[Fanfiction] FT Island Horror Stories #2 – Hang Onself (victim)

Title: Hang Onself – Victim

Author: Asuka

Casts: Song Seunghyun (FT Island) || Choi Jonghun (FT Island) || Choi Junhee || FT Island members

Genre: Horror, Suspense, Gore (maybe)

A/N: Ini rada ga nyambung atau gimana, aku ga ngerti. Pertama kalinya bikin ff genre Gore ._.a ga masuk kali, tapi ya happy reading deh, and I love ur komen ^.^v

Copyright Asuka_ 2014, June.

*

“…bersiaplah menjadi korban selanjutnya!” – Someone

*

Satu hari, di mana jalanan tampak lengang dan angin pun enggan bertiup. Kendati sebenarnya musim gugur adalah saat di mana angin-angin berhembus lebih sering dari ketiga musim lainnya. Sesosok tubuh jangkung tampak betah menyusuri jalan yang hanya diisi oleh dirinya sendiri. Pedestrian lain tak tampak kala itu untuk sekedar menemaninya.

Sebuah topi rajutan berwarna soft-blue melekat di kepalanya, menutupi sebagian rambut hitamnya. Sesekali Song Seunghyun mengedarkan pandangan ke samping kiri dan kanan, memastikan bahwa dirinya tidak melewatkan sebuah alamat yang tertulis pada secarik kertas di tangannya kini. Rumah-rumah berbahan utama kayu terlihat berjejer rapi di sekitar sana. Namun ia belum jua menemukan tujuannya hari ini.

Tiba di sebuah belokan, sekali lagi lengan Seunghyun menarik tali guitar-case yang ia panggul di balik punggung agar tidak tergelincir jatuh. Desahan nafas yang ia buang terdengar lebih jelas sebab tak ada suara-suara lain yang mengusik ketenangan di sana.

Setelah bermenit-menit melakukan pencarian, sepasang kakinya diberhentikan dengan yakin di depan pagar sebuah rumah. Tidak terlalu tinggi, jeruji-jeruji itu hanya sebatas telinganya sehingga kedua bola matanya dapat melihat dan memvisualisasi secara detail tentang bangunan berlantai dua tersebut. Rumah berbahan utama kayu jati dengan atap lebar itu tampak sederhana namun memiliki pesonanya tersendiri. Untuk beberapa detik Seunghyun ternganga kagum.

“Aku yakin ini tempatnya.”

Seunghyun menyudahi gestur takjubnya lalu membaca sekali lagi alamat yang dimilikinya, mencocokan hal itu dengan lokasinya berada sekarang. Jemarinya menyentuh nomor rumah yang dipahat dan bertekstur timbul, no. 44. Meskipun sudah lumayan tinggi, Seunghyun masih saja berjinjit seolah pemilik rumah tak akan melihat kedatangannya melalui celah pagar.

Karena tak menemukan bel interkom atau sesuatu yang dapat dibunyikan, setengah lancang pemuda itu mendorong perlahan pagar ke arah dalam dan yang terjadi adalah ia berhasil masuk. Cukup mengherankan, di kawasan selengang ini masih membiarkan pagar tidak terkunci. Terkecuali di halaman ada kandang anjing penjaga—dan Seunghyun cemaskan itu.

“Sepertinya ia orang berada,” Perlahan tetapi pasti, Seunghyun terus memotong jarak dari pagar menuju pelataran rumah, setelah berhasil melalui halaman yang dipenuhi rerumputan hijau dengan ketinggian merata. Ia sedikit ragu tatkala hendak mengetuk pintu kayu yang tertutup rapat. Tangannya sudah terangkat di udara, meski belum terayun.

“Ah, sudahlah. Tujuanku datang ke mari ‘kan bermaksud baik.”

Seunghyun mengetuk beberapa kali, sampai respon benar-benar diberikan oleh si empunya rumah. Pintu kayu tersebut terbuka tanpa menimbulkan bunyi menyakitkan seperti engsel yang sudah berkarat. Mungkin selalu dirawat dan diminyaki, pikirnya.

Secara spontan tubuh tingginya memberi hormat pada sosok yang muncul dari balik daun pintu. Orang itu menunjukkan ekspresi sedikit bingung, namun kemudian menyapanya dengan ramah.

“Kau? Bagaimana bisa tahu rumahku?”

Sebuah senyum terlampau lebar menjadi sahutan pertama dari Seunghyun. Ia bahkan nyaris lupa bagaimana seharusnya bersikap lebih sopan pada seseorang yang lebih tua dan dikenalnya sebagai tutor di tempat les musik barunya tersebut.

*

Seunghyun telah duduk dengan nyaman di sofa sembari membenahi tas ransel berikut guitar-case yang kini telah berpindah tempat dari pundaknya ke atas lantai kayu. Tepat di samping sofa ruang tamu rumah tersebut. Ia mencampakkan topi rajutan dari atas kepalanya saat menyaksikan lelaki berpakaian setengah formal itu kembali dari dapur dengan sebuah baki berisi dua gelas jus jeruk yang kemudian diletakkannya ke atas meja bundar.

“Sebuah kejutan seorang murid baru dari kelas musikku berkunjung ke mari.” Ucapnya setelah mempersilakan Seunghyun untuk meminum jamuannya.

Tawa kecil terlahir dari lisan Seunghyun, “Saya mencari tahu dari Minhwan, dia memberikan alamat Anda, sonsaeng-nim. Karena… ada hal yang hendak saya katakan.”

Sepasang alis rapi milik seseorang tampan itu terangkat, barulah kemudian ia turut terkekeh pelan. Tak menyangka akan mendapat sebuah kunjungan dari salah satu muridnya yang tergolong baru bergabung. Berikutnya, ia menyarankan kepada Seunghyun agar menggunakan banmal di situasi non-formal seperti ini. Lagipula, ia belum terlalu tua. Dan ketika diminta memilih menggunakan panggilan sonsaeng-nim atau sunbae-nim, Seunghyun memutuskan untuk mengambil Sunbae-nim.

“Maaf jika aku mengganggumu, sunbae-nim. Mungkin aku bertamu di saat yang tidak tepat.” Sungkan Seunghyun sambil mengusap tengkuknya. Ia telah menghabiskan separuh jus jeruk di gelasnya.

Gwaenchanayo. Oh ya, kau bilang tadi, ada yang ingin kau katakan padaku. Perihal apa itu?”

Seunghyun mengerjap. Mempersiapkan diri untuk mengajukan sebuah penawaran. Ia kemudian mengutarakan maksud kedatangannya yang mana berkaitan dengan keinginannya memiliki seorang guru musik pribadi. Kedua orangtuanya telah memasukkannya ke sekolah les musik yang sama dengan Minhwan, sahabatnya. Namun Seunghyun merasa lebih nyaman jika diajari secara personal. Jujur saja, ia kerap merasa minder ketika kesalahan yang ia buat dalam latihan terhitung sangat sering.

“Maksudmu, kau ingin memintaku menjadi guru les musikmu secara privat, begitu?” Guru les musik bernama Choi Jonghun itu menarik sebuah kesimpulan dari seluruh penuturan Seunghyun. Yang ditanya mengangguk membenarkan.

Ye, sunbae-nim. Tetapi jangan khawatir, kau tidak perlu bersusah payah mendatangi kediamanku. Aku yang akan ke sini untuk belajar, sesuai jadwal yang cocok dengan waktu senggangmu. Itupun, jika kau tidak keberatan, sunbae-nim..” Tersisip nada ketidakyakinan dalam kalimat terakhir Seunghyun. Bagaimana pun, hal ini ia putuskan sendiri tanpa mencari tahu lebih dulu apakah Jonghun bersedia atau tidak.

“Kau tidak merasa nyaman ketika di tempat les?”

Sekali lagi pemuda itu mengangguk pelan.

“Baiklah. Karena kau sudah datang ke mari untuk meminta, kurasa tidak ada alasan yang bisa kugunakan untuk menolakmu. Lagipula kulihat kau pandai, hanya saja kurang percaya diri.” Jonghun memberi tanda setuju sambil melirik tas gitar di dekat kaki Seunghyun.

Mendengar hal itu, Seunghyun segera menyalami Jonghun dan berterima kasih. Ia senang tak terkira. Saran Minhwan tidak keliru, guru les musik mereka ini ramah dan murah hati. Mulai sekarang, Seunghyun berjanji untuk belajar gitar dengan sungguh-sungguh serta menjadi musisi berkualitas kelak.

“Omong-omong, kau ini mahasiswa, bukan? Seangkatan dengan Choi Minhwan?”

Seunghyun mengiyakan. Ia memang mengambil fakultas yang serupa di universitas yang sama pula dengan Minhwan. Bisa dikatakan mereka itu sepasang sahabat yang layaknya sendal. Saling melengkapi dan tak terpisahkan satu sama lain.

“Yang kupikirkan adalah rumah ini besar sekali. Apa kau tinggal seorang diri di sini, sunbae-nim?” Seunghyun membuka topik lain dalam pembicaraan mereka. Matanya kembali menjelajahi seluruh sudut yang mampu ia jangkau. Dalam hati memuji berulang kali arsitektur yang tersaji di sana. Dan fokusnya terpaku pada lampu kristal yang tampak mencolok di antara seluruh purnitur yang ada, menggantung megah di langit-langit.

“Seperti yang kau lihat. Jadi, kapan kita bisa memulai pelajarannya? Hari ini? Kulihat kau sudah membawa gitar.” Sekali lagi telunjuk Jonghun terarah pada tas gitar kehitaman milik Seunghyun. Ia mengerti, sepertinya pemuda ini tergesa-gesa dan menggebu-gebu ingin lekas mendapat pelajaran darinya.

“Ah, soal ini. Aku baru mengganti senarnya dengan yang baru sebelum pergi ke mari. Kita mulai besok atau lusa saja, sunbae-nim. Kebetulan kuliahku kosong dua hari ke depan.” Itu hanya sekedar alasan, karena sesungguhnya gitar itu ia gunakan sebagai bukti kesungguhannya dalam mencari guru les musik.

Setelah dirasa cukup lama berada di sana, Seunghyun menyudahi kunjungannya. Keduanya telah mencapai kesepakatan. Kini saatnya pemuda itu undur diri, berpamitan. Ia memasang kembali topi rajutan dan meraih seluruh tali ransel maupun tas gitar miliknya sebelum menuju pintu. Tidak lupa ia menghabiskan sisa jus jeruk di gelasnya.

Jonghun mengantarnya hingga ke depan pagar dan sekali lagi mendapat bungkukan hormat dari Seunghyun sebelum akhirnya pemuda itu melangkah pergi. Sedikit demi sedikit menghilang dari pandangannya.

***

Jonghun memeriksa partitur milik Seunghyun sebelum menekan senar gitar yang berada di pangkuannya. Ia menyanjung pemuda itu dalam hati, bakat memang telah tumbuh dalam dirinya secara alami.

“Andai aku seorang komposer terkenal, mungkin lagumu akan kubeli dengan harga tinggi.” Ucap Jonghun membuat Seunghyun mengusap tengkuknya sungkan. Baru kali ini ada orang lain yang memuji lagu buatannya, setelah Minhwan dan kedua orangtuanya tentu saja.

“Kau berlebihan, sunbae-nim. Aku bahkan belum merampungkan sebagian liriknya,” ujarnya merendah. “Ah, ya. Aku memang hendak mengkonsultasikan beberapa hal padamu, sunbae-nim. Tetapi sebelum itu, bisakah aku meminjam toiletnya?”

Jonghun mengangguk. Ia kemudian menginstruksikan di mana letak toilet rumahnya pada Seunghyun. Setelah sudah lewat setengah jam sejak kedatangannya, panggilan alam pemuda itu tiba-tiba muncul. Ia tak bisa menahannya lebih lama lagi.

Seunghyun melesat dari ruang tamu menuju arah yang disebutkan Jonghun. Ia menemukan tempat itu di ujung lorong sayap kanan rumah. Tak lama berselang sesudah dirinya menghilang dalam bilik toilet, Seunghyun melangkah keluar dengan lega. Ia meringis pelan, hari pertama pelajarannya di kediaman Jonghun tak seharusnya begini.

Ketika melewati tangga menuju loteng, kakinya terhenti dengan sendirinya. Sayup-sayup suara yang entah berasal dari mana tertangkap gendang telinganya.

Juseyo.. dowa juseyo..

Seunghyun terjengit dan mulai menerka-nerka dari mana sumber suara lirih tersebut. Ia menatap langit-langit, dinding, kemudian jendela di sekitarnya. Semua terlihat rapat, mustahil yang itu tadi halusinasi dari bunyi kayu berkeriut dihempas angin. Di luar memang sedang berangin, tetapi dengan susunan dinding sesolid ini rasanya sulit bagi embusan cuaca tak bersahabat menelusup masuk.

Setelah coba mendengarkan sekali lagi dan ternyata tidak ada kejadian yang sama seperti tadi, Seunghyun memutuskan untuk kembali ke ruang tamu. Namun niatnya kali ini digagalkan kesekian kalinya oleh bunyi yang lebih keras dan nyata.

DUK!

Kelopak mata Seunghyun terbuka lebar, kini ia yakin bunyi benturan itu datangnya dari loteng. Dan ketika bunyi tersebut berulang sekali lagi, sepasang matanya terpaku pada pintu sebuah ruangan yang terletak di ujung tangga naik.

Ia mendengut ludah, siapa tahu pintu di atas sana itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya dan memunculkan sosok yang tak ingin Seunghyun lihat seumur hidupnya.

“Hey! Kenapa aku ketakutan? Bisa saja yang tadi itu bunyi tikus. Hah, benar juga. Dasar bodoh.” Seunghyun mengganti ekspresi tegang di wajahnya dengan tawa konyol. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal bersamaan dengan hadirnya sosok Jonghun di sana. Rupanya lelaki itu menyusulnya karena dianggap terlalu lama dan belum juga kembali.

“Kau tidak apa-apa? Apa kau tersesat?” Jonghun menghampirinya dan ikut melirik loteng yang sedari tadi diperhatikan oleh Seunghyun.

“Tidak kok! Aku hanya terlalu kagum pada rumahmu, sunbae-nim. Eh, kupikir perlu bagimu memasang beberapa jebakan di loteng. Sepertinya banyak tikus yang berkeliaran dan menimbulkan bunyi berisik seperti tadi. Jangan sampai rumah artistikmu ini digerogotinya, sunbae-nim.” Oceh Seunghyun sembari mengikuti Jonghun yang mengajaknya untuk kembali ke ruang tamu, meneruskan kegiatan mereka.

Sementara Seunghyun sibuk memikirkan kapan dirinya sanggup membeli sebuah rumah yang setara dengan itu, tanpa ia ketahui Jonghun menatapnya dengan pandangan yang sulit dimaknai. Bola mata kelam itu membayangkan sesuatu.

***

Hari ini adalah hari kedua les musik privat yang Seunghyun lakoni. Ia menikmatinya, bahkan Minhwan yang sekedar hendak ikut melihat pun tak diperbolehkannya. Seperti halnya kemarin, Jonghun menyambutnya dengan terbuka. Hanya saja, kali ini setelah seperempat jam pelajaran mereka, pria itu meminta diri untuk pergi sebentar. Ia bilang akan membeli gula pasir ke supermarket terdekat.

“Aku baru sadar persediaan gula di dapurku sudah habis. Tidak mungkin kau kuberi minum sesuatu yang manis tanpa gula.” Ujarnya sebelum menyambar kunci mobil di dekat guci porselen berukuran mini yang berjajar menghiasi lemari televisi.

Seunghyun mengangguk. Ia tidak keberatan ditinggal sebentar. Detik berikutnya, terdengar deru mobil dari garasi samping, pertanda Jonghun telah siap berangkat. Sepeninggal lelaki itu, hanya sunyi yang menjadi teman Seunghyun. Baru ia sadari, berada di rumah seluas ini sendirian cukup menyeramkan juga.

Ia menyesal mengapa tadi tidak meminta Jonghun memutarkan sebuah lagu klasik dari piringan hitam beserta pemutarnya sebelum pergi. Kalau sudah begini, Seunghyun tidak bisa apa-apa kendati ia tahu cara mengoperasikan pemutar musik klasik yang terpajang di dekat jendela besar ruang tamu tersebut.

Karena tidak terlalu menyukai kesunyian semacam ini, ia putuskan untuk berjalan-jalan di beranda. Melihat-lihat, mana tahu ada tetangga yang kebetulan melintas dan bisa diajak mengobrol.

“Kelihatannya daerah ini tidak begitu terpencil, tapi kenapa tidak ada satupun penghuninya tampak di jalanan?”

Seunghyun terus memutar langkah hingga membawanya ke halaman belakang rumah tersebut. Tak ada yang istimewa di sana. Hanya ada sebuah sumur tak terawat dengan tali katrol yang sudah putus, serta sekitar satu setengah meter dari sana terdapat gundukan tanah yang pada puncaknya diberi hiasan pagoda batu bersusun tiga.

“Kurasa aku lebih senang dengan pekarangan depan.” Gumamnya sambil mengingat letak ayunan kayu yang menghiasi halaman utama. Belum selesai dengan kegiatan komparatifnya, tiba-tiba saja ia spontan menoleh ke pintu masuk belakang karena ujung matanya seperti melihat ada sekelebat bayangan yang melintas dengan cepat. Namun begitu diperhatikan, tidak ada siapa-siapa.

“Apa rumah ini membuatku berhalusinasi?” Dan pikirannya segera dibuyarkan oleh suara mobil yang memasuki pekarangan. Itu pasti Jonghun.

“Kau dari mana? Kesulitan mencari toilet lagi?” Gurau Jonghun ketika mendapati Seunghyun menyambutnya tidak dari arah dalam, melainkan dari samping rumah.

Animnida, sunbae-nim! Aku hanya berjalan-jalan saja karena bosan sendirian.” Ungkap Seunghyun sebelum tanggap meraih beberapa plastik belanjaan yang barusan Jonghun keluarkan dari jok belakang mobilnya. Ia bersikeras membantu meski dilarang.

“Ah, begitu. Maaf, aku membuatmu merasa tidak nyaman.” Sesal Jonghun sembari menepuk pundak kanan Seunghyun. Pemuda itu lekas menggeleng dan kemudian mengekor di belakang tutor barunya tersebut.

Namun sebelum itu, ia sempat mengerling ke beranda lantai dua. Entah Seunghyun salah melihat atau berkhayal lagi, di jendela kaca yang temaram tampak siluet seseorang yang dengan cepat menghilang ketika pemuda itu menyadari keberadaannya. Seakan tidak ingin orang-orang tahu bahwa sejak tadi ia mengawasi secara diam-diam dari atas sana.

Seunghyun tidak bisa menutupi keterkejutannya, mungkinkah orang itu adalah orang yang sama dengan sosok yang ia pergoki di halaman belakang tadi?

“Sepertinya ada yang tidak beres dengan rumah ini…”

***

“Inikah bentuk terima kasihmu padaku? Jangan mau pintar sendiri!”

Ingin rasanya Seunghyun menutup rapat dua telinganya, atau sekalian saja membungkam mulut cerewet Choi Minhwan menggunakan tas laptop salah satu mahasiswi yang berlalu lalang di sekitar mereka agar pemuda itu berhenti memojokkannya.

“Kalau memaksa kenapa tidak datang sendiri saja? Bukankah kau juga tahu alamatnya?” balas Seunghyun tak kalah sengit. Membuat Minhwan mengerucutkan mulutnya dengan lucu.

“Aku mengenal Choi sonsaeng-nim hanya sebatas guru dan murid. Lagipula, alamat itupun hasil mengorek info dari guru les yang lain. Kumohon, Seung… aku juga ingin diajari secara personal olehnya.” Mohonnya lagi.

Seunghyun membuang nafas jengah, ia semakin sulit untuk menolak permintaan Minhwan. Maka ketika sebuah pernyataan setuju dilontarkan Seunghyun, pemuda Choi penggemar berat ayam itu kegirangan.

“Daripada itu, apa Jonghun sunbae-nim benar-benar tinggal sendiri di rumahnya?” mendadak saja pertanyaan itu tercetus dari lidahnya, memaksa Minhwan mengurangi tingkat euforianya sejenak.

“Entahlah. Tapi seperti itu yang kudengar. Mungkin kedua orangtuanya tinggal di luar negeri. Kenapa kau tanyakan itu?” Minhwan jadi penasaran.

“Tidak kenapa-napa sih, hanya saja kupikir ia tidak benar-benar tinggal seorang diri di sana. Aku yakin waktu itu aku melihat seseorang. Mungkinkah pembantunya?”

Minhwan hanya mengendikkan bahunya tak acuh, ia tak berniat menganggapi pertanyaan Seunghyun lagi. Sudah hampir waktunya kelas mereka dimulai. Dan kata terlambat masuk adalah pantang untuk dilakukan.

“Mungkin juga. Tapi jika benar ia tinggal sendiri, maka yang kau lihat itu bukan manusia. Sudahlah, ayo masuk kelas!” Minhwan menunjuk arlojinya sembari bersiap angkat kaki dari taman universitas. Tidak sadar jikalau kalimatnya tadi berdampak besar terhadap keyakinan Seunghyun.

“Bukan manusia…? Itu artinya… hantu..?”

*

“Maaf, sunbae-nim. Aku datang terlambat hari ini. Ada urusan yang belum selesai di rumah.” Seunghyun bergegas mengeluarkan partitur serta gitarnya segera setelah ia menempatkan tulang ekornya di sofa.

Dalam hati ia menggerutui Song Sehyun, adik semata wayangnya yang menjadi penyebab utama omelan berantai sang ibu. Hanya karena bocah itu mendapat nilai rendah, Seunghyun turut disalahkan karena dianggap lalai mengajari adiknya.

“Aku juga minta maaf karena kemarin tidak bisa mengajarimu. Urusan yang benar-benar mendadak.” Tukas Jonghun sebelum mencoretkan sesuatu di atas kertas partitur, kemudian menyuruh pemuda itu untuk mencoba memainkannya.

“Masih terlalu sulit, ya? Ikuti saja setelah aku, OK?” Titah Jonghun memulai permainannya, diperhatikan dengan serius oleh Seunghyun. Kemudian ia akan mengangguk manakala apa yang dicontohkan oleh Jonghun dapat dimengerti. Tahap demi tahap Seunghyun lewati dengan tekun.

“Permainan yang hebat, sunbae-nim! Biar kutebak, kau pasti piawai memainkan alat musik yang lainnya juga, kan?” Obrolan baru tercipta setelah keduanya memutuskan untuk mengambil jeda istirahat. Seunghyun meminum jus yang masih penuh di gelasnya sembari menunggu tanggapan Jonghun.

“Aku hanya kebetulan berbakat memainkan beberapa alat musik. Kau sendiri, selain gitar kau menyukai instrumen apa lagi?” Pria yang hari ini mengenakan kacamata baca itu melepas pensilnya ke atas meja. Seunghyun tercengir malu, “Eh? Aku? Eum, itu sih.. Aku tertarik dengan piano! Bass juga sih, tapi belum lihai benar.”

Diam-diam Seunghyun memberi tatapan ‘jika mungkin aku juga ingin belajar dua alat musik tadi padamu’ kepada Jonghun. Yang diberi tatapan hanya manggut-manggut seakan mengerti maksud tersirat Seunghyun. “Lain kali, kita coba pelajari piano dan bass bersama-sama—”

Tarikan kedua sudut bibir Seunghyun semakin tinggi dan matanya melebar girang.

“—tentu saja dengan bayaran lebih.” Lanjut Jonghun diiringi tertawaan dari keduanya.

Begitu hendak meneruskan pelajaran, ponsel Jonghun bergetar panjang hingga mau tak mau ia harus mengangkatnya. Sebuah panggilan dari seseorang yang menyebabkannya sedikit menjauh dari tempat Seunghyun berada. Jonghun menerima teleponnya di luar.

“Dia orang sibuk. Ya.. itu terlihat jelas,” Seunghyun sudah merogoh ponsel dari saku celananya saat sosok yang dicarinya minggu lalu kembali hadir dan kini jauh lebih berwujud. Tidak terlalu tinggi, dan berambut panjang. Ia terlihat mengintip dari balik dinding penyekat ruang tamu dan dapur kemudian berusaha lari dari kejaran Seunghyun.

Tak mau ketinggalan, pemuda itu menyusulnya yang menuju ke tangga loteng. “Chogiyo! Berhenti! Ya!” Panggilan itu tak digubris sedikit pun. Sosok yang Seunghyun yakini seorang gadis itu belum berhenti menaiki anak tangga. Bagai tak kesulitan dengan blus panjangnya yang sedikit kebesaran itu.

Usaha Seunghyun membuahkan hasil, sebab yang dikejarnya tidak lagi kabur. Berdiri memunggunginya tepat di depan pintu kamar yang berada di ujung tangga loteng. Tanpa suara.

“Kau.. Hhh- apa alasanmu menghindariku, huh? Geurigu.. Nugu-ya?” Tanpa basa-basi ia langsung menanyai sosok yang belum berbalik menghadapnya.

Ya! Neo jinjja—” Kalimatnya terpotong saat si rambut panjang tersebut berputar kemudian sedikit demi sedikit menunjukkan wajahnya. Seunghyun tampak terkesima beberapa detik sebelum menyadari betapa pucatnya kulit wajah gadis di hadapannya itu. Langsung terbersit di pikirannya bahwa gadis ini mungkin saja sedang sakit.

“A-nona.. Kau tidak apa-apa? Apa aku menakutimu? Lalu kenapa kau berada di sini?” Kecurigaan itu berubah menjadi sebongkah kekhawatiran di benak Seunghyun.

Mulut gadis itu terbuka, “Palli gasseo! Jangan bertahan lebih lama lagi di tempat ini.” Suruhnya membuat pemuda itu semakin kebingungan.

Waeyo? Kau ini.. apa kau saudara dari Choi Jonghun sunbae-nim? Atau.. kekasihnya? Istrinya? Jawab aku!” paksa Seunghyun, tidak terima diusir sedemikian rupa setelah ia menunjukkan simpati terhadap gadis itu. Yang digertak tetap tak bergeming, hanya menatap lekat padanya.

Geunyang.. ga! Kau hanya perlu meninggalkan rumah ini sekarang juga dan jangan berpikir untuk kembali lagi!” Nada bicaranya konstan, sedatar ekspresi wajahnya. Hal itu membuat Seunghyun memelototinya dari atas hingga bawah dan yang ia temukan adalah sebuah tanda aneh di leher si gadis. Bekas memar seukuran jempol orang dewasa tampak melintang di sepanjang lehernya. Seperti bekas… lilitan?

“Jelaskan terlebih dahulu alasan kenapa aku harus pergi dari rumah ini!?”

Sebelum mendapatkan jawaban dari tanya tersebut, Jonghun telah memanggil-manggil nama Seunghyun. Pemuda itu menyahut sambil memalingkan wajah dan anehnya gadis yang ia ajak bicara tadi sudah lenyap begitu Seunghyun kembali memutar kepalanya. Yang ada hanya udara kosong dan pintu kamar yang tertutup rapat.

“Song Seunghyun-Ssi! Sedang apa kau di situ?” Tegur Jonghun yang saat ini berdiri di ujung tangga bawah sana. Seunghyun kelimpungan, bak pencuri yang tertangkap basah sebelum berhasil mengambil sesuatu. Ia cepat-cepat menuruni tangga dan meminta maaf pada Jonghun sebab sudah lancang naik ke loteng tanpa izin.

Dwaesseo. Hanya saja, lain waktu jangan memeriksa tempat-tempat di rumah ini tanpa sepengetahuanku.” Permintaan maafnya diterima kendati rahang Jonghun yang mengeras mengindikasikan ada secuil kekesalan di benaknya.

Sekali lagi Seunghyun membungkuk sesal, ia mengutuk perbuatannya yang murni terjadi karena spontanitas tadi. Pikirnya setelah ini suasana akan canggung, maka Seunghyun memilih untuk menyudahi pelajaran mereka hari itu dan melanjutkannya minggu depan.

***

Dua hari setelah kejadian di rumah Jonghun, Seunghyun belum bisa mengenyahkan pikirannya dan beberapa deret pertanyaan yang terus menempel di lobus otaknya. Ia terus bertanya-tanya, siapa gadis pucat itu dan apa keperluannya di sana?

Kalau dipikir-pikir, tidak ada untungnya bagi Seunghyun terus meresahkan hal itu. Namun untuk suatu alasan ia tidak ingin tinggal diam saja. Seunghyun hendak mengungkap rahasia keanehan tersebut dengan tangannya sendiri, atau… mungkin juga secara tidak sadar ia mulai membuka takdir baru untuk hidupnya. Entah takdir seperti apa itu nantinya.

“Apa gadis itu tidak waras? Atau bisa saja dia pasien rumah sakit jiwa yang diam-diam bersembunyi di rumah Jonghun sunbae-nim! Ah, kalau begitu berbahaya sekali!” Desis Seunghyun seorang diri sambil membolak-balik tubuhnya di kasur. Ia belum bisa memejamkan mata sama sekali meski jam dinding di kamarnya telah menunjukkan waktu hampir dini hari.

Seunghyun ingin memberitahu Jonghun perihal gadis itu, tetapi ia belum menemukan cara yang tepat. Bagaimana pun juga, pria itu adalah tutor pelajaran musiknya saat ini dan ia menghormati Jonghun yang menurutnya patut disegani.

Seunghyun menyingkirkan bantal yang ia gunakan untuk membekap wajahnya sendiri selama berpikir tadi dan membenahi posisi tidurnya. Sudah ia putuskan apa yang harus dilakukan. Tekadnya sudah mantap dan tidak boleh diganggu gugat.

Keesokan harinya, Seunghyun sengaja mangkir satu kali pertemuan mata kuliahnya sore ini. Ia tak mengatakan yang sebenarnya pada orang rumah, tetapi Minhwan sudah barang tentu menyadarinya. Pemuda itu menjadi orang pertama yang menanyai alasan ketidakhadiran Seunghyun di kelas.

“Berhenti menjadi cerewet, Minan, dan jangan sampai kau mengadu pada orangtuaku soal hari ini! Aku punya urusan penting dan kau tidak perlu tahu itu! Sudah ya, kututup saja teleponnya! Bye!” Seunghyun menjejalkan ponselnya ke dalam saku jaket secara serampangan setelah menonaktifkan benda tersebut. Ia yakin Minhwan tidak akan menyerah menghubunginya. Kali ini saja, Seunghyun tidak mau sahabatnya itu ikut campur dalam kegiatannya. Ini plan-nya dan cukup menjadi rahasia.

Ia menarik nafas dalam lalu membuangnya perlahan. Matanya menatap lurus-lurus sebuah rumah kayu artistik yang belakangan tidak asing lagi baginya. Rumah Choi Jonghun. Kini Seunghyun telah berdiri di depan pagar dan seperti biasa ia menerobos masuk karena pagar tersebut tidak terkunci. Ia hanya perlu mengetuk daun pintu.

Seunghyun tersenyum lega saat Jonghun membukakan pintu untuknya. Pria itu tidak ke mana-mana rupanya hari ini. Berbanding terbalik dengan susunan otot di wajah Jonghun, ia tampak tidak mengharapkan kedatangan Seunghyun di rumahnya sekarang. Namun setengah terpaksa, dipersilakannya juga pemuda jangkung itu untuk masuk ke dalam.

“Syukurlah kau ternyata ada di rumah, sunbae-nim. Aku pikir kedatangan mendadakku tidak direstui.”

Jonghun menyunggingkan senyum tipis, “Kebetulan jadwal mengajarku di luar kosong hari ini. Kau datang tanpa memberitahuku terlebih dahulu, apa mungkin ada masalah?” Seunghyun memahami pertanyaan tersebut sebab sesuai janji mereka, pertemuan privat keduanya adalah minggu depan, bukan akhir pekan ini.

“Ng.. Bagaimana aku mengatakannya ya? Tapi, sunbae-nim, tolong percaya padaku. Kukatakan padamu, rumah ini berhantu. Aku melihatnya sendiri tempo hari! Apa selama ini kau tidak pernah mengalami atau mendengar hal-hal yang aneh?” Urai Seunghyun to the point. Kemudian ia terpelongo ketika Jonghun terbahak-bahak mendengar pernyataannya barusan. Tampaknya lelaki itu bukan orang yang mudah percaya terhadap hal-hal berbau supranatural.

“Jangan bergurau! Aku sudah menempati rumah ini sejak tiga tahun yang lalu, dan selama itu tidak terjadi apa-apa. Omo, Seunghyun-Ssi.. kau ini ada-ada saja.”

Seunghyun mendecak, ia tak percaya Jonghun menganggap pengalamannya kemarin itu sekedar isapan jempol belaka. Maka, demi meyakinkan Jonghun, Seunghyun bangkit dan berjalan menuju posisi di mana pada hari pertama ia mendengar suara perempuan serta benturan di loteng. Jonghun mengekori di belakangnya.

“Di sini. Di hari pertama les privatku, aku mendengar suara seorang gadis dan setelahnya ada bunyi benturan yang berasal dari loteng. Kau ingat, sunbae-nim, ketika itu aku menyarankanmu untuk memasang perangkap tikus? Suara-suara aneh itulah yang kupikir tikus.”

Jonghun masih terdiam sambil menyelipkan kedua tangannya di dalam saku celana, menunggu analisis berikutnya dari Seunghyun. “Lalu apa lagi yang kau tahu?”

Seunghyun meneguk ludahnya sebelum kembali berbicara, “Dan, dua hari yang lalu. Di atas sana,” telunjuk kurus pemuda itu mengarah tepat ke arah pintu ruangan yang terletak di ujung tangga bagian atas, “Di sana aku bertemu seorang gadis pucat dan ia menyuruhku untuk segera pergi. Bukankah kau tinggal sendiri di rumah ini, sunbae-nim? Jadi, siapa gadis itu kalau bukan hantu?”

Salah satu sudut bibir Jonghun tertarik ke atas, membentuk senyum asimetris di depan wajah Seunghyun yang terengah-engah dengan penjelasannya tadi. Pria itu melangkah pelan dan berhenti di depan anak tangga pertama. Ia menjatuhkan tangannya ke bahu Seunghyun.

“Jadi, kau datang ke mari hanya untuk mengatakan itu? Kau pikir aku akan percaya?”

Kening Seunghyun mengkerut sementara hatinya dilanda perasaan tidak enak. Entah kenapa tatapan Jonghun begitu menyudutkannya sekarang. Ia berusaha menghindari bersitatap dengan mata kelam itu dan akibatnya, ia menemukan sesosok gadis di ujung tangga atas.

Seunghyun kaget setengah mati dan tubuhnya merosot jatuh ke lantai. Seunghyun mungkin tidak akan segemetar ini jika saja sosok yang dilihatnya itu masih sama seperti dua hari yang lalu. Sosok yang kali ini jauh lebih menyeramkan.

Jonghun dibuat heran melihat Seunghyun yang tiba-tiba menggerasak jatuh. Ia bertanya, namun pemuda itu tidak mendengar suaranya. Lensa mata Seunghyun dipenuhi bayangan gadis di belakang Jonghun. Wajahnya tak seelok tempo hari, selain mengerikan pun menjijikkan. Dari balik helaian rambut panjangnya muncul belatung seukuran jempol orang dewasa, semakin lama semakin banyak. Kulit wajahnya yang pucat itu tampak rusak, terkelupas. Matanya yang hitam mengucurkan darah berwarna merah gelap.

‘Sudah kuperingatkan kau untuk tidak kembali lagi ke mari…’

Mulutnya perlahan terbuka lebar, kian lama semakin besar hingga robek sampai ke telinganya. Meneriakkan sesuatu yang hanya didengar oleh Seunghyun.

PERGIII!!!’

“GHAAAAHHH!!!” Dengan sekuat tenaga Seunghyun berdiri dan lari meninggalkan Jonghun yang semakin tidak mengerti. Bahkan sekarang ia menganggap pemuda itu mulai tidak waras.

Tanpa memperhitungkan ke mana tujuannya berlari, Seunghyun merajut langkah seribunya hingga tiba di pekarangan belakang rumah Jonghun. Padahal tempat itu kemarin tak seberapa jauh, namun hari ini rasanya seperti bermil-mil bagi Seunghyun. Sekarang ia menyesal mengabaikan telepon Minhwan tadi, ia menyesal bolos kuliah hari ini, ia menyesali tindakan sok beraninya, ia menyesal telah ikut campur dalam urusan supranatural seperti ini!

Karena terlalu kalap berlari, Seunghyun melupakan bahwa ada gundukan tanah yang menghadang langkahnya. Tanah itu menjegal kakinya hingga terjerambab dengan keras. Ia meringis panjang, kepalanya terasa berdenyut. Ditambah lagi ketika dilihatnya gundukan tanah yang tanpa sengaja ditendangnya itu runtuh kemudian menampilkan sebuah tengkorak kepala manusia dengan separuh wajah masih ditempeli daging membusuk.

“Seunghyun-Ssi! Gwaenchanayo?”

Sepasang kaki Jonghun yang mendekat ke tempatnya menjadi terlihat samar-samar. Penglihatannya berkunang-kunang, bertambah gelap, gelap, dan gelap sama sekali. Bergemuruh, hingga akhirnya hening.

*

Perlahan kesadaran Seunghyun terkumpul dengan sendirinya hingga ia mengetahui dirinya kini berada di ruang temaram. Debu-debu beterbangan menggelitik silia penciumannya. Ia hendak mengusap matanya yang belum terbiasa dengan pencahayaan minim namun kedua tangannya tidak dapat digerakkan. Seperti dikekang sesuatu.

Ketika kelopak matanya membuka sempurna, didapatinya banyak lakban hitam besar melilit separuh tubuh bagian atasnya. Masing-masing tangannya pun tampak diikat pada pegangan kursi dengan kuat, menggunakan sesuatu yang mirip senar gitar.

Tak lama kemudian, terdengar derap langkah yang mendekat. Lambat laun sosok itu tampak dengan sebuah pemukul bisbol di tangannya. Mata sipit Seunghyun membeliak ketika tahu siapa gerangan sosok tersebut.

“Apa kau terlalu takut dengan tengkorak di halaman belakang hingga jatuh pingsan? Itu bagus, sehingga aku tidak perlu menggunakan ini untuk membuatmu tak sadarkan diri.” Orang itu membuang tongkat bisbol ke satu sudut yang gelap.

“Jo-jonghun sunbae-nim, sebenarnya apa yang terjadi? Ke-kenapa aku diikat?” Seunghyun tersenyum takut, ia tak berpikir—tak ingin berpikir bahwa Jonghun lah yang telah mengikatnya di sini. Lelaki itu tertawa sumbang, seakan menertawai kebodohan pertanyaan Seunghyun.

“Tak kusangka kau begitu ceroboh. Sekarang, aku akan menjawab semua pertanyaanmu,” Setelah berucap seperti itu, tangan Jonghun memutar kursi empuk yang menjadi ‘singgasana’ Seunghyun untuk menghadap sesuatu yang selama ini ia sembunyikan. Pemuda itu langsung terkesiap, ia nyaris menutup mulutnya jika saja tangannya mampu terangkat. Namun semakin ia berusaha menggerakkannya, pergelangan tangannya semakin terasa perih ditekan senar gitar yang melilitnya.

“Dia gadis yang kau lihat tempo hari? Benar sekali. Dia.. sudah.. mati.” Bisik Jonghun tepat di telinga kiri Seunghyun yang bergidik ngeri. Tak ia sangka bekas lilitan yang tampak di leher gadis pucat itu disebabkan oleh tambang yang membelit saluran tenggorokannya hingga mati. Tubuh itu tergantung lemah dengan kaki yang tak menyentuh lantai.

“Namanya Choi Junhee, adik perempuanku. Anak tidak tahu diuntung itu lebih memilih bersama kekasihnya ke alam baka..” Sorot mata Jonghun berubah sendu, bagai ada sepotong kisah luka terputar di sana. Seunghyun tetap menyiagakan diri, siapa tahu lelaki itu tiba-tiba mengamuk.

Jonghun berhenti membungkuk, ia memulai kisahnya tanpa diminta sementara Seunghyun berpikir bagaimana cara melawan lelaki yang menurutnya sudah mulai sinting ini.

-3 bulan yang lalu-

Sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah Jonghun. Penumpang di dalamnya keluar bersama si penyetir, saling melempar senyum. Tangan mereka bertautan satu sama lain hingga mencapai batas pagar.

Oppa, kau yakin tidak ingin mampir dulu?” Si gadis menyarankan kekasihnya untuk singgah barang sebentar. Namun si lelaki menggeleng, “Lain kali saja, Junhee-ya. Aku harus cepat kembali, kau masuklah ke dalam.” Suruhnya disertai tangan kanan bergerak mengelus ubun-ubun gadis yang ia panggil Junhee. Semburat merah jambu menghiasi tulang pipi Junhee setelah mendapat perlakuan yang demikian dari kekasihnya tersebut.

Arasseo. Hati-hati di jalan, Oppa.” Ia melambaikan tangan sebelum lelaki itu memasuki mobilnya dan pergi. Senyum belum habis bersemi di parasnya bahkan ketika membuka pintu rumah dan bertemu kakak lelakinya di ruang tamu. Junhee mendekat lalu menunjukkan sesuatu yang tadi kekasihnya berikan sebelum mereka pulang.

“Kau masih bersama Lee Jaejin, huh? Sudah kukatakan untuk berhenti menemuinya!” Sambutan berupa bentakan itu menyakiti perasaan Junhee. Sejak awal Jonghun tidak pernah mengizinkan dirinya menjalin hubungan khusus dengan Lee Jaejin, pengusaha muda dari kalangan berada tersebut. Hatinya bertambah ngilu saat Jonghun secara terang-terangan menepis pemberian Jaejin dengan kasar dan tak berperasaan.

“Apa salah Lee Jaejin, Oppa? Kenapa kau tidak pernah menyukainya sejak dulu? Kau bilang ingin melihatku bahagi—”

“Kau tidak mengerti, Choi Junhee!” Potong Jonghun tidak sabar. Pelipisnya berdenyut sakit, entah bagaimana lagi ia harus menjelaskan kekukuhan hatinya tentang larangan tersebut. Junhee menganggap pemikirannya kolot dan tidak berkembang. Bak katak dalam tempurung.

“Apa yang tidak aku mengerti? Oppa, kau tidak bisa secara terus menerus menilai Lee Jaejin sama seperti ayah kita! Dia—”

“Semua orang kaya itu sama! Kau harus terima itu, Junhee!” Teriakan Jonghun membuat Junhee menutup rapat kedua mata dan telinganya. Ini bukan kali pertama mereka berselisih karena persoalan hubungan Junhee, padahal sebelumnya kedua kakak beradik itu hidup rukun setelah kematian ibunya dan sang ayah memutuskan untuk menikah lagi. Baik Jonghun maupun Junhee lebih memilih tidak ikut ayah mereka yang telah tega meninggalkan ibunya karena menurut keluarga pihak sang ayah keduanya tidaklah sebanding dari sisi materi.

Pengalaman pahit masa lalu itulah yang kemudian membentuk karakter dan mindset Jonghun hingga detik ini. Bahkan ia pernah mengancam akan mengajukan surat berhenti kuliah untuk Junhee jika masih bersama Lee Jaejin, namun semuanya sebatas gertak sambal dan tidak dipercayai oleh gadis itu. Kakak mana yang tega memutus pendidikan adiknya hanya karena tidak setuju pada kekasihnya?

Oppa, aku membencimu!” Raung Junhee sebelum ia berlari ke kamarnya di lantai dua. Sambil bersedu sedan.

Jonghun tertawa ambigu di tengah rasa sakitnya, ia menangis pula. Seunghyun menatapnya prihatin, antara kasihan dan tak percaya. Tangannya tak kunjung lepas dari kekangan senar gitar laknat yang memenjarakan pergerakannya.

“Kupikir sikap protektif itu perlu, tapi tidak di semua aspek.” Sahut Seunghyun coba melihat dari sudut tengah. Ia tidak bisa membenarkan, namun tidak juga menyalahkan sepenuhnya tindakan Jonghun terhadap Junhee.

“Begitukah menurutmu? Hmm, mari kita dengar pendapatmu setelah cerita ini,” Jonghun bersiap melanjutkan kisahnya.

Sejak pertengkaran hebat itu, Jonghun sama sekali tidak memperbolehkan adiknya untuk keluar rumah tanpa pengawasannya. Junhee hanya akan pergi ditemani Jonghun, ke mana pun. Jadi, tak ada kesempatan bagi Junhee bersua dengan Lee Jaejin.

Hingga suatu hari, lelaki itu memberanikan diri menunjukkan batang hidungnya ke hadapan Jonghun. Meski ia tahu restu tak pernah diberikan. Meski ia sadar sikap Jonghun tak pernah ramah padanya.

Annyeong hasseo, hyeong.” Sapa Jaejin dengan keramahan luar biasa yang hanya mendapat senyum kecut dari kakak kandung kekasihnya tersebut. Lelaki itu bahkan tak dipersilakan masuk oleh Jonghun. Mereka bicara di depan pagar.

“Untuk apa kau datang ke mari?

Pertanyaan sarkastik itu dibalas deheman canggung dari Jaejin. Ia masih memaksa untuk tersenyum dan berusaha menghormati pria itu.

“Junhee, dia jarang terlihat di kampusnya dan juga tidak membalas pesan maupun telepon dariku belakangan ini. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, hyeong.” Jaejin menggenggam erat kunci mobil di tangan kanannya saat Jonghun mendekat ke tempatnya. Tatapan mengintimidasi itu cukup membuatnya gentar.

“Jadi, kau pikir aku akan membiarkan adikku sendiri sakit? Jahat sekali pikiranmu!” Jonghun berbalik tanpa mengindahkan keberadaan Jaejin yang kemudian berteriak menahannya. “Tolong izinkan aku bertemu dengannya kali ini, hyeong!”

Jonghun berbalik lagi, “Junhee tidak ada di rumah. Jadi pulanglah, percuma kau di sini.”

“Sekali saja, aku mohon padamu!” Jaejin bahkan berlutut mengiba belas kasihan dari pria itu. Jonghun tak menyangka, orang bermartabat ini rela membuang jauh-jauh harga dirinya demi menemui Junhee. Kau pikir bisa meluluhkanku? Enak saja! Ejek Jonghun dalam hati.

“Jika kau memaksa, masuklah. Buktikan sendiri kalau kata-kataku tadi sungguhan.” Ia memberi jalan bagi Jaejin memasuki pekarangan rumahnya, kemudian memeriksa ruang tamu dan beberapa ruangan yang ada. Kau tidak akan menemukannya, Lee Jaejin-Ssi, pikir Jonghun. Ia telah mengunci Junhee di loteng.

“Junhee-ya.. apa kau benar-benar tidak ingin menemuiku lagi?” ratap Jaejin di ujung tangga dengan wajah muram. Di belakang punggungnya Jonghun tertawa tanpa suara, merayakan keberhasilan tipu muslihatnya. Namun itu tidaklah bertahan lama, sebab Jaejin mendadak saja ingin memeriksa loteng.

Andhwe! Kau tidak boleh ke atas!” Larangannya semakin memperkuat dugaan Jaejin. Dengan mantap lelaki itu menaiki tangga tanpa peduli Jonghun mengumpatinya luar biasa buruk. Telinganya sudah kebal terhadap caci maki.

“Kubilang jangan!” Tak cukup dengan kata-kata, Jonghun menggapai kerah pakaian Jaejin dan menyentaknya dengan keras hingga lelaki itu kehilangan keseimbangan. Jatuh terguling sebelum sempat menjajaki tangga terakhir di loteng.

Junhee yang mendengar keributan segera bersuara dari dalam kamarnya, “Oppa! Apa yang terjadi?!”

Jonghun yang sempat membatu menyaksikan tubuh Jaejin tergolek dengan luka di kepalanya itu tersentak mendengar teriakan adiknya yang tak kunjung berhenti. Terlebih lagi saat Jaejin ternyata masih sadar dan mendengar suara Junhee, ia akan menganggap Jonghun pembohong besar!

“Ju..Junhee-ya..” Panggil Jaejin sambil berusaha merangkak untuk mencari asal suara. Jonghun tidak mau membiarkan itu terjadi, dengan cepat ia meraih benda apa saja yang terdekat darinya, lalu mengayunkan itu ke kepala Jaejin.

BUK!

Dalam satu kali ayunan, sebuah tongkat bisbol berhasil meretakkan tulang tengkorak bagian kanan kepala Jaejin. Kini lelaki itu tak lagi bergerak, tangannya yang tadi menggapai-gapai di udara telah lunglai.

Jonghun menyeringai puas, akan tetapi raungan Junhee menyadarkannya bahwa ia baru saja membunuh seseorang. “Oppa! Aku tahu Jaejin Oppa ada bersamamu, lepaskan dia! Aku berjanji tidak akan menemuinya lagi, tolong biarkan dia pergi!”

Nafas Jonghun tersengal, kedua matanya memerah ketakutan. Segera ia melempar tongkat bisbol dari tangannya. Ia harus membereskan semuanya sebelum ada yang tahu. Berlarilah ia ke gudang untuk mengambil jerigen berisi formaldehid serta sebuah karung besar. Mayat Jaejin yang sudah dipindahkannya ke pelataran belakang kemudian diguyur formaldehid, lalu dibungkus menggunakan karung yang diikat. Terakhir, Jonghun menceburkan mayat tersebut ke dalam sumur. Saat itu pulalah Junhee yang berhasil keluar dari kamarnya menyaksikan perbuatan biadab kakaknya.

Seunghyun berkeringat dingin mendengarnya. Ia tak tahu sudah sejauh itu langkah yang diambil oleh tutor musik privatnya ini. Mengerikan.

“Kenapa kau lakukan itu, sunbae-nim? Junhee mungkin akan menepati janjinya jika kau tidak bertindak gegabah waktu itu.” Seunghyun masih berusaha berdialog dengan Jonghun si setengah psikopat yang kini sedang tertawa miris itu. Ia bilang penyesalan memang selalu datang di akhir. Kali ini Seunghyun setuju dengannya.

“Sayangnya waktu tidak mungkin diputar ulang,” Terbayang di pelupuk matanya bagaimana Junhee meninggal setelah sempat menggertaknya akan bunuh diri. Ia pikir adiknya itu tidak punya keberanian untuk melakukannya, menggantung diri di kamar yang sekarang ia dan Seunghyun berada.

“Jika itu maumu, mati saja. Susul kekasihmu itu.” Ujarnya kala itu tanpa berperasaan, membuat Junhee nekad melaksanakan niat yang jika saja Jonghun melarangnya, maka akan ia batalkan. Namun Jonghun sepertinya sudah tidak peduli, malah menutup pintu kamar dan pergi. Membiarkan Junhee mati dalam jerat sunyi di antara tambang yang membelit lehernya.

“Kau benar-benar sudah gila, CHOI JONGHUN!!” Umpat Seunghyun tanpa menutup-nutupinya lagi. Ia marah besar atas tindakan kriminal lelaki itu. Sungguh tidak pantas untuk seseorang berpendidikan seperti Jonghun. Yang diumpati hanya sibuk tertawa dan menangis secara bergantian, menunjukkan telah hilangnya akal sehat.

“Tunggu dulu. Jika mayat Lee Jaejin kau buang di sumur, lalu tengkorak siapa yang ada dalam gundukan di halaman belakang?” Seunghyun menyadari satu hal. Kemudian menatap Jonghun yang belum berhenti bertingkah tidak wajar.

Lelaki itu mengakui satu perbuatan lagi, ia bahkan tak pernah bisa melupakan tubuh yang mengejang serta wajah membiru kakak dari Lee Jaejin yang bernama Lee Hongki, yang ia beri minuman bercampur racun tikus ketika lelaki klimis itu mendatangi rumahnya untuk menanyakan keberadaan adiknya sebab sebelum Jaejin menghilang, ia pamit pergi ke rumah kekasihnya. Satu minggu tak ada kabar, Lee Hongki memutuskan untuk mencari alamat Junhee.

Dengan topeng wajah malaikatnya, Jonghun berlagak baik menyuruh Lee Hongki mengecek rumahnya. Diam-diam ia memasukkan racun ke dalam minuman yang akan diberikan kepada Lee Hongki dan alhasil pria itupun bernasib sama seperti adiknya. Jonghun kemudian menanam mayatnya di pekarangan belakang tak jauh dari sumur dan membiarkan kepala itu menyembul. Ia cukup menimbunnya dengan tanah, ditambah pernik berupa pagoda batu. Toh, sangat sedikit orang yang berkunjung ke rumahnya selama ini.

“Kau akan dihukum seberat-beratnya, Tuan Choi!!” Hardik Seunghyun lagi hingga ia kegerahan. Peluh menambah penderitaannya, luka akibat lilitan senar gitar di pergelangan tangannya memunculkan rasa perih.

“Sudah puas mengataiku? Kalau masih ada lagi keluarkan saja! Haish, kau sudah terlalu banyak tahu. Oleh karena itu, bersiaplah menjadi korban selanjutnya!”

Mendengar hal itu Seunghyun bergerak acak, hanya kakinya yang leluasa maka ditendangnya perut Jonghun semampunya. Lelaki itu terhuyung beberapa langkah, namun tidak sepenuhnya berhasil dipukul mundur. Ia lalu meraih stik golf yang telah dipersiapkan sejak tadi, menggenggamnya kemudian menyabetkannya.

WEETT!

PRAKK!

BRUUK!

Alam masih tetap sunyi, rumah kayunya tak berkeriut. Membisu dan hanya terdiam, membiarkan genangan merah beraroma menyengat itu menggenangi lantai loteng. Menyembunyikan segala kekelaman yang pernah terjadi di sana.

 

FIN

 

Pesan dari cerita ini:

. Protektif boleh, asal pada tempatnya

. Patuh pada yang lebih tua

. Jangan terlalu senang ikut campur masalah orang yg belum kita ketahui jelasnya

. Ga boleh ngejudge seseorang/sesuatu hanya karena pendapat sepihak

Terimakasih~ ^^