Title: Shinsa-Dong Geu Saram (Songfict from FT Island’s Song: That Person In Shinsadong)
Author: Asuka
Casts: Choi Minhwan FT Island as Choi Minhwan || A Girl as Shim Nayeon (OC) || FT Island members as their self || and others support casts
Genre: Songfic, Angst (again -_-“), Friendship, AU
Rate: PG-15
Disclaimer: Semua karakter di dalam fiksi ini murni bukan milik saya, hanya OC dan Plot lah yang berhak saya claim. Lagunya milik FT Island, Minhwan-nya milik Tuhan dan keluarganya, so dont bashing me! Please respect me as an author ^^ silakan komentar dan dukung tulisan ini agar lebih baik lagi 🙂
A/N: Tulisan yang warna biru itu artinya flashback.
Others Songfict: Waiting (Kim Jun T-Max) || Sorry (Song Seunghyun FT Island)
Copyright Asuka_10/10/2013
-o0o-
Himihan bulbitsairo majuchineun geunun-gil pihalsu eobseo
Aku tak bisa melihat jauh dari mata yang aku temui di bawah cahaya redup
Nadomollae sarangeul leukkimyeo mannatdeon geusaram
Orang yang kutemui sambil diam-diam merasakan cinta
Haengyeo oneuldo dasimannalkka
Hari ini juga berharap bertemu lagi
Geunalbam geujarie gidarineunde
Malam itu di tempat yang sama aku menunggu
Sesekali nyala lampu di atasku berkedip disertai bunyi desisan yang mengkhawatirkan. Hampir-hampir padam dengan sebagian sudutnya yang menghitam. Aku mengabaikannya, karena bukan itu alasanku berada di sini. Benda yang berada dalam telapak tanganku sekarang inilah yang menjadi sugesti terbesar.
Hah konyol, seorang drummer dari sebuah band terkenal sepertiku (haha aku terlalu percaya diri) rela memajang seluruh tulang rangka di bawah lampu jalan seperti ini hanya untuk seseorang yang bahkan belum kusapa secara langsung? Terdengar gila, tapi sungguh dorongan dari dalam diri memaksaku untuk bisa mengulangi kejadian hari itu. Masih dengan harapan yang sama, berharap dapat berjumpa kembali di tempat yang sama pula.
Tepatnya minggu lalu.
Sepulang dari sebuah acara off-air yang mana kami menjadi salah satu pengisi acaranya, Seunghyun mendadak ingin mampir ke sebuah toserba di Shinsa-Dong, Gangnam, hanya untuk membeli cardigan dan sarung tangan yang ujarnya untuk hadiah ulang tahun sang adik besok pagi. Parahnya, dia mengajakku ikut serta sementara member yang lain menolak untuk turun dari mobil van. Aku akan berkelit jika saja Seunghyun bukan teman sekamarku.
Sewaktu bocah ajaib itu memilih beberapa sarung tangan kulit, aku berusaha membunuh rasa bosan dengan cara menyetel lagu dari ponsel dan mendengarnya melalui earphone yang hanya kugunakan sebelah saja. Waktu terasa lama ketika kita menunggu.
Aku hanya merunduk sedikit sembari merapatkan topi ketika kerumunan remaja putri melintas di depan. Mereka bisa saja mengerubutiku jika tahu seseorang yang berdiri di depan sebuah toko di kawasan Shinsa-Dong ini adalah Choi Minhwan FT Island. Hingga kemudian perhatianku teralihkan pada seorang gadis dengan rambut panjang terurai berbalut topi wol putih yang tampak kebingungan. Berkali-kali ia memegangi kepalanya dan berputar, seakan hendak bersembunyi dari seseorang yang lain.
Ia yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatku, dengan mudahnya bisa kuamati. Gesturnya benar-benar setengah panik, decakan demi decakan teruntai dari bibirnya yang sesekali ia gepit menggunakan gigi atas. Puncaknya, gadis itu mengibaskan tangannya di kepala sehingga tanpa ia sadari topi wolnya terlepas dan jatuh. Berikutnya sepasang kaki itu berlari menuju pintu keluar.
Baru kusadari topi itu tergeletak di dekat kakiku, aku segera memungutinya dan bergegas menyusul orang itu. Siapa tahu aku berhasil mengembalikan benda ini padanya. Begitu tiba di pintu keluar, sosok gadis berjaket abu-abu itu ternyata telah berada di seberang jalan sana. Ia meremas kedua tangannya secara bergantian dan tanpa sengaja ia menoleh tepat ke arahku. Pandangan kami bertemu pada satu titik.
DEG
Tiba-tiba saja aku membeku di pijakan sambil menggenggam topinya. Iris gelap itu tampak meredup di bawah tiang lampu jalan yang hampir mati. Kerisauan mengerumuninya. Ia menghela nafas sebelum akhirnya memalingkan wajah ke arah kanan, ekspresi wajahnya menyiratkan sesuatu yang tersembunyi di balik alat optik tersebut.
Aku masih mematung ketika gadis itu menyetop taksi lalu memasukinya dan melesat pergi. Merasa aneh dengan dentuman yang memenuhi rongga dada sebelah kiriku, getaran yang menggelikan.
“Apa aku mulai tidak waras?” Gumamku sambil meraba rusuk kiri yang masih meronta liar. Aku belum pernah terpana secepat ini sebelumnya, apalagi kepada seseorang yang tidak kukenal. Tidak juga pada member girlgroup yang beberapa waktu lalu sempat membuat fansku bersedih hati.
Mata yang kutemui tadi, mata itu. Aku tidak ingin melupakannya cepat-cepat. Aku tidak ingin beralih pada yang lain. Tangan kiriku terangkat begitu saja dan topi wol putih itu tersaji di depanku. Kuamati dengan segaris senyum samar, mungkin saja karena ini gadis tadi akan kembali lagi ke tempat yang sama.
“Shim… Na- Yeon…?” Mulutku mengeja sebuah tulisan berwarna hitam yang terpahat di bagian lipatan depan topi tersebut. Mengulanginya beberapa kali, dalam hati tentu saja.
“Minani! Aku mencarimu kemana-mana, kupikir kau diculik siluman ayam!” Celetukan iseng dari Seunghyun menarikku kembali ke alam nyata, berikut melemparinya dengan tatapan protes—sebab selain mengejekku ia juga memotong imajinasiku.
“Sudahlah! Kau sudah dapat barangnya, bukan? Ayo pulang, aku ingin lekas tidur.” Aku menyeret tubuh jangkung itu sampai ke mobil van di mana Hongki Hyeong sudah membuka jendela mobil sembari melambai ke arah kami, menyuruh untuk lekas naik.
Geusaram ojianko nareul ulline
Orang itu tidak datang membuatku menangis
Siganeun jajeongneomeo sebyeogeuro ganeunde
Waktu telah melewati tengah malam dan menjadi dini hari
Ah~ geunalbam mannatdeon saram
Ah~ orang yang kutemui malam itu
Nareul ijeusyeonnabwa
Pasti sudah lupa padaku
Benar ‘kan? Aku takut untuk mengakui firasat ini benar adanya. Orang yang kunantikan tak tampak hingga sekarang. Jika aku tak setua ini, mungkin saja air mataku sudah turun dengan bebasnya. Kecewa, hasrat untuk melihatnya sekali lagi harus pupus.
Jam di pergelangan kiriku sudah menunjukkan waktu yang melewati batas tengah malam, bahkan hampir dini hari. Aku terus saja mengabaikan panggilan masuk ke ponselku yang sejak setengah jam lalu tiada mengistirahatkan diri. Kalau bukan manager, pasti Jonghun Hyeong. Mereka semula memang melarangku keluar malam ini karena besok kami harus melakukan sesi rekaman demi single terbaru.
Hey gadis bernama Shim Nayeon, kenapa kau tidak muncul juga? Tidakkah kau ingat topi wolmu yang tercecer ini? Kau begitu mudah melupakannya, dan apakah itu juga berlaku padaku? Ah, pasti benar saja. Benda yang pernah ia kenakan saja dapat terlupa, apalagi diriku yang hanya bersitatap selama beberapa detik dengannya?
Orang itu, dia jelas sudah lupa padaku. Bahkan mungkin, tidak menyadari keberadaanku saat itu.
-o0o-
Himihan bulbitsairo ogogadeon geunun-gil eceolsu eobseo
Aku tak bisa menolong mata yang aku temui di bawah cahaya redup
Nadomollae maeumeul jumyeonseo saranghan geusaram
Orang yang kuberikan hati dan cintaku secara diam-diam
Oneulbamdo haengyeo mannalkka
Malam ini juga berharap bertemu lagi
Geunalbam geujarie maeum seollemyeo
Malam itu di tempat yang sama dengan hati berdebar
Guliran hari tidak serta merta memampatkan ingatanku tentangnya, tentang Shim Nayeon yang belum jua kujumpai secara tatap muka. Mata kelam itulah yang sulit dilupakan olehku. Bolehkah aku menyatakan jikalau diam-diam aku telah menyukainya? Entahlah, ini sulit diprediksi.
“Kyaaaa… Minhwan Oppa! Tolong bubuhkan tanda tanganmu di sini,” Pinta salah seorang Primadonna dengan Pentastick di tangannya. Telunjuk mungil fans itu mengarahkanku untuk mencoretkan tanda tangan pada cover mini album spesial kami yang telah resmi dirilis kemarin.
“Gamsahamnida.” Usai menyerahkan kembali CD miliknya, aku menghadapi satu lagi fans yang sudah mengantri sejak tadi. Aku menanyakan apakah ia hendak ditambahi kata-kata atau semacamnya selain tanda tanganku, dan di saat bersamaan aku mendongak untuk melihatnya.
Mataku membulat, “Shim… Nayeon?” Spontan aku menyebut sebuah nama yang masih membekas dalam ingatanku. Praktis membuat Jaejin Hyeong serta Seunghyun yang duduk di sebelah kiri dan kanan tubuhku menoleh bingung. Mereka mungkin bertanya-tanya apakah aku mengenal salah satu Primadonna yang datang hari ini.
Gadis yang berdiri di depan mejaku itu memicingkan matanya lebih lebar, kemudian menggeleng. “Jwaesunghamnida, Minhwan-Ssi. Kkeundae, joneun Shim Nayeon ani-yeo. Suyeon, itu namaku.”
Sedikit tersentak malu karena keliru mengenali seseorang, aku meminta maaf lalu menuliskan namanya di atas cover mini album. Tidak habis pikir, wajah gadis ini mirip sekali dengan Shim Nayeon. Makanya saat pertama melihatnya, aku kira dia benar-benar gadis itu.
Fanmeeting berakhir pada tengah hari. Aku dan keempat member lainnya meninggalkan aula tempat acara diikuti manager. Di luar dugaan, gadis yang mengaku bernama Suyeon tadi menunggu kami tak jauh dari mobil van. Awalnya manager memintanya mengurungkan niat untuk menemui kami karena mengingat jadwal kami yang penuh, tetapi saat kuketahui jikalau ternyata orang yang dimaksud olehnya adalah aku, dengan susah payah kudapatkan izin dari manager agar diperbolehkan bicara empat mata dengannya.
.
.
.
“Jadi, kau adalah saudara kembar Shim Nayeon?” Macet rasanya saliva yang hendak kudorong melewati tenggorokan, tercekat pada penjelasan Shim Suyeon—gadis yang salah kukenali tadi. Ia tampak menghela nafas, sebelum berujar lagi.
“Itu benar. Nayeon adalah kakak kembarku, dan aku sempat terkejut ketika tadi kau menyebut namanya padaku. Nayeon bukan fangirl sepertiku yang bebas melakukan hal menyenangkan semaunya. Dia.. terlanjur bergantung pada tiap keputusan orang tua ka— ah, maafkan aku. Seperti aku lancang membicarakan masalah ini padamu,” Suyeon menundukkan kepalanya sekali, dan aku semakin ingin tahu apa yang sebenarnya tersembunyi.
“Tak apa. Kau pantas heran, dan mengenai bagaimana aku bisa tahu namanya, eum itu karena beberapa bulan yang lalu aku sempat bertemu dengannya lalu memungut benda ini,” kukeluarkan topi wol putih dari tas kecil milikku dan memperlihatkannya kepada Suyeon.
“Terjatuh saat Nayeon pergi dengan buru-buru. Ketika hendak memanggilnya, dia keburu menyelinap ke dalam taksi. Aku pikir dengan menunggu di tempat yang sama, di jam yang sama, dia akan kembali. Tapi ternyata tidak. Aku tidak pernah lagi melihatnya di seberang jalan Shinsa-dong.”
Suyeon bergeming menatap topi wol berukirkan nama Shim Nayeon pada permukaannya itu. Setelah hening selama hampir satu setengah menit, Suyeon tengadah menatapku lagi.
“Apa alasan seorang idola sepertimu menyimpan benda asing semacam ini?” Pertanyaan itu hampir menyamai seorang psikolog atau bahkan agen polisi wanita yang tengah mengungkit kasus misteri. Apa dia bisa membaca isi hatiku hanya dengan bersitatap, huh?
Aku tak jadi meneguk minuman kaleng yang kubeli dari kafetaria FnC Academy, “Ah- masalah itu, aku sendiri kurang yakin. Tapi sejak mendapati saudarimu itu dengan mata redupnya, aku tidak bisa menahan rasa membuncah yang aneh dalam dadaku. Menurutmu ini apa?” Yah, lihatlah sekarang. Suyeon ini bukan lagi sekedar fans dari band kami, dia juga merangkap sebagai pendengar yang baik, menurutku.
Mendadak saja gadis berambut pirang itu terkikik tidak jelas, mentertawaiku kah? Tindakannya itu sontak mengundang perhatian pengunjung kafetaria yang sebagian besar adalah training di FnC Entertainment.
“Choi Minhwan-Ssi, mungkin aku berlebihan, tetapi, apa.. kau menyukainya?” Giliran aku yang harus terperangah. Bagaimana bisa? Aku— menyukai Nayeon? Gadis yang bahkan belum pernah sekalipun bicara denganku? Hm, bisa jadi meski kedengarannya sangat mustahil. Bukankah ada istilah love at first sight?
Belum sempat aku menyampaikan protes, Shim Suyeon itu sudah lebih dulu menyambung dengan kalimat-kalimat bernada iri. Ia bilang Nayeon begitu beruntung sampai disukai olehku sementara dirinya saja yang notabene Primadonna tidak sampai diperlakukan dengan perasaan khusus seperti itu.
“Hey! Para fans memiliki tempat tersendiri di hati kami. Urusan pribadi mana boleh dicampur-adukkan dengan profesionalitas kerja.” Sahutku meluruskan pemikirannya yang sedikit absurd. Ia menuntaskan tertawaannya sebelum berujar sesuatu kepadaku.
“Minhwan-Ssi, kau mau aku membantumu bertemu dengan Nayeon, tidak?”
Dan, seketika itu hatiku mencelos senang.
.
.
.
Lagi-lagi perasaanku berkecamuk tak menentu. Harap-harap cemas, apakah benar Shim Suyeon akan menyambungkan pertemuan antara aku dan Nayeon? Kumohon, sekali saja aku ingin menemuinya dan mengenal lebih jauh gadis yang—akhirnya kuakui—telah kusisipkan secuil perasaan istimewa, walau secara diam-diam.
Malam yang dijanjikan, malam ini aku juga berharap dapat menjumpainya kembali. Masih di tempat yang sama, Shinsa-dong. Di bawah lampu jalan, dan akh… organ bernama jantung kepunyaanku ini terus saja berdebar. Konyol, memangnya aku anak remaja yang baru pernah berkencan?
Geusaram gidaryeodo ojireul anne
Orang yang kutunggu itu tidak datang
Jajeongeun beolsseo jina saebyeogeuro ganeunde
Waktu sudah melewati tengah malam dan menjadi pagi
Ah~ nemaeum gajyeogan saram
Ah~ orang yang mengambil hatiku
Shinsadong geusaram
Orang Shinsadong itu
Penyamaranku cukup ampuh. Selama hampir satu jam aku berdiri di seberang toko yang dulu menjadi tempat pertemuanku dengan Nayeon itu, tak satupun orang-orang memperdulikanku. Tidak juga mengenaliku sebagai Choi Minhwan, si drummer band Korea, FT Island. Hanya satu yang menjadi pikiranku saat ini, kenapa Shim Suyeon belum muncul juga? Apa dia berniat mengibuliku? Bodohnya lagi aku terlupa meminta nomor ponselnya. Jika tidak, mungkin sekarang aku sudah mendapatkan kabar darinya.
Kemudian berlalu setengah jam lagi, belum ada tanda-tanda Shim Suyeon maupun Shim Nayeon. Astaga… Apa orang yang kutunggu itu tidak datang lagi? Waktu seakan mempermainkanku, kini apa yang dulu terjadi terulang kembali. Malam menjelma menjadi dini hari, berangsur pekat menggulung hatiku dalam kabut.
“Mungkin aku yang terlalu optimis. Shim Nayeon itu tidak ada, dan orang yang mengaku kembarannya itu hanya penipu…” Lirihku sambil membuang nafas. Kuputar kedua kakiku, nyaris melambaikan tangan sebagai salam perpisahan pada tiang lampu jalan jika saja tidak ada sesuatu yang ganjil menarik perhatianku.
Sekitar dua meter dari keberadaanku, tampak sebuah mobil bercat metalik bersama empat orang—yang dua di antaranya adalah sepasang gadis—tengah bersitegang. Bahkan satu dari dua lelaki berpakaian serba hitam itu tampak memaksa salah seorang gadis untuk masuk ke dalam mobil. Sisanya berusaha mencegah agar gadis itu tidak didorong melewati pintu mobil. Sempat kudengar ringkingan kesal dari gadis berambut pirang berkuncir satu tersebut.
“Jangan bawa pergi Nayeon! Sudah cukup kalian mengekangnya!”
Benar! Itu Shim Suyeon yang memekik. Dan… Shim Nayeon adalah gadis yang dipaksa ikut bersama orang-orang berpakaian serba hitam seperti anggota mavia itu! Tidak boleh! Kalian tidak boleh membawanya pergi, setidaknya izinkan aku sebentar saja menemui orang yang telah berhasil mengambil hatiku tanpa sadar itu! Orang Shinsa-dong yang kunantikan!
Tanpa peduli apapun, aku berlari menghampiri keberadaan Suyeon yang sudah meronta seperti orang kesurupan setelah orang-orang asing itu menghempaskannya ke atas trotoar. Aku tiba bertepatan dengan dilarikannya mobil metalik itu bersama Nayeon di dalamnya. Terlambat. Mereka telah membawa pergi gadis itu.
Suyeon meraung dengan sedihnya, ia baru menyadari keberadaanku setelah berhasil mengumpati orang-orang tadi dengan caci maki. Alveolusku terasa penuh sesak, bukan karena terengah-engah sehabis berlari, melainkan sebagai bentuk penyesalan.
“Choi Minhwan-Ssi.. Maafkan aku, aku tidak bisa mencegah mereka..” Surut Suyeon sebelum ia menceritakan semuanya kepadaku. Awalnya ia berhasil membujuk Nayeon dan memang berencana menemuiku di tempat yang telah disepakati, namun takdir berkata lain.
“Orang-orang suruhan ayah tiri tadi menemukan kami dan memulangkan Nayeon secara paksa. Seumur hidupnya saudariku itu menjadi boneka yang diperlakukan sesuka hati. Ayah tiri memintanya untuk menjadi calon pengantin putra rekan bisnisnya yang berada di Taipei sebagai balasan karena Ayah tiri bersedia membiayai pengobatan serta perawatan ibu kami.. Dan, Nayeon tidak sanggup menolaknya,”
Demi Tuhan, aku tak pernah menyangka gadis kembar itu menjalani hidup seperti ini. Mungkin itu alasan kenapa kesuraman kutemukan dari bola matanya pada kali pertama pertemuan kami beberapa bulan yang lalu. Melihat kenyataannya, aku merasa sedikit beruntung dengan hidupku. Psikis Shim Nayeon jauh lebih lelah dibandingkan aku.
“Uljimarayo. Kau seharusnya bangga memiliki saudari sepertinya yang tak mementingkan diri sendiri. Aku tak menyesal pernah menyukainya walau tak diberi kesempatan untuk menuai hasilnya.”
-o0o-
Geusaram ojianko nareul ulline
Orang itu tidak datang membuatku menangis
Siganeun jajeongneomeo saebyeogeuro ganeunde
Waktu telah melewati tengah malam dan menjadi dini hari namun
Ah~ geunalbam mannatdeon saram
Ah~ orang yang kutemui malam itu
Nareul ijeusyeonnabwa
Pasti sudah lupa padaku
Nareul ijeusyeonnabwa
Pasti sudah lupa padaku
Nareul ijeusyeonnabwa
Pasti sudah lupa padaku
Aku masih sanggup mengulas senyum ketika mengantarkan Shim Suyeon hingga mendapatkan sebuah taksi untuknya pulang, berlagak kuat meski sebenarnya hatiku terlampau sakit. Nyatanya, sepeninggal gadis itu, aku terseok-seok di jalanan Gangnam dan pada akhirnya menepikan diri pada satu persimpangan tak jauh dari gedung FnC Ent. Tubuhku merosot turun, kutekuk kedua kakiku lalu memeluknya.
Orang itu tidak datang lagi untuk selamanya. Meski malam pergi dan berganti, ia tetap tidak akan datang. Perlahan kedua pipiku yang semula ditampar oleh dinginnya suhu udara malam hari kini mulai menghangat dikarenakan guliran air asin yang merembes begitu saja dari kelopak mata. Memalukan! Aku menangis sekarang.
Kenapa ia tak boleh mengingatku barang sebentar saja? Setelah malam ini atau malam-malam sebelumnya, ia pasti sudah lupa padaku. Dewi Portuna tampaknya tidak memihakku atas cinta yang kali ini.
“Choi Minhwan! Ya! Kau dari mana saja, huh? Kami mencarimu kemana-mana,” Kudengar teriakan khawatir terlontar bersamaan dengan berhentinya beberapa pasang kaki berlapis sneakers di hadapanku. Itu pasti hyeong-deul se-grupku.
“Sepertinya dia dalam masa-masa sulit, hyeong.” Seunghyun berbisik kepada Jaejin yang masih bisa kudengar. Sementara Jonghun hyeong bersama manager merapalkan wejangan yang tidak semuanya kutangkap dengan baik.
“Songsari benar, hyeong. Aku baru saja kehilangan orang yang berarti, mianhae..” Aku masih terisak. Meski begitu, aku bersyukur bahwa tak satupun dari mereka berniat mengolok-olokku.
“Haish, kenapa kau malah minta maaf? Seharusnya kau meminta bantuan kami untuk mengurangi beban yang kau alami. Bukan menyendiri seperti ini. Kemari,” Titah Hongki Hyeong berikut isyarat tangan agar aku mendekat padanya. Kuturuti perintahnya dan dalam sekejap tubuhku sudah dipagari oleh tangan-tangan hangat yang merangkulku dalam rasa kekeluargaan. Benar. Sahabat terbaik akan selalu ada, mereka tak akan pergi.
“Tenangkan dirimu, Minhwan-ah. Itu adalah hal yang lumrah bagi seluruh manusia. Kau hanya perlu menetralisir perasaanmu dan senantiasa bersyukur atas apa yang terjadi.” Manager-nim turut menyemangatiku.
“Terima kasih, semuanya. Kalian adalah yang terbaik yang pernah kumiliki.”
.
.
.
Shinsa-dong. Tempat di mana aku memulai dan mengakhiri kisah tak sempurna ini. Teruslah menjadi kenangan meski mungkin bukan saat-saat indah yang pernah ada dalam hidupku.
FIN
Hola! Ini FF jauh lebih gaje lagi! Wakakakakk… yakin, ini FF timbul setelah aku liat piku .gif Minan yg keliatannya imyut bgt :3 jadi wajar dink kl feel-nya kurang dapet dan kurang nyambung sm lagu hahaha…
Kenapa jg Minhwan jadi cengeng gini ya? Nista bener! Padahal ‘kan, body dia tuh macho tingkat Monas(?) bro! XD hadeuh, gatot lagi bikin Songfic yg bener (?), lagi-lagi absurd :p Pasti neh pulang2 gue didamprat sm para fans Minaring dan dilemparin pake ayam goreng sekardus *uhuk* okelah, fine! Silakan tulis komentar apapun (asal jangan BASH) di kotak komen, share jika berkenan dan dukung tulisan-tulisan di blog ini biar lebih baik lagi 🙂 gamsaaa~