Title : If You Hurt Like Me part 1
Author : Asuka (@_Asuka7)
Casts : Aron Kwak –Nu’Est–, Hwang Min Hyun –Nu’Est–, Son Na Eun –A.Pink–, Hong Yoo Kyung –A.Pink–
Other Casts : All of Nu’Est Member, All of A.Pink Member
Genre : School-life, Little-Angst, Romance, Friendship
Lenght : Part
Rate : PG-15
Disclaimer : All casts isn’t mine, but plot is mine. I’m so sorry if there is some mistake in the description of this school, my knowledge of SOPA is limited. So please be tolerated and dont bashing and plagiarism, okey?
©Asuka©
Dua pasang kaki yang berlarian membelah keriuhan di salah satu lantai gedung Seoul Of Performing Art School atau yang lebih dikenal dengan SOPA itu saling berkejaran. Salah satu dari mereka berusaha mengatur nafasnya yang mulai tak terkontrol, sementara yang satu lagi menyunggingkan senyum jahil seraya menenteng sebuah kamera SLR di tangannya.
“YA! Kwak Young Min! Aku perintahkan kau untuk berhenti sekarang! Kau dengar?!” pekik gadis berseragam kuning itu berusaha mengejar seseorang yang berlari di depannya. Rambut panjangnya bergoyang seiring dengan hentakan kakinya.
“Apa?? Aku tidak dengar, Son Na Eun!” balasnya tak kalah sengit sambil menjulurkan lidah ke arah gadis yang disebutnya Son Na Eun tersebut. Beberapa orang siswa di koridor itu menatap keduanya dengan tatapan bertanya. Sedang ada perlombaan lari kah?
“Sss~ Hhh~ Aku menyerah, tolong kembalikan kameraku!” Na Eun memperlambat kecepatan larinya, bukan karena melihat pemuda tadi berhenti di hadapan gurunya, melainkan ia memang kelelahan.
“Young Min-Ssi, apa yang kau lakukan di sini? Sebentar lagi bel masuk berbunyi.” Tegur Tuan Jung, salah satu guru di sekolah itu membuat Kwak Young Min—yang lebih biasa dipanggil Aron oleh teman-temannya itu—membungkuk sopan dan mengucap salam. Tentu saja Na Eun bisa dengan mudah menyusulnya.
“Ng, itu… Saya hanya—”
“Dia menjahili saya, Sonsaengnim!” Potong Na Eun cepat membuat mata Aron sedikit membeliak dan berjengit samar. Tuan Jung mengangkat alisnya, “Tapi itu memang salah saya. Saya mengambil gambarnya diam-diam dan dia meminta saya untuk menghapusnya. Karena saya tidak kunjung menghapusnya, dia mengejar saya dan merebut kamera ini.” Jelas Na Eun mengambil kameranya dari tangan Aron yang masih melongo.
Tuan Jung mengelus dagunya sejenak, “Oh, begitu ya? Lain kali jangan buat keributan di koridor, kalian tahu? Itu mengganggu. Nah, sudah saatnya masuk kelas.” Suruh Tuan Jung pada kedua muridnya itu. Mereka membungkuk cepat dan berbalik ke arah kelas masing-masing yang kebetulan di lantai yang sama.
“Hey, kupikir kau akan mengadu padanya.” Sikut Aron pada lengan kiri Na Eun. Gadis itu mengangkat wajahnya, “Untuk apa mengadu? Meski dihukum, kau tidak akan jera juga.” Sahutnya enteng.
“Haish, lagipula kenapa kau mengambil fotoku diam-diam? Kurang kerjaan sekali.” Pemuda berwajah western itu memasukkan tangannya ke dalam saku almamater.
“Ini demi misiku, sebagai wartawan sekolah. Kurasa aku bisa mendapatkan foto serta beritamu dan memuatnya di majalah bulanan sekolah, dan pose-mu saat tidur itu sangat menggemparkan.” Na Eun tidak menatap Aron, sibuk memeriksa hasil-hasil gambarnya di kamera. Selain terdaftar sebagai siswi jurusan teater di SOPA, Na Eun juga tergabung dalam anggota kelompok penyusun majalah sekolah dan bertugas untuk meliput berita tentang murid-murid berbakat di sekolah mereka.
Aron sendiri memiliki sebuah grup band yang lumayan punya nama dan popularitas di SOPA, bertajuk Nu’Est yang beranggotakan empat orang. Terdiri dari Aron, sebagai vokalis, Choi Min Ki atau lebih sering disebut Ren pada bass, JR pada gitar merangkap rapper dan yang terakhir Hwang Min Hyun memegang tugas sebagai drummer.
Sebagai sahabat, Na Eun tahu betul hobi bermusik sahabatnya itu. Ia berencana memasukkan profil Nu’Est ke dalam buletin untuk majalah bulanan yang diterbitkan mandiri oleh SOPA sebagai media yang bisa memperkenalkan siswa-siswi berbakatnya ke publik.
“Setidaknya minta izin dulu padaku. Kau bisa kutuntut dengan tuduhan pencemaran nama baik.” Ancam Aron dengan nada bergurau. Na Eun tertawa mendengarnya, “Ya~ belum debut saja kau sudah bersikap sok begini. Sepertinya aku salah memilih orang yang akan jadi profil majalah bulan depan. SOPA dan Nu’Est bisa-bisa malu karena sikapmu.” Cibir Na Eun lagi.
“Aku tidak sok. Bukankah setiap yang masuk daftar majalah adalah orang yang penting, atau setidaknya berbakat?” Aron menekan tombol di dinding untuk membuka lift.
“Arayo. Tapi jika kau seperti ini aku tidak sudi mewawancaraimu dan anggota Nu’Est yang lain.” Na Eun melangkah acuh tak acuh memasuki lift yang sudah terbuka disusul kemudian Aron di sampingnya dan beberapa anak setingkat mereka.
“Ah, kupastikan kau tidak menyesal memasukkan kami ke dalam kolom buletin majalah SOPA bulan nanti. Seluruh kelas musik juga tahu kalau kami adalah band yang siap untuk debut. Aku benar, ‘kan?” Aron menyentuh pundak salah seorang siswa di sebelahnya, meminta dukungan. Yang ditanya hanya mengangguk bingung.
Na Eun melengos, “Baiklah, baiklah. Aku percaya kau, Kwak Young Min.” Tangannya mendarat di bahu kanan Aron, menghadiahi tepukan semangat. Dengan setengah gusar pemuda itu menurunkan tangan gadis itu dari bahunya.
“Sudah kubilang, panggil aku Aron. A-R-O-N! Itu nama panggungku.” Cecarnya tidak terima jika Na Eun memanggilnya dengan nama lengkap. “Cerewet sekali si vokalis ini!” ejek gadis bermarga Son itu sambil menghadiahi sebuah jitakan di kepala Aron.
“Auh! Tanganmu itu tidak bisa diam, yah?!” Pemuda tampan itu meringis kecil saat Na Eun mentertawakan mimik mukanya. Setelah membuang nafas sekali, Aron tiba-tiba menggamit lengan Na Eun dan menariknya keluar dari lift yang sudah terbuka.
Na Eun kebingungan, ia menatap tangannya yang digenggam oleh Aron sehingga menimbulkan getaran hebat di rongga kiri dadanya. “Sebagai hukumannya, kau harus mengenakan gelang ini.” Pemuda itu melepaskan gelang di tangan kirinya dan memasang benda itu di pergelangan tangan Na Eun yang masih menatapnya.
“Gelang apa ini?” tanya Na Eun terlalu polos, ia lalu mengamati gelang hitam yang dijalin silang dengan hiasan kepala tengkorak sebesar koin di tengahnya itu. Senyum miring menyembul di bibir Aron.
“Jika kau menggunakan tangan ini untuk menjahiliku atau orang lain lagi, maka tengkorak itu yang akan menggigitmu. Kau paham?” Telunjuknya mengacung tepat di depan hidung Na Eun.
“Haha… Itu konyol sekali, Aron!” Na Eun tertawa canggung, ia terus menutupi kegugupan yang menyergapnya. Darahnya berdesir setiap kali kulitnya bersentuhan dengan kulit pucat Aron. Kedua pipinya memanas ketika mendapat kerlingan nakal dari sahabatnya itu.
“Tidak peduli. Jangan dilepas ya? Ah, sudah bel. Aku masuk kelas dulu, sampai jumpa Son Na Eun!” Aron melambaikan tangan sebelum menghilang dari pandangan mata Na Eun yang menggenggam pergelangan tangan kanannya. Lebih tepatnya, memegang gelang pemberian Aron. Seceruk senyum tipis dan rona merah muda menghiasi wajah cantiknya.
***
Tidak bolehkah kau menyimpan rasa suka terhadap sahabatmu sendiri? Kepada orang yang selalu di sampingmu dan memperhatikanmu dengan tulus, sehingga bersama iringan waktu perasaan itu tumbuh dengan sendirinya di hatimu?
Ah, mana ada peraturan hukum macam itu, setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai oleh siapa saja ‘kan? Hanya saja, paradigma mayoritas orang yang beranggapan cinta dapat merusak sebuah hubungan persahabatan karena pada saat cinta itu kandas dan perasaan dua manusia tidak lagi sama, maka yang terjadi adalah kecanggungan satu sama lain dan enggannya bertegur sapa.
Tapi bukankah persahabatan juga dilandasi cinta dan kasih sayang? Bukankah harmonisasi hubungan manusia – manusia, manusia – Tuhan, serta manusia – alam berlandaskan kecintaan? Pikiran serta ketakutan manusia lah yang menciptakan pengecualian tersebut.
Aku menyukai Aron. Aku menyukainya lebih dari seorang sahabat, dan aku peduli padanya lebih dari yang orang-orang ketahui selama ini. Jeritan hati Na Eun tersebut belum dapat ia utarakan melalui lisan karena status yang disandangnya sebagai ‘sahabat’ dari Aron.
“Ya! Son Na Eun, sudah kah kau hapal naskahnya?” tegur Yoo Kyung, salah seorang teman sekelasnya. Mereka tengah duduk di antara ratusan bangku kursi berwarna merah hati yang ada di teater room, berlatih untuk menghapal dialog serta perbaikan intonasi.
Gadis itu menyeringai aneh, “Mian. Aku tiba-tiba saja tidak bersemangat. Aku kelaparan, Yoo Kyung-ah…” rengeknya dengan wajah memelas. Gadis bermarga Hong yang duduk di sampingnya itu menganga dengan bahu melorot.
“Haish, mau mengganjal perutmu dengan kertas naskah ini? Istirahat sebentar lagi, Na Eun-ah. Bersabarlah sedikit.” Bujuk Yoo Kyung pada temannya itu. Na Eun terpaksa mengangguk patuh saat dilihatnya Tuan Ahn—guru seni spesialis akting—yang berdiri di atas panggung melirik padanya dengan tajam.
“Aku menurutimu. Psst- kita lanjutkan saja latihannya, Tuan Ahn curiga dengan gerak gerikmu.” Bisik Na Eun takut terdengar hingga ke telinga instruktur paruh baya itu dan juga khawatir rekan-rekannya terganggu.
“Bukan aku! Kau yang memulainya, tahu!” Sentak Yoo Kyung mengibaskan lembaran naskah berjilid miliknya di depan wajah Na Eun. Tuan Ahn berdehem singkat dan menyadarkan Yoo Kyung untuk segera kembali ke posisi awalnya. Na Eun hanya terkikik pelan melihat Yoo Kyung yang ketakutan.
Waktu istirahat tiba, seluruh siswa siswi SOPA meninggalkan kelasnya terkecuali yang masih memiliki kelas tambahan atau ada di antaranya lebih memilih latihan ketimbang mengisi perut di kantin sekolah. Na Eun dan Yoo Kyung bersama dua orang temannya memasuki area kantin yang didominasi warna putih, cerah dan tata letak meja kursi yang begitu apik. Jika kau menginjakkan kaki di sana, akan terpikir apakah kalian sedang berada di kantin sekolah atau restauran?
Keempat dara tersebut mengambil tempat di sudut kanan dan berada di dekat jendela. Masing-masing dari mereka sudah membawa baki berisi makanan yang sesuai dengan porsinya. Baru saja Na Eun akan duduk di kursinya, salah satu temannya itu memekik dan menunjuk ke pintu masuk kantin.
“Ya! Nu’Est! Kenapa keempat pemuda tampan dan keren itu seakan tidak terpisahkan? Mereka memang band yang solid!” Pujinya dengan mata berbinar. Yoo Kyung serta Na Eun ikut menoleh. “Mereka sudah dicanangkan untuk masuk buletin majalah sekolah bulan depan. Benar ‘kan, Na Eun?” Yoo Kyung mengangkat dagunya.
“Ah, itu benar. Dan aku yang bertugas meliput serta mewawancarai mereka.” Ia memberikan senyuman cerianya. “Jinjja?! Aish kau beruntung sekali! Tunggu, bukankah kau cukup akrab dengan vokalis mereka, Aron?” serbu gadis berpita dengan name tag Jung Eun Ji yang duduk tepat di depan Na Eun.
“Begitulah. Aku memang mengenalnya sejak kelas satu.” Sahut Na Eun lalu menyendok sup kentangnya yang masih hangat. “Kalau begitu, kau pasti tahu siapa gadis yang tengah dekat dengannya sekarang? Kudengar Aron sedang mengincar salah seorang junior dari kelas tari.”
Ucapan Eun Ji itu sukses menghambat perjalanan sup dari tenggorokan mencapai lambung Na Eun, itu membuatnya tersedak singkat. “Uhuk! A-apa kau bilang? Gadis yang dekat dengannya?” Yoo Kyung dan dua temannya memfokuskan lensa mata mereka pada Na Eun.
“Jadi kau tidak tahu?” tanya temannya yang berambut ikal, Kim Nam Joo. Na Eun mengangguk lambat. Selera makannya tiba-tiba saja lenyap. “Itu, sepertinya gadis itu yang dimaksudkan.” Tunjuk Yoo Kyung datar di arah jam satu pada gerombolan Nu’Est yang baru akan menempati kursi kantin dibarengi tingkah aneh magnae mereka, Ren. Seorang gadis berperawakan mungil, tidak terlalu tinggi—bahkan mungkin Na Eun lebih tinggi enam senti darinya—dan berwajah manis menghampiri Nu’Est. Atau Aron lebih tepatnya.
Keempat pemuda itu mulai membuka perbincangan akrab dengan gadis manis itu dan yang menyakitkan bagi Na Eun adalah ekspresi Aron ketika menatap gadis itu. Ia kadang tersipu saat gadis yang tidak diketahui namanya tersebut tersenyum. Na Eun tak pernah melihat ekspresi itu selama ini.
“Jinjja! Jinjja jinjja! Kenapa hanya dia yang terlihat dekat dengan Nu’Est? Aku juga ingin sepertinya…” Rajuk Nam Joo sambil menggigit sendoknya. Eun Ji mengelus lembut kepala Nam Joo layaknya seorang kakak. Yoo Kyung memperhatikan Na Eun yang masih memandang ke arah meja Nu’Est. Ia tahu temannya itu memendam sesuatu, dan itu mengenai Aron!
“Gwaenchanayo?” Tak tahan jua, Yoo Kyung memastikan Na Eun baik-baik saja. Gadis itu mengangguk dan tersenyum getir, “Nan gwaenchana, Kyung-ah.” Sungguh berkebalikan dengan hatinya yang kini berdenyut menyakitkan. Na Eun mulai meraba dada kirinya, letupan-letupan kecil muncul. Namun yang kali ini berbeda, terasa perih. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sayatan-sayatan yang menorehkan rasa sakit di benaknya.
Benarkah aku menyukainya? Benarkah aku kesal saat dia bersama gadis lain? Seseorang, bantu aku mengartikannya!
***
Mata pelajaran olahraga usai, lapangan luas berwarna hijau yang ada di dalam gedung olahraga mulai ditinggalkan siswi terkecuali beberapa siswa yang masih melanjutkan pertandingan kecil basket mereka. Na Eun menyeret kedua kakinya menuju pinggir lapangan menghampiri tasnya yang tergeletak di sana. Dibukanya guna menemukan botol air yang selalu dibawanya. Namun desahan kecewa keluar dari mulutnya saat menerima kenyataan bahwa air di dalam tempat minum tersebut sudah kering. Tak bersisa.
“Ah, sudah habis rupanya. Tck, aku lupa menambah isinya tadi pagi.” Keluhnya sambil memiringkan botol gelap itu, memastikan sekali lagi jika sudah tidak ada apa-apa di dalamnya. Kemudian matanya menyisir seluruh sudut lapangan mencari sosok Yoo Kyung yang tiba-tiba menghilang.
“Aish, kemana Yoo Kyung? Pergi tanpa memberitahuku. Huuft~ mentang-mentang setelah ini kelas umum.” Na Eun menggembungkan pipinya dan memutuskan untuk pergi ke kantin sendiri. Ia memanggul postman bag-nya di pundak, berhenti di loker untuk menukarnya dengan tas ransel-nya.
Masih dengan seragam olahraga, Na Eun memasuki area kantin yang cukup ramai karena sudah memasuki jam istirahat. Ia beringsut menuju mesin minuman di sudut sebelah utara kantin yang tidak dijejali terlalu banyak orang. Na Eun memasukkan beberapa koin kemudian menekan tombol di sampingnya. Namun minuman yang diharapkan tak kunjung keluar.
“Hey, ada apa dengan mesin ini? Ayolah, bekerja sama denganku!” desak Na Eun menekan berkali-kali tombol tetapi tetap saja tidak bereaksi apa-apa. Setelah bosan tangannya melayang memukul bagian samping mesin dengan wajah kesal.
“Mesin itu memang sering bermasalah. Makanya tidak banyak siswa yang mau menggunakannya.” Sahut sebuah suara dari arah belakang. Na Eun berbalik dan menemukan seorang siswa berperawakan tinggi tersenyum sambil menyenderkan bahu kanannya ke tembok. Dia adalah Hwang Min Hyun, rekan satu grup Aron dan Na Eun mengenalinya.
“Ah, kenapa aku bisa tidak tahu?” desah Na Eun sedikit malu. Min Hyun menyodorkan sebotol minuman ionik padanya. “Kau habis berolahraga ‘kan? Ambillah, ion tubuhmu pasti banyak berkurang.”
Na Eun mengerjap beberapa kali, sebelum menerima minuman tersebut. Min Hyun mengulum senyum, tampaknya ia berusaha menahan tawa. “Ini bukan modus penipuan. Air itu aman.” Ia akhirnya terkekeh juga.
Gadis berambut panjang itu ikut tertawa lalu mengambil tempat duduk di salah satu meja yang tak jauh dari mesin minuman tadi. Min Hyun melakukan hal yang sama. “Gomapseumnida, Min Hyun-Ssi.” Ucapnya setelah berhasil meneguk air dalam botol bening itu.
“Kau Son Na Eun dari kelas teater, bukan? Temannya Aron?”
“Ye. Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aron sering menceritakan tentangmu pada kami, tapi dia lebih sering mengatakan hal-hal yang lucu dan konyol tentang dirimu.” Tutur Min Hyun dengan wajah tak berdosa. Na Eun meringis, dia menyumpahi Aron yang terlalu senang mengumbar aib memalukan dirinya bahkan kepada teman-teman satu grupnya. “Sepertinya dia tahu banyak tentangmu, Na Eun-Ssi. Dan kalian tampaknya akrab.” Tambah Min Hyun lagi.
“Geuraesseo. Aku memang mengenalnya sejak setahun yang lalu. Oh ya, apa Aron sudah memberitahumu bahwa Nu’Est akan masuk buletin majalah sekolah bulan depan?” Na Eun mengalihkan topik pembicaraan.
“Hm, aku sudah mendengarnya. Awalnya kupikir itu hanya hoax, tapi ternyata sungguhan.”
“Aku yang merekomendasikannya sebagai wartawan majalah sekolah.” Aku Na Eun tanpa bermaksud menyombongkan diri. Min Hyun tersenyum, “Benarkah? Terima kasih atas rekomendasinya.”
Na Eun memeriksa jam tangannya, “Ah aku harus kembali ke kelas. Eum, satu lagi.” Ia meletakkan sebuah kartu nama di atas meja dan mendorongnya ke arah Min Hyun. “Itu kartu namaku. Nomor ponsel serta alamatku tercantum di sana. Kalian bisa menghubungiku jika sudah memastikan Nu’Est siap untuk kami wawancarai.” Min Hyun menerima kartu nama anggota majalah sekolah tersebut dan membacanya sekilas.
“Dan, terima kasih untuk minumannya. Annyeong.” Na Eun mengangguk sekali sebelum meninggalkan Min Hyun. Pemuda tampan itu mengetuk-ngetukkan benda tipis yang terbuat dari kertas itu ke atas meja sambil bergumam.
“Belum debut saja sudah diwawancarai. Menarik sekali.” Min Hyun menoleh ke arah dimana gadis tadi menghilang, sosoknya sudah tidak tampak lagi. Kemudian kepalanya beralih menghadap seseorang yang datang menghampirinya.
“Min Hyun Oppa, maaf aku terlambat. Kau sudah lama menunggu?” gadis bermata coklat itu menduduki kursi yang tadi ditempati oleh Na Eun.
“Tidak selama menunggu jawaban darimu dulu, Ha Young-ah.” Gurau Min Hyun yang langsung mendapat cubitan manja dari gadis bernama Ha Young yang merupakan juniornya dari kelas tari.
“Oppa jangan mengejekku!” rajuknya.
***
“Itulah keuntungan mata pelajaran umum, dengan begini kita bisa merasakan satu kelas dengan Nu’Est! Kyaa~” Nam Joo yang notabene penggemar berat Ren (._.”) bertepuk tangan kegirangan.
Selain penjurusan untuk kelas seni, sekolah yang berlokasi di Pyeongchang-dong, Jongno-gu, Seoul itu masih memberikan pelajaran pokok seperti yang ada di sekolah lain pada umumnya. Saat pelajaran umum, kelas yang tingkatannya sama atau setara akan bertemu dalam satu ruangan sesuai pembagian saat di kelas satu.
“Apa yang kau khayalkan hanya Nu’Est, Joo-ya?” Eunji menoyor kepala Nam Joo. Seketika gadis itu memajukan bibirnya, cemberut.
“Ibuku saja tidak melarangku!” sungutnya sambil memeluk binder putih miliknya.
“Sudah, jangan mempermasalahkan hal yang tidak penting itu lagi.” Tegur Yoo Kyung merasa terganggu dengan keributan kecil Eunji dan Nam Joo. Ketiganya masuk ke ruangan tanpa Na Eun. Gadis itu belum kembali sejak pergi ke pertemuan anggota pengurus majalah sekolah tadi.
“Hhh~ Hhh~ Syukurlah! Nona Song belum tiba.” Na Eun mengatur pernafasannya karena harus berlari agar tidak terlambat masuk. Beruntung guru yang bersangkutan belum ada di tempat. Ia membetulkan letak tali tasnya lalu melewati pintu, dipanjangkannya leher untuk mencari dimana keberadaan tiga orang temannya. Namun sulit karena bentuk meja yang bersekat seperti di perpustakaan itu, ia harus kehilangan jejak Yoo Kyung dan kedua temannya lagi.
“Aku sial lagi.” Lenguhnya lesu. Ia menempati bangku yang tersisa di ujung barisan paling depan. Baru saja menaruh tas di meja, seseorang memanggilnya dari arah samping. Na Eun memiringkan sedikit kepalanya, melewati sekat yang membatasi setiap meja. Pada saat yang sama Aron menampakkan diri dengan cara memundurkan bangkunya sejajar dengan posisi gadis itu. Sontak membuatnya terkejut.
“Ya! Kwak Young Min! Kau membuatku kaget!” bentak Na Eun tidak suka Aron mengagetkannya. Gugup lebih tepatnya. Mendengar nama aslinya disebut, Aron langsung memberengut.
“Apa sulitnya mengucapkan ‘Aron’? Lebih singkat daripada Kwak Young Min. Sudah kuperingatkan dengan gelang itu, atau kau mau aku yang mengigit lenganmu, huh?” Aron meraih pergelangan tangan Na Eun lalu berpura-pura hendak mengigitnya sebelum gadis itu berhasil menarik mundur tangannya dan mendorong kepala Aron agar menjauh.
“Hentikan!” Na Eun berpaling, menyembunyikan ekspresi malu di wajahnya. “Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lagi.” Aron memeletkan lidahnya ke samping seraya menghadap ke depan dimana Nona Song sudah hadir berdiri di depan kelas yang posisinya lebih tinggi daripada kursi meja yang ditempati para siswa.
Dengan hati-hati Na Eun melirik Aron yang masih belum menyatu dengan meja, setiap tarikan nafas pemuda itu terdengar lembut di telinganya. Bagaimana bisa ia begitu mengagumi sahabat lelakinya itu sampai-sampai tidak menyadari telah tersemai benih-benih cinta di hatinya untuk pemuda bernama lengkap Kwak Young Min tersebut.
Namun apalah daya, Na Eun terlalu takut untuk berterus terang perihal perasaannya. Takut persahabatannya akan kandas jika dibayang-bayangi oleh perasaan baru itu. Perasaan yang menginginkan Aron lebih dari sekedar kawan bicara, sahabat, teman, saudara. Dan adalah hal yang paling menakutkan bagi Na Eun jika ternyata Aron jatuh cinta pada gadis lain—bukan dirinya—dan ia tidak mampu melarang ataupun mencegah itu terjadi.
Tentu saja! Na Eun tidak berhak mengekang Aron yang bukan miliknya sepenuhnya. Na Eun seharusnya turut berbahagia, mengucapkan selamat dan tersenyum untuk pemuda itu. Tetapi ia tidak sanggup, benar-benar tidak sanggup dengan dorongan dari hati kecilnya yang terus mengerucut. Mengerucut karena sang dambaan hati tak dapat diraih karena alasan kolot.
Pengecut, pesimis, itulah dua kata yang dapat Na Eun vonis-kan terhadap dirinya sekarang ini.
“Kalian tahu? Desinfektan yang sering digunakan para petani adalah gugus yang seperti ini bentuknya…” Nona Song menggambar di papan tulis sebuah heksagonal dengan lingkaran di dalamnya dan di sisi paling atas ia tarik garis bersama huruf OH yang menunjukkan ciri dari senyawa Fenol / C2H5OH. Sejumlah siswa mendengarkan dan berOH ria, tampaknya mata pelajaran kimia kurang digandrungi saat itu.
Sebelum rasa bosan itu mengganggu lebih lama, bunyi bel lebih dulu membuyarkan kecemasan siswa akan kimia yang tampak tiada akhir. (author curhat! #abaikan)
“Pelajaran membosankan terasa cepat berlalu ketika di dekat kita ada hal yang menyenangkan!” Gerutu Nam Joo yang rupanya belum jua puas mencuri pandang wajah ‘cantik’ pemuda yang duduk tepat di sebelah kirinya. Ya, Ren. Atau yang bernama lahir Choi Min Ki itu.
“Kau tidak akan bisa menjawab Ujian Negara hanya dengan memelototi wajah Ren. Yoo Kyung-ah, hentikan dia!” suruh Eunji yang tengah memasukkan alat tulisnya ke dalam tas.
“Kalian tega sekali meninggalkanku sendiri.” Rajuk Na Eun menghampiri tiga dara tersebut. Mereka menoleh secara serempak dan menyeringai tanpa rasa bersalah. “Kami pikir kau akan lama, jadi kami putuskan tidak menunggumu. Mianhae.” Bujuk Yoo Kyung disusul anggukan dari Eunji dan Nam Joo kompak. Mereka sudah berbaris menuju pintu keluar.
“Lain kali bersabarlah sedikit, kawan. Aku ‘kan, sibuk. Hehe..” Gurau Na Eun meletakkan kedua tangannya di pundak Nam Joo dan Yoo Kyung yang ada di kiri kanan tubuhnya. Namun langkahnya mendadak terhenti dan ia terdiam.
“Aah aku jadi iri pada pasangan ini…” Celetuk Ren yang sampai ke telinga Na Eun—bahkan Nam Joo. Pemuda itu mengolok-olok Aron dan seorang junior mereka yang kemarin dilihatnya di kantin, siswi kelas seni tari.
“Wae??” Eunji menoleh pada Na Eun yang mematung beberapa meter dari tempat Aron.
“Bomi-Ssi, Aron bahkan berusaha keras untuk bisa menjawab soal yang super sulit dari Nona Song tadi. Sepertinya ia serius padamu!” Cecar Ren lagi, “Hey, jangan dengarkan Ren. Dia memang bermulut besar!” Aron menyumpal mulut cerewet pemuda manis itu menggunakan tangan kekarnya.
“Kali ini aku setuju dengan Ren.” JR menambahi dan Minhyun hanya tertawa kecil melihatnya. “Benarkah? Kau belajar keras demi aku, Oppa?” Mata Bomi agak berbinar menatap Aron yang tersipu malu sambil menggaruk tengkuknya.
“Aku mengaku.”
Na Eun mendecak, “Oppa? Bahkan aku tak pernah memanggilnya begitu.” Dadanya kini dipenuhi rasa kesal, sesak dan menyempit. Ia iri dengan Bomi yang bisa secara leluasa menyampaikan ekspresi bahagia yang sebenarnya kepada Aron tanpa harus menyembunyikan sesuatu.
Ia tak menghiraukan sentuhan Yoo Kyung di pundaknya, sepasang lensa mata Na Eun memandang lekat pada pasangan Aron dan Bomi. Hingga Min Hyun menoleh padanya dan tanpa sengaja pandangan mereka bertemu pada satu titik.
“Na Eun-ah? Son Na Eun!” Sentak Yoo Kyung lebih keras. “Oh? Kahja!” tanpa mengindahkan tatapan heran dari Yoo Kyung padanya, Na Eun bergegas menarik lengan sahabatnya itu demi menghindari kecurigaan dari Min Hyun—tak terkecuali ketiga temannya.
Min Hyun yang tadi sempat memergoki Na Eun memandangi dua orang di depannya itu menyimpan tanda tanya. Mengingat Na Eun adalah teman dekat dari Aron, dan sepertinya gadis itu menyimpan kegetiran dari tatapan matanya tadi.
“Kuharap itu tidak ada hubungannya dengan tugas meliputnya.” Pemuda dengan tinggi 183 cm itu menyusul ketiga rekannya yang sudah berjalan di depan mengiringi Aron yang mendampingi Bomi.
-T B.C-