidur selarut ini? kuhampiri kamarnya, dan ternyata Jiyeon eonnie tertidur di meja belajarnya dengan posisi telungkup. Di depannya berserakan kertas tugas yang belum selesai.

“Ooh, jadi Jiyeon eonnie belum menyelesaikan tugas dari Jong Hoon ssaem? Banyak sekali yang masih tersisa,” aku mengambil beberapa lembaran soalnya. Punyaku sendiri sudah selesai tadi sore. Karena kasihan padanya, tanganku bergerak mengambil pensil dan menjawabkan soal miliknya.

Tidak sulit bagiku mengerjakannya, karena semua sudah kujawab. Setelah selesai semua, aku menaruhnya kembali di meja dan perlahan keluar dari kamarnya.

Paginya aku terbangun oleh cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar yang terbuka lebar. Pasti eomma yang melakukan ini, tebakku. Jika hari minggu seperti sekarang, beliau tidak akan menarik selimutku seperti hari biasa. Eomma membiarkanku bersantai pada akhir pekan.

Aku segera bangkit dan menyambar handuk untuk mandi. Seusai mandi, aku hendak turun berniat menghampiri eomma di bawah. Di pintu kamar, aku berpapasan dengan Jiyeon eonnie.

“Siapa yang mengerjakan semuanya?? Apa Hanbi Oppa?” Gumamnya kebingungan menatap lembaran kertas di tangannya. Kemudian ia beralih melihatku yang sedang tersenyum geli. Melihat penampilannya berantakan sekali, rambut cokelatnya yang panjang tampak menjuntai acak-acakan. Wajahnya kusut belum cuci muka, masih mengenakan piyama bergambar jamur besar.

“Ani… Pasti bukan kau” ia kembali lagi masuk ke kamarnya. “Biarlah, ia tak usah tahu tentang itu.” gumamku yang kemudian menuruni tangga.

“Aku sudah selesai. Oh ya, setelah ini aku akan pergi ke rumah temanku. Bolehkan eomma??” Jiyeon eonnie menyudahi prosesinya. Eomma mengiyakan. “Silakan saja. tapi jika ada apa-apa, kabari rumah ya..” pesan eomma. Ia mengangguk.

“Kau tidak ada rencana keluar, Ji Eun??” tanya eomma padaku. Aku menggeleng, “Anio. Belum ada. hehe”

“Nan galge.” Jiyeon eonnie bangkit dari kursinya. Eomma beralih padaku. “Ji Eun-ah, eomma lihat kau selalu baik pada kedua kakak tirimu meski mereka sepertinya memanfaatkanmu. Kau yakin sanggup bertahan dengan keadaan ini?”

“Aku selalu berdoa, semoga suatu hari nanti mereka bisa menerima kita. kejahatan tak harus dibalas dengan hal yang sama bukan?? Eomma yang mengajarkan itu padaku, aku yakin mereka tak sejahat itu.”

“Kau memang anak yang baik, eomma bangga padamu. Kalau sikapmu seperti ini pada mereka, lambat laun Hanbi dan Jiyeon akan melunak. Percayalah…” eomma menepuk pundakku, memberikan sebuah motifasi. Aku mengangguk pelan,

“Ya sudah, jika selesai maka panggil eomma ya. Nanti akan eomma bereskan setelah menyetrika pakaian.”

“Andhwe! Biar aku saja yang membereskannya. Eomma menyetrika saja, untuk yang ini serahkan padaku.” Aku menepuk dada dengan jenaka.

“Ok, kalau itu maumu. Gomawo” eomma pergi ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian yang akan disetrika. Aku segera mengangkut piring serta mangkuk yang kotor ke pencucian dan mulai menggosoknya dengan spons licin penuh sabun. Baru saja aku selesai mencuci piring, telepon ruang tamu berbunyi. Eomma mungkin masih sibuk, jadi aku mengangkatnya,

“Yeobosseo?”

“Ya, Ji Eun?”

“Ne, nugu?”

“Ini Hanbi, ah kebetulan sekali. Bisakah aku minta bantuan lagi?” ternyata Hanbi Oppa yang menelepon. “Ye Oppa, apa itu??”

“Tolong ambilkan proposal pengajuanku di map biru beserta tasnya. Ada di dalam laci lemari buku-ku rak paling bawah. Dan antarkan ke MyeongJi University. Aku tidak ada waktu untuk pulang lagi. Kau tahu kan, alamatnya??” ujat Hanbi panjang lebar. Aku mengangguk ragu,

“Ne Oppa. Akan kuantarkan.”

“Gamsahae-”

Aku menutup telepon dan berganti pakaian, setelah menemukan benda yang dimaksud Hanbi Oppa tadi. “Eomma, aku pergi dulu ya…” kepalaku menyembul di balik pintu kamar eomma. Beliau menoleh, “Kau mau kemana??”

“Eum, mengantarkan Proposal milik Hanbi Oppa. Dia minta tolong padaku. Aku pergi ya~” pamitku sambil melambai. “Ne… hati-hati Ji Eun!” teriak eomma dari kamar.

-Ji Eun pov ending-

-Author pov-

Untuk mencapai MyeongJi University, Ji Eun harus menempuh waktu lumayan lama. Karena ia belum terlalu hapal jalanan di Seoul, sepenuhnya ia serahkan pada sopir taksi. Beruntung, sopir taksi itu baik hati, mengantarkan Ji Eun sampai tujuan dengan tepat.

“Gamsahamnida, ahjussi! Semoga hari ini taksinya mendapat banyak penumpang!” ujar Ji Eun setelah keluar dari taksi. Sopir paruh baya itu tersenyum geli mendengarnya, “Ne, untukmu juga.” Taksi berlalu meninggalkan halaman depan Universitas MyeongJi. Ji Eun bergegas masuk dan ia melihat Hanbi berdiri di samping taman kecil. “Hanbi Oppa!” lambai Ji Eun pada Hanbi.

“Nah, itu dia! Cepat kemari!” Hanbi tidak sabar ingin mengambil proposalnya yang dibawakan Ji Eun. “Ini Oppa! Yang ini bukan??” Gadis itu menyerahkan tas hitam yang dibawanya. Hanbi mengangguk,

“Ye, Gomawoyo. Sekarang pulanglah! Kau harus masuk lagi…” Hanbi mengibaskan tangannya mengusir Ji Eun. “Wuaah… Universitasmu lumayan besar ya Oppa…” Ji Eun sedang terkagum-kagum melihat sekelilingnya. Hanbi mengerutkan keningnya, dikiranya gadis itu akan cemberut dengan pengusirannya tadi.

“Mwo? Ah, ye.. Pulang sana!” Hanbi mendorong pundak Ji Eun yang masih memasang tampang speechless, ia bertepuk tangan kecil. “Jika lulus nanti aku akan masuk Universitas ini… haa- Oh, annyeong Oppa!” Ji Eun membungkuk sejenak sebelum ia pergi menuju halte bus. Hanbi menggelengkan kepalanya,

“Gadis itu… Aneh sekali, sudah kusikapi seketus itu masih saja bisa memasang tampang senang? Haish, dia bukan manusia?!” decak Hanbi keheranan, ia memukul pelipisnya. Otaknya mulai menyusun rencana baru. (Huwaaa~ Hanbi di sini kejem bgt ya?? *lebih kejem authornya kalee* /plak -_-a)

*

Sesudah makan malam, Jiyeon menemui Kakaknya di kamar sebelah. Ia kembali memasang tampang kesal, Hanbi sudah bisa menebak. Pasti ada yang terjadi lagi antara Jiyeon, Ji Eun dan namja penggila ayam itu. (hahaha…)

“Kenapa? kau diacuhkan oleh si Minhwan itu lagi??” terka Hanbi yang mengenai sasaran. Jiyeon tidak mengangguk, tidak juga menyanggahnya. Hanya memandang Hanbi dengan tatapan membunuh.

“Aku salah?”

“Aku tidak tahan Oppa seperti ini terus! Appa sudah mengubah rumah ini menjadi asing semenjak mengajak dua orang ibu dan anak itu. aku tidak suka mereka! Apalagi Ji Eun, dia.. dia..” ucap Jiyeon tertahan, matanya memerah. Seakan hendak menangis, nafasnya mulai tersengal.

“Oppa tahu kau tidak suka keadaan seperti ini. Memang apa yang bisa kita lakukan? Mengusir mereka? Kalau Appa tahu habislah kita berdua. Aku tahu ini salahku, rencanaku semenjak awal memang salah berpura-pura menyetujui pernikahan Appa dan Yoo Mi.” Hanbi menghela nafas berat,

“Ye! Itu salahmu! Jika saja dari awal kau menolak ini, tidak akan jadi begini akhirnya! Aku rindu eomma, oppa! Aku rindu Hyomin Eomma… hiks..” tangis Jiyeon pecah. Gadis itu memang cengeng, tapi terkadang ia bertingkah seakan ia sangat kuat. Hanbi mendekat, ia merangkul Jiyeon.

“Maafkan Oppa, Jiyeon-ah. Akan kubicarakan pada Appa jika beliau kembali dari Tokyo nanti. Geuman, uljima nae sarange dongsaeng -sudah, jangan menangis adikku sayang- , Mianheyo-” Hanbi mengelus lembut kepala Jiyeon yang masih menangis di pelukan kakaknya. Ia mengangguk pelan, tanpa mereka ketahui, secara tak sengaja Yoo Mi mendengar semua pembicaraan tadi.

Air matanya ikut turun, Yoo Mi menangis tanpa suara. Mampukah ia mengubah pandangan Hanbi dan Jiyeon terhadapnya?? Bersamaan dengan itu Hanbi dan Jiyeon membuka pintu kamar dan menemukan Yoo Mi yang menangis di depan kamar Hanbi. Hanbi juga Jiyeon tertegun melihat ibu tiri mereka itu tengah menangis, keduanya saling berpandangan.

“Yoo Mi Eomma~ apa kau…” terka Jiyeon, Hanbi berpikiran yang sama. Mungkin kah Yoo Mi menangis karena mendengar pembicaraan mereka? Yoo Mi tak sanggup menjawab untuk saat ini, ia tersenyum miris kemudian meninggalkan dua anak manusia yang tertegun di tempatnya.

“Eomma… Kami tak bermaksud…” belum sempat Hanbi menjelaskan apa-apa, Yoo Mi sudah lebih dulu menghilang di tangga. Ia meringis menatap Jiyeon yang juga dilanda kebingungan. “Oppa.. Bagaimana ini, Pasti Yoo Mi eomma mendengar pembicaraan kita. makanya Ia menangis seperti tadi. Tck, salah lagi!” Jiyeon berang.

“Apa kita harus meminta maaf?” sarannya yang langsung disambut gelengan kepala dari Hanbi.

“Andhwe! Dia pasti tidak akan percaya. Dia akan mengira itu bagian dari rencana kita, lebih baik tunggu sampai Appa kembali saja.” Hanbi berbicara mengandalkan gengsinya. Ia belum bisa berfikiran jernih sekarang.

“Hhh- terserah apa katamu. Tak mungkin lagi bagi kita menjalankan rencana. Lupakan itu” putus Jiyeon kembali ke kamarnya.

Di waktu yang sama, dan kamar yang berbeda, Hanbi dan Jiyeon tengah merenung. Atas dasar apa mereka membenci Yoo Mi dan Ji Eun selama ini?? dua orang ibu dan anak itu tidak jahat atau menganiaya seperti khayalan mereka tentang ibu tiri pada umumnya. Malah sebaliknya, dirasakan Hanbi dan Jiyeon lah yang sudah bersikap keterlaluan pada Yoo Mi juga Ji Eun. Mereka yang egois, hanya memikirkan diri sendiri tanpa mau melihat kebahagiaan apa yang ingin Geonil ciptakan melalui Yoo Mi.

Sesungguhnya Geonil ingin kedua anaknya itu merasakan lagi kasih sayang seorang ibu. Dari itu ia menikahi Yoo Mi yang ia anggap pantas untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya. Hanbi dan Jiyeon hanya belum bisa melupakan bayang-bayang Hyomin, yang tak mungkin kembali lagi meski sekeras apa mereka menolak semua wanita yang hadir di kehidupan ayahnya.

*

Hari senin sore, Geonil kembali ke Seoul. Ia membawakan beberapa barang sebagai oleh-oleh untuk keluarganya. Semua menyambut kedatangannya dengan suka cita.

“Appa! Bogoshippo!” Jiyeon menghambur ke pelukan sang Ayah. Dia memang paling dekat dengan ayahnya daripada Hanbi. “Kau ini bersikap manis kalau ada maunya. Betulkan?” serobot Hanbi.

“Oppa, bilang saja kau iri padaku. Week” balas Jiyeon. “Ji Eun-ah, kemari. Kau tidak ingin memeluk Appa?” panggil Geonil pada Ji Eun yang hanya berdiri di depan pintu. Gadis itu bergerak mendekat, “Mana eomma kalian??” tanya Geonil yang tidak menemukan keberadaan Yoo Mi.

“Eomma masih di atas. Sebentar lagi akan turun, Appa.” Tutur Ji Eun. Sejenak wajah Hanbi dan Jiyeon menegang, takut kalau-kalau Yoo Mi mengadukan apa yang didengarnya hari itu.

“Ooh, geurae. Ayo masuk, Appa bawakan beberapa barang untuk kalian.” Ajak Geonil menggiring kesemua anaknya. Mereka sudah berada di ruang tamu, di sana sudah ada Yoo Mi menunggu. “Eoseo oseyo -selamat datang-, maaf aku tak menyambutmu di depan tadi. Aku harus membereskan sesuatu tadi.” Yoo Mi segera melepas jas suaminya dan menyodorkan secangkir teh hijau.

“Gwaenchana, jagi- melihat senyummu saja sudah mampu menghapus rasa lelahku.” Rayu Geonil. Hanbi berdehem kecil sambil menyikut lengan ayahnya. “Kau ini. jangan seperti itu di depan anak-anak.” Geonil hanya terkekeh mendengarnya.

“Nah, Hanbi. ini untukmu, punyamu yang lama sudah rusak bukan?” Geonil menyerahkan bungkusan pada putra tertuanya itu. Hanbi membukanya, “Wuah! Headphone baru! Gomapta Aboji! Memang headphone lamaku suaranya sudah tak terdengar lagi.” Hanbi senang menerima benda itu.

“Untuk Jiyeon, Appa sengaja pilihkan lampu hias ini agar kamarmu semakin cantik seperti orangnya.” Jiyeon tersipu malu, “Appa! Kau memang perayu ulung.” Jiyeon memangku kotak lampu hias-nya.

“Dan untuk Ji Eun, semoga kau suka. Appa tak tahu buku apa yang biasa kau baca. Tapi menurut penjaga tokonya, remaja seusiamu pasti senang dengan buku semacam ini.” Geonil menyodorkan dua buah buku. Buku kumpulan syair dan sebuah Novel Jepang. Mata Ji Eun berbinar menerimanya, ia tak menyangka ayah tirinya ini tahu akan hobi membacanya.

“Ne, gomawoyo Appa. Aku akan menjaga buku ini dengan baik.”

“Terakhir, untuk istriku yang cantik…” Geonil sengaja menggantungkan kalimatnya sambil memandang Yoo Mi yang duduk di pinggiran sofa tempat Geonil bersandar. Semua menunggu apa yang akan Geonil berikan pada Yoo Mi, ternyata…

Chuu~ lelaki itu memberikan sebuah kecupan ke pipi Yoo Mi yang seketika langsung memerah karena malu. Hanbi, Jiyeon, dan Ji Eun terbelalak dibuatnya. Serentak mereka menahan nafas,

“Ya, Oppa! Kau ini apa-apaan?! Sudah kubilang jangan lakukan hal semacam itu di depan anak-anak.” Wajah Yoo Mi tak hentinya merona. Hanbi menahan tawanya, sementara Jiyeon dan Ji Eun pura-pura sibuk dengan hadiahnya masing-masing.

“Ayolah jagi~ kau istriku, dan aku suamimu. Itu lumrah untuk kita, mereka juga akan mengalami masa seperti ini nantinya. Anggap saja ini pelajaran yang kuberikan pada mereka…” ujar Geonil semakin genit. Tak segan-segan Yoo Mi mencubit pinggang suaminya itu. Geonil mengaduh,

“Oh ya, selama aku pergi kalian baik-baik saja kan? apa ada yang terjadi? Hanbi dan Jiyeon berulah lagi?” tiba-tiba saja Geonil menanyakan hal itu. suasana mendadak berubah hening. Hanbi dan Jiyeon salah tingkah, merundukkan kepala.

“Eum… Eobsseo. Semua baik-baik saja. Anak-anak patuh dan tidak berlaku aneh-aneh kok.” Hanbi juga Jiyeon tersentak mendengar jawaban Yoo Mi. “Sungguh? Ya baguslah kalau begitu. Kekhawatiranku tidak terbukti.” Geonil sumringah. Hanbi dan Jiyeon beralih menatap Yoo Mi yang tersenyum tulus pada keduanya. Ia sudah memaafkan segala perkataan mereka. Kini mereka menuju ruang makan untuk makan malam.

Saat semuanya sudah makan malam, ragu-ragu Jiyeon menghampiri Yoo Mi yang duduk sendirian di ayunan Taman beranda rumah. “Eum… Boleh aku bicara sesuatu?” Yoo Mi menoleh, kemudian mengangguk.

“Benar kau tidak mengadu pada Appa tentang apa yang kau dengar waktu itu?” Jiyeon masih di posisi berdirinya. “Menurutmu? Jiyeon-ah, apa aku akan mendapat keuntungan jika melaporkan itu pada ayahmu? Apa aku akan dapat uang? Tidak ada yang seperti itu.”

“Lalu, kenapa kau menangis waktu itu? harusnya kau marah dan menceritakan semuanya pada Appa agar aku dan Hanbi Oppa dihukum karena menindasmu dan Ji Eun.”

“Begitukah pikiranmu? Aku menangis bukan karena kesal pada kalian berdua, melainkan pada diriku sendiri.” Jawaban Yoo Mi yang penuh teka-teki membingungkan Jiyeon. “Musun iriya?”

“Aku merasa, gagal menjadi seorang ibu yang baik. Padahal aku harus menepati janjiku pada Geonil, akan mendidik dan merawat anak-anaknya dengan baik. Sikap kalian yang tidak menerimaku itu menandakan aku tidak berhasil mengisi kekosongan dalam diri kalian. Benarkan?”

“Jadi, kau berusaha menjadi ibu yang baik untuk kami?? Kau tidak sejahat ibu tiri dalam dongeng kan?” Jiyeon mulai luluh. Ia bisa mengerti ketulusan yang coba diberikan Yoo Mi namun tak sampai karena kekerasan hatinya dan Hanbi. Yoo Mi tersenyum lembut, “Tentu saja. ibu tiri yang jahat itu hanya ada dalam dongeng. Kemari, kau pasti rindu ibumu kan?” Yoo Mi mengajak Jiyeon duduk di sampingnya.

“Eomma… Mianhe. Maafkan sikapku selama ini, aku egois.” baru Jiyeon sadari, pelukan Yoo Mi sehangat pelukan Hyomin -ibu kandungnya-. Air mata mulai meluncur turun di kedua belah pipi gadis belia itu. “Eomma sudah maafkan. Kalian sudah kuanggap anak sendiri. Gomawo~”

“Bolehkah aku memanggilmu eomma?” Jiyeon makin mengeratkan pelukannya. “Ne. tentu saja.” Yoo Mi mengelus lembut rambut Jiyeon. Keduanya larut dalam kehangatan ibu dan anak yang sesungguhnya. Ji Eun yang sejak tadi melihat ibunya berbincang dengan Jiyeon tersenyum haru, kemudian ia dikagetkan oleh tepukan yang amat pelan di bahunya. Ternyata ayahnya, Geonil segera meletakkan telunjuk di mulutnya sendiri. Ji Eun mengangguk kecil.

*

Sore itu, Jiyeon dan Ji Eun mengikuti pelajaran tambahan di sekolahnya. Sehingga mereka harus pulang lebih lambat dari jam biasa. Baru saja Jiyeon dan Ji Eun keluar dari ruangan kelasnya, ponsel milik Jiyeon bergetar hebat.

“Yeobosseo? Oppa, ada apa?”

“Jiyeon-ah! Kau sudah pulang atau belum?”

“Baru selesai kelas tambahannya. Memang ada apa?” Ji Eun hanya melirik Jiyeon sambil merapikan kunciran rambutnya. “Belikan untukku dua kotak Pizza yang ada di seberang halte. Kalian melewatinya kan?”

“aish! Seenaknya saja menyuruh-nyuruh! Kenapa tidak beli sendiri sih?” omel Jiyeon manyun seketika. Ia paling tidak suka disuruh-suruh apalagi oleh Hanbi.

“Ya! Aku dan teman-temanku sedang mengerjakan tugas di rumah.”

“Kenapa tidak delivery saja?” Jiyeon terus menyahuti. “Haish, pinjam uangmu dulu! Lagipula Toko Pizza di dekat Halte itu lebih enak. Jangan membantah terus, belikan ya. Kalau tidak akan kusita IPad game-mu.” Plip! Dengan segera Hanbi memutuskan sambungan telepon.

“Huuh, Oppa yang jahat! Dasar si jambul!” umpat Jiyeon. “Kenapa?” tanya Ji Eun yang sejak tadi penasaran. “Hanbi Oppa menyuruhku membelikannya Pizza di dekat Halte. Pakai uangku pula, dasar pelit.” Jiyeon mencibir tidak karuan.

“Ooh…” Ji Eun mengangguk saja. Tapi kemudian ia menoleh ke belakang, dilihatnya Min Hwan melambaikan tangan seraya berlari kecil menghampiri keduanya. “Eh, biar aku saja eonnie yang membelikannya. Kau pulang bersama Min Hwan saja. Sudah yaa.. daaag-” Ji Eun bergegas pergi meninggalkan Jiyeon yang kebingungan.

“Dia kenapa? Pergi begitu saja.” tanya Min Hwan yang sudah berada di samping Jiyeon. “Molla. Katanya ingin membelikan makanan kecil di seberang halte. Huuft, aku jadi tak punya teman pulang.” Jiyeon melirik Min Hwan.

“Kalau begitu, pulang denganku saja. Eotte?” penawaran yang mengejutkan. “Eh, naega? pulang bersamamu? Jeongmal?” tunjuk Jiyeon pada hidungnya sendiri. Min Hwan mengangguk,

“Iya, kau, siapa lagi? Memang ada orang lain?! Kahja, kebetulan aku membawa motormatic-ku. Kita tak perlu menunggu bus.” Min hwan menarik tangan Jiyeon menuju keberadaan motornya.

Sementara dengan Ji Eun, dia sudah menenteng dua kotak Pizza ukuran jumbo untuk dibawa pulang. Setelah keluar dari Toko Pizza, ia berniat menyeberang ke arah Halte Bus. Jalanan agak sepi, namun tiba tiba dari arah berlawanan muncul seorang pengendara motor dengan kecepatan tinggi. Ji Eun sudah hampir menyeberang saat pengendara ugal-ugalan tersebut melesat di sampingnya. Dan alhasil, stang motor menyenggol Ji Eun agak keras dan mengakibatkan keseimbangannya terganggu. Ji Eun jatuh, kotak Pizza yang dibawanya terlempar.

BRUUK! Terdengar bunyi sesuatu yang menghantam trotoar jalan. Seketika darah mengucur dari satu tempat.

-Author pov ending-

~ ~ ~

-Hanbi pov start-

“Yeobosseo?! Jiyeon-ah, bagaimana keadaannya?? Kalian dimana??” tanyaku terburu-buru memarkirkan mobil dan berlari menuju pintu masuk rumah sakit. Ji Eun kecelakaan, ia terserempet motor saat membelikan Pizza untukku. Haish, ini salahku!

“Oppa! Dia pendarahan, luka di bagian kepala. Palliwa!” suara Jiyeon terdengar panik. “Kau sudah memberitahu Appa dan Eomma??”

“Hum, sudah. Mereka akan tiba sebentar lagi.”

Aku mematikan telepon dan berhenti di meja resepsionis. Menanyakan pasien korban tabrak lari. Dengan jelas suster penjaga itu memberitahukannya padaku. “Gamsahamnida.” Aku terus berlari ke ruangan yang disebutkan tadi. Di depan UGD aku melihat Jiyeon bersama seorang namja, sepertinya Min Hwan.

“Jiyeon-ah! Apa Ji Eun baik-baik saja?! kenapa bisa begini?”

“Sepertinya dia korban tabrak lari. Kebetulan aku dan Min Hwan lewat jalan itu, dan menemukannya tergeletak di pinggir jalan dengan kepala berdarah. Sebelumnya dia bermaksud membelikanmu Pizza. Dan akhirnya… Jadi begini..”

“Kenapa kau suruh dia?? Aku kan, memintamu. Bukan Ji Eun! Jiyeon kau ini bagaimana?”

“Bukan salahku! Dia sendiri yang ingin pergi. Salahmu juga, menyuruhku seenaknya.” Jiyeon tidak terima kusalahkan. “Geumanhe. Ini rumah sakit, jangan bertengkar di sini. Ini bukan saatnya menentukan siapa yang salah atau siapa yang benar. Kita semua bertanggung jawab sekarang.” Lerai Min Hwan. Tak lama keluarlah Dokter dari ruangan UGD, ia membuka maskernya.

“Bagaimana Dokter?? Apakah parah sekali??” aku menyerobot pertanyaan. Dokter itu tersenyum, “Geogjongmal -jangan khawatir-, dia tidak apa-apa. Hanya luka ringan di pelipisnya, dan tidak ada cidera dalam atau pendarahan di otak. Dia sudah bisa dipindahkan ke ruangan inap. Permisi.” Dokterpun berlalu. Kami semua menghembuskan nafas lega. Syukurlah, jika sampai terjadi apa-apa dengan Ji Eun, maka akulah orang yang pantas disalahkan.

Sekarang aku, Jiyeon, Appa, Eomma, dan juga Min Hwan sudah berkumpul di ruangan rawat Ji Eun. Ia sudah sadar dan bisa berbicara meski masih sedikit lemah karena kaget. Namun tawa sudah terdengar dari mulutnya.

“Kau tak seharusnya ceroboh seperti ini, Hanbi. fasilitas sudah lengkap, masih saja kau menyuruh adikmu. Jangan jadi pemalas.” Omelan Appa kusahut dengan anggukan. “Dan kau, Jiyeon. Harusnya kau temani Ji Eun, jangan malah membiarkannya pergi sendirian. Kalian ini bersaudara, suka dan duka jalani bersama.” Giliran Jiyeon yang menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah.

“Min Hwan, terima kasih sudah membantu. Kalau bukan kau yang tanggap, entah apa jadinya.” Appa menepuk pundak Min Hwan. “Cheonmaneyo, Park Agassi. Sudah jadi tugas kita untuk saling tolong menolong.” Rendah Min hwan.

“Ji Eun-ah, maafkan aku. Aku tahu aku salah, maafkan juga atas sikapku selama ini. Aku berjanji akan menganggapmu sebagai adikku, dan aku akan menjagamu. Jeongmal!” kuusap kepalanya yang sebagian terbungkus perban putih. Ia tersenyum,

“Ne oppa. Aku yakin kau kakak yang baik. Aku senang bisa memiliki keluarga baru seperti kalian. Gomawo.”

“Dan Yoo Mi eomma, jeongmal mianheyo. Kata-kata serta sikapku sangat keterlaluan padamu. Ternyata kau ibu yang baik, aku sangat menyesal terlambat menyadarinya. Eomma, maafkan aku ya?” aku mendekat pada eomma dan bersimpuh, beliau mengangguk.

“Tentu eomma maafkan. Maafkan eomma juga jika selama ini masih belum pantas menjadi ibu untuk kalian. Tapi eomma janji akan lebih baik lagi. Asalkan kalian memberikan eomma kesempatan memperbaikinya. Yaksok?” eomma mengacungkan kelingkingnya padaku, sambil tersenyum aku mengaitkan kelingkingku dan menyatukan jempol kami sebagai tanda terikatnya sebuah janji. Appa tersenyum arif,

“Kau sudah dewasa Hanbi. Appa bangga padamu, berani mengakui kesalahan dan mengesampingkan gengsi, itu sikap yang bijaksana. Tak sia-sia Appa mendidikmu.” Appa merangkul pundakku. “Maafkan Hanbi juga aboji. Selama ini aku selalu egois.”

Akhirnya selesai juga masalah yang timbul karena ulah kami sendiri. Aku senang semuanya berakhir bahagia, sekarang aku mempunyai keluarga baru yang utuh dan yang pasti saling menyayangi.

“Chamkan. Ada satu lagi masalah yang belum selesai…” kalimat Ji Eun membuyarkan kegembiraan yang sudah tercipta. “Apa lagi, Ji Eun??” tanya eomma. Gadis itu melirik Jiyeon dan Min Hwan secara bergantian,

“Min Hwan, kau yakin tidak ada yang ingin disampaikan??” Ji Eun mengangkat alisnya berkali-kali. Min hwan melongo, namun kemudian mendadak kaku badannya. Begitu pula dengan Jiyeon. Ada sesuatu di antara mereka?

“Haiya, kalau tidak ada yang mau mengatakannya, baiklah. Biar aku saja yang mengatakannya. Eonnie, kau cemburu bukan saat aku bersama Min Hwan??”

“Aa..Anio! siapa yang bilang begitu??” sanggah Jiyeon dengan wajah merona. “Jiyeon-ah? Benarkah yang dikatakan Ji Eun? Kau cemburu? Itu artinya, apa kau menyukaiku?” tanya Min Hwan.

“eonnie menangis karena melihat kita berdua di taman waktu itu. sekarang apa yang mau disanggah lagi?” Ji Eun memasang tampang kemenangan sambil terkikik. Jiyeon meringis di samping Min Hwan.

“Wah wah… Ahjussi, ahjumma. Bolehkah aku meminta izin? Menjadikan putri kalian ini kekasihku? Aku berjanji akan menjaganya…” Min Hwan meminta restu pada Ayah dan Ibuku. Appa dan eomma berpandangan sejenak, kemudian mengangguk.

“Menurut cerita Ji Eun, kau pemuda yang baik dan juga pintar.” Sahut eomma.

“asal jangan ingkari janjimu! Jangan buat Jiyeon menangis, ia ini cengeng.” Ujar Appa.

“Appa! Jangan membuka aibku di depan Min Hwan!” rungut Jiyeon.

“Gamsahamnida, Ahjussi Ahjumma. Park Jiyeon, sarangheyo~” Min Hwan menyatakan perasaannya di tempat itu. Tawa kami berderai mengiringi wajah Jiyeon yang semakin memerah karena malu.

“yeeah, berhasil. Eonnie, jangan cemburu padaku lagi ya!” seru Ji Eun dengan jenaka. Ia merentangkan tangannya ke atas. Min Hwan menggenggam tangan Jiyeon yang sibuk menutup wajahnya dengan sebelah tangan, Appa merangkul hangat pundak eomma, dan aku menyaksikannya bersama Ji Eun.

Kurasa, lengkap sudah kebahagiaan yang Tuhan berikan pada keluarga kami yang mestinya aku mensyukuri sejak awal.

-Hanbi pov ending-

END

***

[My Stepsister/AzmaJoonbee-FF/ParkHanbi-ParkJiyeon/PG-15/Part 1]

Title : My Stepsister

Author : Azma Joonbee / A.J

Cast : Park Hanbi T-Max ; Lee Ji Eun / IU ; Park Jiyeon T-Ara

Other cast : Choi Min Hwan FT Island ; Jung Yoo Mi and Park Geonil (Hanbi’s Parents) ; Shin Hyo Ae aka Yhenie Zhievanna Triple S (Cameo as Jiyeon’s Friend & Hongki’s girlfriend)

Genre : Social life-school, Sad-family

Rating : PG-15

Length : 2shot

Part 1

Start

-Park Hanbi pov-

“Mwo?! appa, kau tidak sedang bergurau?!” mata Jiyeon melotot seketika.

“Appa! Mengapa memutuskan begitu cepat?! Kami bahkan baru sekali bertemu dengannya!” aku tak kalah terkejutnya mendengar penuturan Appa. Beliau mengutarakan niatnya untuk menikahi seorang wanita bernama Jung Yoo Mi yang merupakan teman lamanya di SMA.

Tentu saja aku dan Jiyeon kaget, kami baru pernah bertemu beberapa kali namun untuk bicara lebih banyak hanya satu kali saat acara amal kantor Appa dan itupun karena appa mengundangnya sebagai tamu khusus. Tak kusangka ia akan menjadi ibu tiri untukku dan Jiyeon.

“Hanbi-ah.. Jiyeon-ah.. Appa tahu ini terlalu cepat bagi kalian. Tapi ketahuilah, Yoo Mi adalah sosok seorang Ibu yang baik dan appa yakin dia mampu mengurus kalian. Appa sudah mengenalnya sejak SMA-”

“Itu menurut Appa! Aku tidak bisa percaya begitu saja padanya, apa Appa ingat bagaimana wanita bernama Soyeon kemarin?? ia tak lebih dari seorang perempuan mata duitan yang mengincar kedudukan Appa di perusahaan. Aku tidak ingin itu terulang lagi…”

“Cukup Hanbi!!! kau terlalu lancang!” telunjuk appa mengacung tepat di depan wajahku. Beliau menggeram menahan emosi, tangan kirinya mengepal kuat serta wajahnya yang merah padam. Jiyeon berpindah tempat ke hadapanku, melindungiku di balik punggung kecilnya.

“Appa! Kau keterlaluan! Aku sependapat dengan Hanbi Oppa. Lagipula, aku tidak setuju dengan niatmu Appa! Figur seorang ibu tiri tetaplah buruk di mata semua anak di dunia ini! Aku tidak ingin memiliki Ibu tiri..” Jiyeon mulai terisak, ia mengusap matanya yang kurasa sudah dipenuhi air mata. Bagiku dan Jiyeon, sosok Hyomin eomma tak akan pernah terganti di benak kami. Ibu kandung kami yang meninggal tiga tahun yang lalu karena penyakit ginjalnya.

“Jiyeon anakku… dengarkan Appa. Appa punya alasan yang kuat memilihnya untuk menjadi ibu baru kalian. Appa mohon, mengertilah… Jebal..” Appa menatapku dan Jiyeon secara bergantian dengan tatapan sendu. Aku menghela nafas berat, sementara Jiyeon mengusap matanya yang berair. Ia sesegukan.

“Kalian harus dengarkan Appa, kali ini saja. Appa seorang manusia, appa juga membutuhkan seseorang untuk menemani Appa sampai masa tua nanti. Kalian harus mengerti itu,” pinta Appa, beliau terduduk lunglai di meja makan. Sarapan yang sudah tersedia tak jadi kami sentuh karena obrolan mengejutkan ini.

“Aku… Akan memikirkannya Appa. Jigeum, palli Jiyeon-ah. Kita harus segera berangkat, kau tidak ingin terlambat bukan?! Kahja, bukankah hari ini kau ada ulangan bersama Min Chul seonsaengnim?? Appa, nan galge-” pamitku pada Appa yang bertampang kusut, kutarik tangan Jiyeon yang sibuk mengelap bekas air matanya dengan sapu tangannya.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku dan Jiyeon tak banyak bicara. Kelihatannya anak itu masih terpukul dengan keputusan Appa. Haah~ apa yang harus kulakukan?? Aku sebenarnya tidak tega membantah Appa, namun aku juga sangat menyayangi adik perempuanku ini. Jelas ia akan sangat terluka jika Appa benar-benar menikah dengan perempuan bernama Yoo Mi itu. Jiyeon sangat dekat dengan Hyomin eomma selama tahun-tahun remajanya sebelum eomma pergi. Tuhan, aku harus bagaimana?? Aku harus membicarakannya dengan Jiyeon!

-Hanbi pov ending-

*

-author pov-

Pada akhirnya, prosesi sakral itu terlaksana jua. Hanbi dan Jiyeon memutuskan untuk mengiyakan keputusan Geonil, Ayah tercinta mereka untuk menikahi wanita bernama Jung Yoo Mi tersebut. Dengan usahanya Hanbi berhasil membujuk adiknya. Namun, tak semudah itu jalan yang mungkin membentang untuk ayahnya.

[Flashback – percakapan Hanbi dan Jiyeon seminggu sebelumnya]

“Oppa! Apa yang kau katakan?! Aku tidak salah dengar? Kau ingin aku setuju dengan rencana Appa?! Ania! Pokoknya tidak mau! Bagiku eomma adalah satu-satunya eomma di hidupku. Micheosseo?” bentak Jiyeon pada kakaknya. Hanbi mengusap mulutnya, kemudian bersuara :

“Jiyeon-ah… Arasseo. Aku juga tidak suka jika dia menjadi ibu baru untuk kita. Tapi, kau juga harus memikirkan perasaan Appa. Tiga tahun belakangan ini Appa tak seceria dulu, semenjak kepergian eomma. Apa kau tidak kasihan padanya?? Aku lakukan ini hanya karena Appa, bukan karena aku setuju pada wanita itu. Jadi, bekerjasamalah denganku, biarkan Appa menikah lagi, namun jangan berikan semua yang seharusnya kita berikan pada eomma. Kau paham??” Hanbi menaruh kedua tangannya di pundak Jiyeon. Gadis itu mulai tersenyum, “Jeongmal, Oppa? Ne, arasseumnika~”

“Gomawo saeng, kasih sayang kita hanya untuk Hyomin eomma.” Kedua kakak beradik itu kemudian berangkulan.

[Flashback end]

“Oppa, kau yakin dengan semua ini??” bisik Jiyeon pada Hanbi di kursi paling depan. Hari itu mereka menghadiri acara pernikahan ayah mereka. Matanya sesekali melirik Geonil dan Yoo Mi yang sudah berjalan di atas karpet menuju altar.

“Ne, kau tenang saja. Sudah, ini saatnya berdiri. Lihat, wajah appa terlihat bahagia sekali seperti di belakang tadi.” Hanbi menjawab tanpa menoleh, ia dan semua undangan serentak berdiri. Jiyeon juga bangkit sambil memegangi ujung gaun birunya yang lumayan panjang. Sementara Hanbi, tampak gagah dengan jas abu-abu yang melekat di badan kurus tingginya. Sebelum Geonil dan Yoo Mi dinyatakan resmi menjadi sepasang suami istri, Hanbi dan Jiyeon kompak melirik Lee Ji Eun yang berada di sebelah kiri mereka. Lee Ji Eun adalah putri tunggal dari Jung Yoo Mi. Dan hari ini mereka menjadi saudara tiri. Gadis manis itu tersenyum seraya menunduk sejenak pada kedua saudara barunya itu, namun mereka malah membalasnya dengan senyum sinis.

“Appa! Chukkaeyo, kau kelihatan sangat bahagia hari ini! aku senang melihatmu tertawa lagi..” gamit Jiyeon manja di lengan ayahnya yang baru saja turun dari altar bersama Yoo Mi. Geonil mengelus lembut kepala anak bungsunya itu. Yoo Mi memberinya senyuman hangat, Jiyeon membalasnya. Hanbi merunduk sejenak, memberi hormat pada ibu tirinya itu.

“Hey, anak manja! Jangan centil lagi, kau sudah kelas dua SMA! Dasar. Oh ya, Appa aku turut bahagia. Yoo Mi ssi, chukkae untukmu juga.” Hanbi memberi senyum tipis.

“Ne, gomapseumnika, Hanbi-ah, Jiyeon-ah. Semoga kita bisa cepat akrab. Mohon bantuannya” Yoo Mi terlihat sangat keibuan. Hanbi dan Jiyeon berpandangan sejenak, sampai suara Geonil menyela aksi keduanya,

“Ya! Mulai sekarang panggil Yoo Mi dengan sebutan ‘eomma’, dia sudah resmi menjadi ibu kalian. Ara??” Geonil menyentil pelan hidung Jiyeon. “hanya ibu tiri…” hanbi langsung menyikut lengan Jiyeon. Geonil berdehem kecil mendengarnya, “Gwaenchana. Mungkin mereka masih perlu waktu untuk itu. pelan-pelan saja ya…” Yoo Mi mencairkan suasana yang tiba-tiba beku.

“Oh ya, kalian sudah pernah bertemu dengan Ji Eun kan kemarin malam? Ah, tidak ada salahnya berkenalan lagi agar lebih akrab. Hanbi, Jiyeon, beri salam…” suruh Geonil. Hanbi dan juga Jiyeon menurut.

“Annyeong hasseo, Lee Ji Eun imnida. Bangapseumnida, mianhe jika bahasa Korea-ku terdengar aneh. Terlalu lama di Jepang berpengaruh juga.” Ji Eun membungkuk pada tiga anggota keluarga barunya itu. “Pamer…” desis Jiyeon tanpa disadari siapapun. Lee Ji Eun selama ini sekolah di Jepang, terpisah dengan ibunya yang mengajar di sebuah Sekolah Dasar di Seoul.

Tamu undangan yang sebagian besar teman dan rekan sekantor Geonil menghambur ke arah keduanya untuk mengucapkan selamat. Sekejap saja dua orang itu tak terlihat lagi batang hidungnya tenggelam dalam kerumunan manusia. Hanbi tanggap, ia menyingkir dari situ. Bergerak menuju kawanannya yang juga datang hari itu. sama halnya dengan Jiyeon, ia menghampiri teman-teman sekolahnya. Tersisa Ji Eun yang bingung karena merasa belum punya kenalan sementara ibunya tengah sibuk dengan tamu undangan. Ia putuskan mengekor Jiyeon.

*

Hari pertama Ji Eun tinggal di rumah Ayah barunya, pagi ini mereka sarapan bersama. Yoo Mi sudah menyiapkan berbagai masakan di meja makan,

“Jiyeon, ayo duduk sarapan.” Yoo Mi mempersilakan Jiyeon duduk kursi. “Semua kau yang memasaknya?” tanya Jiyeon dengan tatapan ragu, Yoo Mi hanya tersenyum.

“Iya, dia yang memasaknya. Kau harus belajar memasak darinya,” canda Geonil, membuat Jiyeon manyun.

“Annyeong hasseo!” sapa Ji Eun yang baru bergabung. “Eh, seragam itu? Appa, apakah dia akan masuk sekolah yang sama denganku?” kening Jiyeon berkerut melihat pakaian yang dikenakan Ji Eun. Sama persis dengan yang ada di tubuhnya.

“Ne, aku sengaja lakukan itu. Agar kalian bisa bekerja sama dan belajar bersama.” Geonil memasukkan sepotong kecil sandwich ke mulutnya. Jiyeon tak menyahut, pikirannya mengembara entah kemana. Tak lama Hanbi muncul, dan duduk di samping Jiyeon.

“Waow, ada berbagai menu pagi ini. aku dibuat bingung.” Mata pemuda itu menyinggahi tiap piring serta mangkuk yang berisi makanan di depannya. Kemudian ia memutuskan untuk mengambil daging asap dan melahapnya bersama nasi.

“Oppa, kahja. Kita berangkat sekarang.” Jiyeon berdiri meraih tasnya. “Ya? Aku baru saja makan. Dan, makananmu masih tersisa banyak. Tidakkah ingin menghabiskannya dulu?” protes Hanbi dengan mulut penuh nasi.

“Park Jiyeon?” panggil ayahnya, “Aku sudah kenyang Appa. Oppa, palliwa!” setengah cemberut Jiyeon berbalik menuju pintu. Ji Eun segera menghabiskan susu di gelasnya dan menyusul Hanbi.

-Di sekolah-

Dengan susah payah, Ji Eun mengejar langkah Jiyeon yang cepat. Seakan hendak meninggalkannya, gadis itu kepayahan dengan kaki kecilnya memasuki gerbang dan memijak lapangan.

“Jiyeon-ah! Chamkaman! Hhh-” Ji Eun berlari kecil, “Ya! Panggil aku eonni!”

“Waeyo? Bukankah kita seumuran?” Ji Eun bertanya dengan polosnya. Jiyeon mendengus, “Kalau kubilang begitu turuti saja. tidak usah banyak bertanya!” sungutnya lagi sambil melipat tangan di dada kemudian melangkah lagi menuju kelasnya yang ada di lantai dua. Ji Eun berbelok, ia harus ke ruang administrasi terlebih dahulu.

-Di kelas-

“Anak-anak, bergembiralah. Hari ini kalian akan mendapat teman baru, pindahan dari Jepang. Masuklah.” Suruh Jong Hoon seonsaengnim pada Ji Eun. Gadis itu melangkah masuk dan mulai memperkenalkan diri.

“Annyeong hasimnikka. Naega Lee Ji Eun imnida, pindahan dari SMA HanaGiri Tokyo, Jepang. Senang bertemu kalian, mohon bantuannya!” Ji Eun menuntaskan perkenalannya.

“Terima kasih Ji Eun. Sebagai wali kelas, aku menyarankan jika ada yang kurang kau pahami bisa tanyakan pada Choi Min Hwan, dia adalah ketua kelas 2-D” tunjuk Jong Hoon pada pemuda tampan yang duduk di depan. Ia tersenyum ramah pada Ji Eun.

“Nah, silakan kau duduk di tempat yang masih kosong. Kita akan segera memulai pelajaran hari ini.” Guru tampan itu menuju tempatnya.

“Annyeong, Min Hwan imnida. Selamat bergabung di sini, semoga kau suka dengan kelas kami.” Sapa Min Hwan ramah pada penghuni baru di samping bangkunya. “Annyeong, Ji Eun imnida.”

Sementara Jiyeon menatap kesal dari bangkunya ke arah Min Hwan dan Ji Eun yang berbincang singkat. Min hwan adalah namja yang disukai Jiyeon sejak kelas satu, namun mereka jarang berbincang dekat dan Min Hwan adalah siswa yang aktif jadi terkadang sulit ditemui.

*

Suasana kantin siang itu tak berbeda dari biasanya. Tertib dan tenang,

“Haa~ kau senang sekali kemarin. akhirnya Hongki Oppa mengajakku berkencan, kyaaa~ wajahku pasti merah seperti kepiting rebus! Aku maluu…” pekik Shin Hyo Ae kesenangan. “Sikkeureo!” kesal Jiyeon. Teman SMP Jiyeon itu menghentikan ocehannya.

“Wae? Kau kenapa? apa aku salah cerita padamu? Tidak bisa melihat teman senang.” Gantian Hyo Ae yang cemberut. Namun kemudian gadis berambut pendek itu ikut melihat kemana arah mata Jiyeon tertuju. “Mereka kah masalahmu??” terkanya.

Jiyeon tak menjawab, “ah- ara ara! Kau cemburu pada anak baru itu? kalau begitu kenapa masih diam saja?! berusaha, rebut perhatian Minhwan. Jangan mau kalah, kau kan sudah lama kenal ketua kelas kita it- uummfftt-” kalimat Hyo Ae terhenti karena mulutnya terlanjur dimasukkan gimbap oleh Jiyeon.

-Malamnya di rumah keluarga Park-

“Appa! Kau tetap terlihat tampan meski sudah berumur. Hehehe” canda Jiyeon pada Geonil. Ayah dan anak itu sedang bercengkrama di ruang keluarga sambil menonton siaran tv. Di situ juga ada Hanbi, Ji Eun dan Yoo Mi menemani sang suami. Ia mengupaskan beberapa buah-buahan.

“Hey, jangan salah. Appa memang terkenal tampan sejak sekolah dulu, kalau tidak percaya tanyakan pada eomma kalian ini. beliau tahu persis Appa waktu SMA dulu.” Geonil mengerling genit pada istrinya. Yoo Mi hanya tersipu malu.

“Kau saja yang baru sadar, Jiyeon. Oppa-mu menuruni ketampanan Appa.” Hanbi tersenyum bangga, disambut juluran lidah dari Jiyeon. Ji Eun tertawa melihatnya. “Kalian sangat dekat sekali.” Timpal Yoo Mi. Hanbi menyahuti “Tentu saja. Kami memang dekat sekali, apalagi ketika eomma masih hidup. Kita berempat sering sekali keluar rekreasi bersama, menyenangkan rasanya mengingat masa-masa itu.”

Yoo Mi tahu suasana mulai tidak enak, tidak menguntungkan baginya dan Ji Eun. Dua anak itu masih belum bisa menerima dirinya sepenuhnya di keluarga ini. Terlihat dari sikap Hanbi dan Jiyeon.

“Hanbi-ah, bisakah tidak berbicara seperti itu di hadapan Yoo Mi??”

“Kenapa? Apa appa keberatan aku menceritakan kisah bersama Hyomin eomma di hadapannya?! Appa kau mulai berubah.” Hanbi membuang wajah ke samping. Jiyeon hanya menatap kakaknya, Ji Eun serba salah. Ia memilih diam saja. “Geuman, Geonil-ah.. aku tidak apa-apa, mungkin Hanbi merindukan ibunya.” Lerai Yoo Mi.

“Jangan pernah bersikap seperti tadi lagi, Hanbi. Jaga perasaan Yoo Mi,” pinta Geonil. Hanbi mengibaskan tangannya lalu pergi, naik ke kamarnya. “appa, kuharap kau tidak berubah.” Ujar Jiyeon datar. Ia juga ikut beranjak. Geonil pening dengan sikap kedua anaknya itu. Yoo Mi mengusap punggung suaminya sambil tersenyum miris.

-author pov ending-

*

-Hanbi pov-

Pagi ini aku sengaja bangun pagi-pagi, akan dimulai rencana yang kami susun sejak awal. Kebetulan Appa sedang pergi ke luar kota untuk beberapa hari. Tidak kubiarkan kalian menggantikan posisi Hyomin eomma di rumah ini. Hhh- bahkan anaknya sekalipun. Aku meraih segelas susu coklat yang ada di meja nakas samping tempat tidur dan mulai menumpahkannya ke lantai. Iukh, kotor sekali, perlu waktu untuk membersihkannya. Hehe kekeh-ku dalam hati.

“Ji Eun-ah! Lee Ji Eun!” panggilku pada Ji Eun yang baru keluar dari kamarnya. Ia bersiap untuk sarapan, langkahnya terhenti dan menoleh padaku. “Ye, Oppa? Ada yang bisa kubantu??” ia mendekat.

“Eum, tadi aku tidak sengaja menumpahkan susu coklat ke lantai. Kau tahu aku tidak suka ada kotoran di kamarku. Jadi, bisakah kau tolong bersihkan untukku? Aku terburu-buru, harus mengantarkan proposal pada temanku. Eotte?” aku memasang wajah innocent-ku agar ia tak curiga. Gadis itu segera mengangguk, “Ne, Oppa. Aku akan bersihkan. Chamkan, aku ambilkan kain basah dulu ke bawah.” Ia berbalik. “Gomawo. Nanti kau bisa berangkat bersama Jiyeon kalau kau mau. Nan galge.” Teriakku padanya yang di dapur. Yes! Rencana berjalan lancar, kuhampiri Jiyeon yang sudah duduk di meja makan. Hampir menyuap nasi di piringnya saat tangannya kuraih.

“Oppa! Iish, kau tidak lihat aku sedang makan? Mau apa pagi-pagi begini?”

“Jangan berisik. Kita pergi sekarang, biarkan si Ji Eun berangkat sekolah sendiri. Ia kusuruh membersihkan kamarku. Palli!” aku menyeret Jiyeon dari ruang makan sebelum Yoo Mi datang. “Jeongmal?? Haha kau pandai juga Oppa! Tapi bagaimana dengan perutku? aku belum sarapan…” Jiyeon sibuk memasang savebelt sementara mobil sudah kulajukan.

“Tenang saja. ini masih pagi, Oppa akan traktir kau makan. Masih ada waktu,” aku sudah fokus terhadap jalan di depanku yang sudah lumayan ramai. Jiyeon mengangguk senang, “Yeeah! Traktir aku yang banyak ya Oppa”

“Dasar rakus!” ejekku padanya.

*

“Oppa!” Jiyeon mengetuk pintu kamarku dengan keras. Aih, anak itu kenapa lagi??

“Ada apa??” aku membuka pintu. ia menerobos masuk dan duduk di kasurku. Tampangnya cemberut sekali, membuatku ingin menarik hidungnya itu. “Auh, appo!” ia mengelus hidungnya.

“Kau kenapa, huh?” aku meraih stik playstation yang tadi kutinggalkan sejenak untuk membukakannya pintu. “Rencanamu sama sekali tidak bagus! Kacau semuanya!!” Jiyeon melempar bantal padaku. “Ya! Kau ini… musun iriya??” aku tidak mengerti yang dikatakan olehnya.

“Katamu rencana itu akan berhasil. Nyatanya, Ji Eun malah sampai tepat waktu di sekolah. Di antar Min Hwan lagi! Aaarh! Aku benci dia!” omel Jiyeon. “Mwo? kenapa bisa begitu?! Pasti di tengah jalan ia bertemu temanmu itu dan berangkat bersama. Eh, kau cemburu ya??”

“Oppa!!” rajuk Jiyeon lagi. Aku tertawa melihatnya, “Haigho, kau masih menyukai lelaki bernama Min Hwan itu?? pemuda penggila ayam itu? hhaahaha… memangnya tidak ada namja lain di sekolahmu sana?! Dia terus yang kau gilai. Tck,” decakku, membuahkan pukulan lagi di kepalaku.

“Tidak ada gunanya bicara denganmu! Cari rencana lain, atau aku yang akan membuat rencana!” ancam Jiyeon sebelum keluar dari kamarku. Aku kaget karena ia membanting pintu.

-Hanbi pov ending-

*

-Author pov-

Anak-anak kelas 2-D kelihatan sangat sibuk hilir mudik, keluar masuk perpustakaan waktu istirahat. Rupanya akan ada tes yang diberikan oleh Min Chul seonsaengnim dan tidak bisa ditawar-tawar. Jiyeon mumet membaca buku di tangannya itu, deretan angka serta huruf yang tidak ia mengerti berputar di kepalanya. Hyo Ae tampak tenang-tenang saja, dengan senyum di wajahnya.

“Hey, kau tidak khawatir sedikitpun tentang tes dari Min Chul seonsaengnim?? Haissh” Jiyeon menutup bukunya. Hyo Ae menggeleng ringan, “Anio.” Ia kembali memandangi layar ponselnya. Tak lama kemudian datang seorang sunbae menghampiri mereka, dia adalah Hongki sunbae dari kelas 3-A.

“Annyeong! Sudah lama menunggu?”

“Anio Oppa.” Sahut Hyo Ae manja. Hongki mengacak pelan jejeran poni gadis itu, Jiyeon menjulurkan lidahnya. “Ada bala bantuan rupanya.”  Jiyeon mulai membaca bukunya lagi. Sesekali matanya melirik dua sejoli itu. Hongki menaruh tumpukan kertas berisi soal-soal latihan.

“Ini ada beberapa referensi untukmu tentang soal tes yang mungkin diajukan oleh Min chul ssaem. Tahun lalu soalnya juga tak berbeda jauh, pelajarilah. Semoga berguna, dan temanmu juga boleh ikut membacanya.” Hongki menawarkan pada Jiyeon juga.

“Gomawo Oppa. Anak ini kurasa tidak perlu bahan. Ia akan diajari oleh Min Hwan. Hehe” kekeh Hyo Ae sambil mengacungkan jari telunjuk serta tengahnya membentuk huruf V. Jiyeon mencibir lalu bangkit dari kursi.

“Haish! Kalian membuatku tidak bisa berkonsentrasi. Aku pindah saja!” ketus Jiyeon diiringi tawa pelan dari Hyo Ae dan Hongki. Ia meninggalkan dua orang itu menuju kelasnya. Namun kakinya terhenti ketika menemukan Min Hwan dan Ji Eun bertemu di depan kelas. Keduanya hendak pergi, Jiyeon mendekat dan coba menguping.

“Minhwan, bisakah kau membantuku? Aku tidak mengerti soal ini…” Ji Eun menunjuk halaman bukunya. Min Hwan mengangguk, “Ne, dengan senang hati akan kubantu. Ayo, kita pecahkan sama-sama.” Ajak Min Hwan. Keduanya menuju Taman sekolah, Jiyeon penasaran kemudian membuntuti dari jauh.

“Huh! Min Hwan keterlaluan! Untuk Ji Eun, dia mau membantunya. Aku yang sudah lama berteman belum pernah sekalipun! Dasar namja itu!” Jiyeon bersungut-sungut di tempat persembunyiannya. Matanya semakin terbelalak saat Min hwan menolong Ji Eun yang hampir terjatuh. Kesannya Min hwan sedang memeluk gadis itu.

“Lee Ji Eun, kau sangat jahat! Kau tak hanya merebut Appa, tapi juga Min Hwan!!! Aku benci padamu!” Jiyeon hendak berlari namun kakinya tersandung, menimbulkan suara berisik dan Min Hwan serta Ji Eun menoleh ke arahnya.

“Jiyeon eonni??” gumam Ji Eun. Ia dan Min Hwan berpandangan bingung, “eonnie!” Ji Eun mengejar Jiyeon yang menangis sambil terus berlari. “Eonnie-a” Ji Eun berhasil meraih tangan Jiyeon.

“Eonnie, kau kenapa??”

TBC

*

FT Triple – Love Letter

FT Triple (Sub-Group)

FT Triple – Love Letter Romanization+Hangeul+Tranlate Lyrics

# 잘 지내고 있나요 아프지는 않나요
내가 없는 그대가 난 걱정이 되죠
바쁘더라도 잘 챙겨 먹고 추울 땐 잘 챙겨 입고
울지 말고 씩씩하게 살길 바래요

RAP)
2009년 어느 날 문득 네 생각에 펜을 들어
밤길이 무서울 땐 누구한테 전활 거는지
보낼 수 없는 편지를 써 혼자서 밥은 잘 먹는지
오늘도 나는 걱정이 돼 보낼 수 없는 편지를 써

I cave about you I think about you
(나는 당신에 대하여 생각하고 난 당신에 대하여 조심한다)
이러면 안 되는 걸 알면서도
오늘도 너만 생각하고 있어 하루 종일 네 걱정만 하고 있어
너에게 닿을 수 없는 내 마음을 써

# 반복

내가 너무 걱정이 많죠 얘기가 너무 길어졌죠
버릇처럼 잔소리만 하네요
눈물이 많은 그대 모습이 내 눈에 아른거려서
오늘도 하루가 쉽지 않죠

# 반복

RAP)
왜 그땐 너란 사람의 소중함을 난 몰랐을까
사랑이 다가올 땐 무디더니 떠나고 나니 왜 또 찾는 걸까
oh 옆에 있을 때는 몰랐어 어리석은 남자라서
바보 같은 남자라서 떠나고 나니 알게 되더라

내가 너무 힘들게 아프게 했죠 정말 미안했어요
이제 그대를 보내줄게요

좋은 사람 만나요 행복하길 바래요
내가 아는 그대는 잘 할거라 믿죠
항상 웃던 그대 사진에 내 눈물 묻히기 싫어
오늘도 난 그래도 난 웃기만 하죠

Love Letter Romanization LyricsFT Triple

# jal jinaego innayo apeujineun annnayo
naega eomneun geudaega nan geokjeongi doejyo
bappeudeorado jal chaenggyeo meokgo chu’ul ttaen jal chaenggyeo ipgo
ulji malgo ssikssikhage salgil baraeyo

RAP)
2009 nyeon eoneu nal mundeuk ne saenggage peneul deureo
bamgiri museoul ttaen nuguhante jeonhwal geoneunji
bonael su eomneun pyeonjireul sseo honjaseo babeun jal meongneunji

oneuldo naneun geokjeongi dwae bonael su eomneun pyeonjireul sseo
I cave about you I think about you
(naneun dangsine daehayeo saenggakhago nan dangsine daehayeo josimhanda)
ireomyeon an doeneun geol almyeonseodo
oneuldo neoman saenggakhago isseo haru jongil ne geokjeongman hago isseo
neoege daheul su eomneun nae maeumeul sseo

# banbok (repeat)

naega neomu geokjeongi manchyo yaegiga neomu gireojyeotjyo
beoreutcheoreom jansoriman haneyo
nunmuri manheun geudae moseubi nae nune areungeoryeoseo
oneuldo haruga swipji anchyo

# banbok (repeat)

RAP)
wae geuttaen neoran saramui sojunghameul nan mollasseulkka
sarangi dagaol ttaen mudideoni tteonago nani wae tto chatneun geolkka

oh yeope isseul ttaeneun mollasseo eoriseogeun namjaraseo
babo gateun namjaraseo tteonago nani alge doedeora

naega neomu himdeulge apeuge haetjyo jeongmal mianhaesseoyo
ije geudaereul bonaejulgeyo

joheun saram mannayo haengbokhagil baraeyo
naega aneun geudaeneun jal halgeora mitjyo
hangsang utdeon geudae sajine nae nunmul muchigi sirheo
oneuldo nan geuraedo nan utgiman hajyo

FT Triple – Love Letter [English Translation]

Lirik Love Letter English Version

Love Letter – FT.triple

Are you doing well?
Aren’t you sick?
I worry about you without me.
I hope that you eat well even if you are busy,
bundle up when it’s cold
and live strongly without crying.

One day in 2009,
I held a pen thinking about you
wondering who you would call to walk you home at night?
I write a letter that cannot be sent to you.

I worry again today
if you are eating well.
I write a letter that cannot be sent to you.
I can about you

I think about you
Even though I know I shouldn’t do this,
I’m thinking only about you again today.
I worry about you all day.
I write about my heart that cannot reach you.

Are you doing well?
Aren’t you sick?
I worry about you without me.

I hope that you eat well even if you are busy,
bundle up when it’s cold
and live strongly without crying.

I worry too much, don’t I?
I’m talking too much, aren’t I?
I’m only telling you things like a habit.
I keep seeing your tears
and so everyday is difficult.

Are you doing well?
Aren’t you sick?
I worry about you without me.

I hope that you eat well even if you are busy,
bundle up when it’s cold
and live strongly without crying.

Why didn’t I realize how precious you are back then?
Why was I numb when love was coming to me,
but missing it now after it’s gone?

I didn’t know when you are right beside me.
Because I was a foolish man,
Because I was a stupid man.
I realized after you left.

I gave you hard time, didn’t I?
I’m so sorry.
I’ll let you go now.
Please meet someone good
and be happy.

I believe that you’ll do fine just as I know you will.
I don’t want to stain your smiling picture with my tears
so today,
I keep on smiling.

Choi Min Hwan ^_^ (little Prince)

ehm… kalian pasti sudah tahu siapa org ini?? hehe geurae, dia adalah Choi Min Hwan, drummer sekaligus magnae dari Band Korea FT Island ^^

kali ini saya lagi jatuh cintrong sama dia XD gayanya nge-drum keren abiss… *lebay* tp beneran

eh ya sudah lah, saya mau kasih biodatanya dulu yaaa :

    • Name: 최민환 / Choi Min Hwan
    • Nickname: 사오정 (SahOhJung)
    • Birthdate: 1992-Nov-11
    • Blood type: A
    • Height: 171cm
    • Weight: 55kg
    • Family: Younger sister Minhwan
    • Talent : Drums, eating chicken lol :DD
    • Hobby : Listen to music, internet
    • Educations : Seoul Arts School (same with Song Seung Hyun) ; Kyung Hee university majoring at Information and Communication since 2011)

Unstoppable Marriage (2007) as Jae Jin’s Friend, On Air (Cameo), On The Road Home 2009 KBS Daily Drama.

Minan

Minhwan

My First Drabble ^_^ [Boy Meets Girl]

Drabble [made time : 1 jam lebih beberapa menit *mungkin]

Boy Meets Girl

By: Azma Joonbee

Ost : Boyfriend – Boy Friend

Terdengar derap langkah yang beruntun di koridor, terlihat pula siluet yeoja yang diseret oleh seorang namja menuju sebuah apartemen.

“Hey! Mau kau bawa kemana aku?! Ya, Ya!” teriak Mi Soo sambil meronta minta dilepaskan tangannya yang diseret oleh Min hwan. Pemuda itu membuka pintu apartemennya kemudian membanting tubuh gadis itu ke sofa.

“Min Hwan! Kenapa kau membawaku kemari? Kasar sekali, melemparku sembarangan! Huh!” sungut Mi Soo memandang kesal pemuda yang berdiri di hadapannya itu.

“Kau harus lakukan sesuatu untukku,” Min Hwan merundukkan tubuhnya, Mi Soo mundur hingga punggungnya menyentuh sandaran sofa karena pemuda itu terlalu dekat dengannya.

“Aa..Apa maumu? Malhae-” gugup Mi Soo, wajah tampan itu terlihat dalam jarak yang cukup dekat. Min Hwan tersenyum kemudian mengambil celemek di atas meja, “ini, pakai dan segera ke dapur.” Ia menyerahkan benda itu ke tangan Mi Soo.

“Mwo?! kau kira aku pembantu? Sopan sedikit, aku lebih tua darimu. Kau tahu?!” kesalnya.

“Memangnya aku harus begitu? Sudah, segera buatkan makanan untukku lalu tolong rapikan ruangan yang berantakan ini. ingat, hutangmu padaku masih tersisa banyak. Jangan pikir bisa kabur, hhh-” Min Hwan berbalik meninggalkan Mi Soo yang mengerucutkan mulutnya.

“Aish, jinjja! Hutang lagi? Aku harus bekerja padanya?!” omel Mi Soo dengan wajah masam. Ia segera menuju dapur dan dengan sengaja menendang bak sampah penuh kertas hingga terburai isinya.

“Sekalian saja kutambah berantakan! Nanti juga akan kurapikan, huh!”

Sejam lebih lima belas menit, Min Hwan kembali ke apartemennya. Ia takjub melihat ruang tamunya sudah bersih, semua barang kembali tertata rapi di tempatnya. Ia menggigit gemas bibir bawahnya kemudian masuk ke dapur. Di meja makan sudah tersedia beberapa jenis makanan. Dicicipinya sedikit, lalu tersenyum puas.

“Nuna itu bisa diandalkan juga rupanya. Tapi, kemana dia?” ditemukannya Mi Soo yang tertidur lelap di sofa, langkahnya mendekati tubuh itu. dipandanginya sejenak wajah gadis yang merupakan tetangga sebelah apartemennya itu.

“Yeoppta. Jika seperti ini ia tak terlalu menyeramkan.” Perlahan tangan Min Hwan turun menyibakkan beberapa helai rambut yang menutupi sebagian wajah Mi Soo. Tiba-tiba ia terbangun, cepat-cepat Min Hwan menjauhkan tangannya.

“Oh? Kau sudah kembali?” Mi Soo mengucek pelan matanya, “sana makanlah. Sudah kubuatkan untukmu sup kentang dan semacamnya.”

“Kalau tidak enak kusuruh ulangi ya?” goda Min hwan dengan jahil, Mi Soo langsung bersungut. “sirho!” tolaknya. Karena masih setengah sadar dari tidurnya, Mi Soo tanpa sengaja menendang kaki meja hingga kulit di sekitar kuku jempol kakinya terluka.

“Auh!” ringisnya, Min Hwan berbalik lagi. “Wae??”

“aighoo… ceroboh sekali? Kenapa bisa sampai terluka begini?! Jangan bergerak, akan kuobati” Min Hwan mengambil perkakas P3K dan mulai mengobati luka itu dengan telaten. Mi Soo hanya diam melihatnya, ‘kenapa dia jadi baik?’ bathin Mi Soo. Min Hwan sudah menutup luka itu dengan perban, kemudian pandangannya naik memergoki Mi Soo yang sedang memperhatikannya.

“Apa yang kau lihat?” tanyanya tiba-tiba. Mi Soo terkaku, mendadak saja ia terjebak dalam mata bening yang sedang bersitatap dengannya. Jantungnya memukul keras, apalagi ketika Min Hwan mulai bergerak mendekati wajahnya. Entah kenapa ia tak sanggup menghindar, hanya bisa menutup mata.

“Apa yang kau pikirkan? Aku hanya ingin mengambil sampah kecil yang ada di wajahmu. Jangan terlalu percaya diri!” Min Hwan mendorong jidat Mi Soo dengan telunjuknya.

“Ya! Dasar tidak sopan!” teriaknya sambil mengelus-elus jidatnya sendiri. Serta merta Min hwan menarik lagi tangannya

“Ayo makan bersamaku, yang kau buat itu banyak sekali. Temani aku menghabiskannya!”

“Seenaknya saja menyuruhku?! Bahan makanan di lemari pendinginmu itu berlebihan jumlahnya, malah sebagian ada yang hampir busuk. Jadi kumasak saja semuanya, sekalian mengurangi isinya. Makan saja sendiri!” Jawab Mi Soo asal.

“Kalau kau temani aku makan, kuanggap hutangmu lunas. Impas, bagaimana?” pemuda itu mengedipkan sebelah matanya pada Mi Soo,

“Licik!” umpatnya seraya mengikuti Min Hwan ke meja makan.

*

Hahaha, amat singkat bukan?? Namanya jg drabble, singkat! Tp gaje ya?? Kkkkk– XD