[Fanfic] If You Hurt Like Me Chapt. 3

Title : If You Hurt Like Me part 3

Author : Asuka (@_Asuka7)

Casts : Aron Kwak –Nu’Est–, Hwang Min Hyun –Nu’Est–, Son Na Eun –A.Pink–, Oh Hayoung –A.Pink–

Other Casts : Akan bertambah seiring waktu~ u,u

Genre : School-life, AU, Little-Angst, Romance, Friendship

Length : Part

Rate : PG-15

Suggest Song : I’m Sorry – Nu’Est ; Because I Don’t Know How To Love – FT Island

A/N : Part ini kayaknya bakal banyak menyoroti tentang Min Hyun, so keep tolerated that again, okay? Nanti bakal tau kok kenapa dia banyak dapat bagian ^^

Previous Part…

“Ma, Ba! Duibuqi, wo feichang wan!” Ujarnya dalam bahasa Mandarin seraya menunduk. Semua orang di meja itu menoleh padanya dan tanpa ia sadari salah satu dari mereka tampak terkejut saat Min Hyun mengangkat kepalanya.

 

“Kau?!” Seru Min Hyun dan seseorang itu secara serempak.

Part 3

-Na Eun POV-

“Kau?!” Aku dan seseorang yang kukenal bernama Min Hyun itu berseru secara serempak dan saling melempar tatapan kaget sekaligus tak percaya. Bagaimana bisa? Apa jangan-jangan, Min Hyun…

“Ah, tak apa Yi. Kami belum memulai acaranya. Ayo lekas duduk.” Titah Bibi Xue pada Min Hyun yang masih mengerjap kepadaku. Ia menyapu keringat tipis yang menghiasi pelipisnya lalu menduduki kursi yang memang disediakan untuknya.

Bibi Xue dan eomma bertukar senyum, “Jadi, ini Hwang Min Hyun yang tiga belas tahun lalu menjatuhkan ikan kesayangan Na Eun?” Pertanyaan eomma mengingatkanku pada sosok bocah lelaki keturunan China berkulit pucat yang telah mengacaukan pesta ulang tahun ke-limaku tiga belas tahun yang lalu.

Bocah itu kegirangan saat melihat ikan mas peliharaanku di dalam gelas lalu membawanya ke dekat meja kue tart, celakanya dia ceroboh terlilit kabel mic dan menjatuhkan gelas berisi ikan mas hias milikku ke atas rerumputan. Salah seorang undangan tanpa sengaja menginjak ikanku hingga mati.

“Benar. Aku masih ingat putrimu itu meraung-raung saat tahu ikan mas-nya sudah tidak bernyawa lagi. Dasar, Yi memang ceroboh saat itu.” Bibi Xue mengacak gemas surai gelap milik Min Hyun yang saat ini terpelongo sama sepertiku.

“Sekarang, mereka sudah sebesar ini. Tahun-tahun terlalu cepat bergulir. Sebentar lagi Na Eun kelas tiga dan lulus. Mereka bukan anak kecil lagi.” Tambah Appa yang duduk berhadapan dengan lelaki berkacamata yang kuketahui adalah Tuan Hwang.

Bingo! Marga Min Hyun adalah Hwang, kenapa aku tidak menyadarinya lebih cepat?! Oh tentu saja. Aku hanya ingat kalau Bibi Xue adalah saudara angkat eomma dan melupakan marga Tuan Hwang.

“Min Hyun sekarang bersekolah di Seoul Art School, bagaimana dengan Na Eun?” Tanya Tuan Hwang bersamaan dengan diantarkannya piring-piring hidangan yang langsung menyita perhatianku.

“Eh? Aku belum bilang ya? Na Eun juga bersekolah di sana. Na Eun-ah, apa kalian berdua seangkatan?” Eomma menyentuh lenganku. Aku mengangguk dan melirik Min Hyun. “Ne. Kami seangkatan namun berbeda kelas. Dia berada di kelas musik, sementara aku teater.”

“Itu benar, ma, ba. Tanpa kalian kenalkan pun kami sudah saling tahu nama masing-masing.” Kekeh Min Hyun akhirnya. Ia menyembunyikan tawanya di balik punggung tangan. Aku mengernyit, ia memanggil ayah dan ibunya dengan sebutan yang tidak biasa dan asing di telingaku. Setiba tadi saja, dia malah berbahasa Mandarin.

Sontak tawa berderai mencair di antara dua pasang suami istri di sekeliling kami, mereka baru menyadari jika anak mereka yang rencananya baru akan dipertemukan kembali ini ternyata sudah saling mengenal.

“Lalu, kenapa kami bisa tak pernah bertemu lagi sebelum ini?” Aku bertanya karena merasa tak pernah bertemu dengannya lagi setelah ulang tahun belasan tahun silam. Bibi Xue tersenyum kepadaku,

“Tentu saja. Yi saat sekolah dasar masih di China, dan baru setelah menginjak usia SMP dia pindah ke Korea hingga sekarang. Berkebalikan dengan aku dan ayahnya yang malah menetap di Shanghai bertepatan saat Yi kelas satu SMP.” Tutur perempuan paruh baya itu memberiku penjelasan. Aku membulatkan mulut.

“Jalinlah hubungan yang baik seperti kami. Nah, Yi dan Na Eun kalian sudah tahu ‘kan kalau kami bersaudara angkat. Maka, belajarlah untuk akrab mulai saat ini. Aratji?”

*

Satu lagi fakta yang ditemukan! Nu’Est ternyata beranggotakan para pemuda dengan darah campuran. Jika dulu identitas Kwak Young Min aka Aron telah terkuak, maka yang sekarang adalah Hwang Min Hyun. Jika Aron berdarah campuran Amerika-Korea, lain halnya dengan Min Hyun. Pemuda ini memiliki darah China dan Korea di dalam dirinya.

Ibu Min Hyun adalah orang China yang menetap di Korea selama belasan tahun kemudian dinikahi oleh Tuan Hwang yang akhirnya melahirkan Hwang Mi Young dan Hwang Min Hyun yang lebih muda enam tahun dari kakaknya. Saat ini ibu dan ayahnya berdomisili di China, tepatnya Shanghai karena perusahaan yang dirintis Tuan Hwang berhasil di sana. Mereka hanya akan pulang ke Korea dua kali dalam setahun untuk berkumpul bersama yakni saat tahun baru dan natal tiba. Selebihnya, jika hanya ada urusan darurat saja.

Jadi, Min Hyun yang notabene anak lelaki satu-satunya di keluarga Hwang itu tinggal sendiri di Korea sementara kakak perempuannya tengah melanjutkan studi S-1 nya di Amerika. Min Hyun anak lelaki yang mandiri, bukan?

***

-Author POV-

“Lantas, apa pendapatmu tentang yang semalam?”

“Hm~ Kurasa tak ada yang mustahil di dunia ini, bahkan persaudaraan ibuku dan ibumu Setidaknya setelah ini aku tidak perlu memanggilmu dengan formal lagi. Hehe…” Kekeh pemuda yang  memiliki tatapan teduh itu disusul Na Eun di sela kesibukan mereka membopong setumpuk buku usang dalam kardus, untuk dipindahkan dari perpustakaan ke gudang lantai dasar.

Kebetulan tadi mereka bertandang ke perpus dan dimintai tolong oleh Nn. Jang untuk membantunya membawa buku-buku bekas tersebut.

TING!

Dua orang murid tingkat dua SOPA tersebut keluar dari lift dan sudah menginjakkan kaki di lantai dasar, masih dengan bawaannya.

“Harusnya kau meringankan bebanku ini, ibumu ‘kan memanggil ibuku kakak. Dan lagi aku ini perempuan…” Lanjut Na Eun dengan wajah sok tua yang dibuat-buat, membuat Min Hyun meringis geli.

“Hey, apa hubungannya? Bilang saja kau tidak kuat mengangkut ini.” Tolak Min Hyun dan Na Eun memberengut kalah. Nampaknya keakraban mulai terjalin di antara mereka sekarang.

“Ya sudah, kalau tidak mau.” Na Eun menyerah dan mempercepat langkahnya ketika sepasang retinanya melihat pintu gudang sudah tak jauh lagi. Namun Min Hyun mengabulkan perkataannya tadi, “Arasseo. Kuambil alih setengahnya.”

Ia meletakkan beberapa jilid buku yang seharusnya nyaman bersama Na Eun dalam kotaknya, mengurangi beban bawaan gadis itu.

“Haish! Kenapa tidak dari tadi?! Percuma, gudang tinggal beberapa langkah lagi.” Sesal Na Eun atas keterlambatan respek Min Hyun yang kini tersenyum jahil kepadanya.

“Daripada tidak sama sekali?” Lagi-lagi ia berkelit ria, tidak ingin kalah. Haa~ jiwa muda, terkadang lebih suka mempertahankan pendapatnya sendiri.

Begitu sampai di depan gudang, mereka segera menyerahkan buku-buku usang tersebut kepada pria paruh baya yang bertugas memeriksa kebersihan gudang tiap seminggu sekali. Setelah selesai dua remaja itu pamit untuk kembali ke kelas mereka di lantai atas.

“Menurutmu, apa buku-buku itu hanya akan disimpan di sana? Kurasa ada baiknya jika disumbangkan saja kepada yang lebih membutuhkan.” Gumam Na Eun masih melirik gudang yang tertinggal di belakangnya.

“Aku setuju. Buku-buku yang belum hancur sepenuhnya bisa berguna untuk sekolah-sekolah non-formal di desa-desa. Mereka mungkin kekurangan bahan ajar.” Timpal Min Hyun disertai anggukan kecil.

“Oppa? Sedang apa di sini? Bukankah kelasmu di atas?” tiba-tiba seorang junior berparas cantik yang datang dari arah halaman utama sekolah menyapa Min Hyun yang mana serta merta membuat pemuda tinggi itu berhenti.

“Hayoung-ah~ Tadi aku bantu memindahkan buku ke gudang bersama Na Eun. Kau sendiri?” Min Hyun bertanya pula setelah ia menjelaskan kronologis kegiatannya. Na Eun hanya memandang mereka dalam diam, belum mau bersuara.

“Eum, aku hanya belajar di taman karena setelah ini ada ujian untuk kelas umum.” Gadis bernama Hayoung itu memperlihatkan sebuah buku yang cukup tebal serta notes di tangannya.

“Ah, begitu rupanya. Oh ya, Hayoung-ah ini Son Na Eun, teman seangkatanku dari kelas teater.” Min Hyun memperkenalkan Na Eun pada Hayoung. “Dia Oh Hayoung, junior dari kelas tari. Dia yeojachingu-ku.” Jelasnya memberikan jawaban atas pertanyaan di benak Na Eun,  yang sejak tadi bergumam siapa-gadis-yang-memanggil-Min-Hyun-dengan-sebutan-Oppa-ini?

“Annyeong sunbae-nim! Oh Hayoung imnida, bangapseumnida!” ia membungkuk singkat pada Na Eun. “Ne, bangapta, hoobae.” Balas Na Eun tak kalah ramah. Ia tidak akan cerewet di hadapan orang yang baru dikenalnya.

“Psst! Kau bisa juga, keunyo-neun neomu yeppo-yo! (dia itu sangat cantik!)” Bisik Na Eun sambil menyikut pelan rusuk Min Hyun, bermaksud menggodanya kemudian tertawa.

“Ya sudah, aku akan ke atas sendiri. Kau temanilah Hayoung, antar dia ke kelasnya. Annyeong~” pamit Na Eun mengangkat vertikal salah satu tangannya sejajar dengan kepala lalu mendahului pasangan itu. Membiarkan mereka memiliki ruang untuk berdua saja. Lagipula, siapa yang mau jadi obat nyamuk? (lol)

“Oppa, bisakah sepulang sekolah nanti kita pergi keluar sebentar?” tanya Hayoung selepas kepergian Na Eun. Min Hyun berbalik menghadap gadisnya, “Tentu saja. Aku mau menemanimu.”

Pemuda itu menjatuhkan tangannya di atas kepala Hayoung yang langsung menunduk, mengacaknya lembut. Tanpa ia ketahui ekspresi yang tersembunyi daripada gadis itu dan sebutir kristal bening melesat jatuh dari kelopak matanya mendarat di atas lantai ubin, berbaur bersama debu.

*

Na Eun berjalan santai sepanjang koridor utama lantai dua sambil sesekali menyapa siswa yang ia kenal. Gadis ini tipe yang supel dan ramah sehingga banyak siswa mengenal serta dikenalnya. Selain memang tergolong sebagai siswi yang aktif di bidang ekskul maupun akademik.

Bibirnya masih menyenandungkan beberapa baris lagu secara lirih hingga kegiatannya itu dihentikan oleh sebuah pemandangan yang sejujurnya masih menyisakan luka di hatinya. Di sudut kiri, tepatnya di samping pintu lift naik ada sebuah mesin minuman yang tak hanya bisa ditemukan di kantin saja tetapi hampir di semua lantai sekolah itu. Namun bukan mesin minuman yang menyita perhatiannya, melainkan dua sosok yang tengah bercengkrama di depan sana.

“A-Aron…” Tuturnya lirih—lebih lirih daripada nyanyiannya tadi, disaksikannya Aron bersama Bomi saling melempar candaan satu sama lain. Kemudian Aron memberikan sekaleng softdrink ke tangan gadis itu. Na Eun ingin sekali ia berada di posisi itu sekarang.

“Ah! Aku menumpahkannya!” pekik Bomi saat sebagian dari isi softdrink itu meluap dan tumpah mengenai seragam bagian perutnya. “Don’t shaking it, Bomi-ah!” tuding Aron yang langsung panik, mencari-cari sesuatu untuk membersihkan noda minuman di almamater Bomi.

“Lekas ke toilet, dan bersihkan. Kau tidak mau ‘kan, noda-nya mengering dan kotor.” Saran Aron yang langsung disetujui Bomi. Mereka beranjak dari sana dan Na Eun hanya bisa menatapnya dari kejauhan dengan sendu. Ia mundur perlahan dan bersandar ke tembok seraya mencengkram kuat kerah seragamnya. Sesak itu lagi.

“Seharusnya aku bisa menekan perasaan ini, tetapi kenapa sulit sekali?” Keluhnya merutuki ketidakberdayaannya dalam menghilangkan rasa-sangat-membutuhkan-Aron dari benaknya. Semakin lama itu semakin membelenggunya.

“Kenapa tidak kau gigit saja aku? Seperti yang Aron katakan.” Ujarnya jua pada gelang pemberian Aron di pergelangan kanannya. “Atau kau ingin aku yang menelanmu lebih dulu?” ucapnya lagi layaknya orang gila. Tidak tahu lagi harus melakukan apa.

“Baik, semoga ini bisa membantu.” Putusnya membulatkan hati. Perlahan Na Eun melepaskan gelang unik itu dari pergelangan tangannya kemudian menyimpannya ke dalam saku almamater. Dihembuskannya nafas panjang, menghilangkan himpitan yang tadi ia rasakan. Berharap jika ia menjauhkan benda-benda pemberian Aron itu bisa membantu ‘penyembuhan’ hatinya.

***

Sore itu, sepulang sekolah Min Hyun mengajak Hayoung ke kawasan Gangnam seperti permintaannya. Mereka hanya berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan yang memang terkenal bagus untuk kawasan distrik di Seoul itu.

Seperti pasangan kekasih lainnya, keduanya saling menautkan tangan dan tersenyum satu sama lain, meski acara kencan mereka kadang kala tidak seromantis kisah dongeng. Min Hyun lebih suka mengajak Hayoung walk-to-walk outdoor seperti ini dan Hayoung sendiri lebih senang mendengarkan Min Hyun bercerita tentang kesehariannya ketimbang menghabiskan waktu di wahana bermain atau wisata.

“Hayoung-ah, maaf akhir-akhir ini aku jarang menghubungi atau membalas pesanmu. Kegiatan kelas musik ditambah jadwal latihan Nu’Est benar-benar menyita waktuku. Aku sangat bersyukur hari ini kau berinisiatif mengajakku pergi keluar.” Min Hyun menggenggam erat jemari mungil tangan kanan Hayoung. Ia benar-benar membutuhkan gadis itu sekarang ini, untuk membuang kejenuhannya terhadap kegiatan yang tak berujung. Gadis ini adalah penyemangatnya.

“Hm… Aku mengerti Oppa.” Sahut Hayoung singkat. Min Hyun berhenti memanjakan kedua bola matanya dengan pemandangan apartemen-apartemen kelas atas serta bagunan bangunan elit lainnya demi memperhatikan seraut wajah di sampingnya yang sejak tadi terus menunduk.

“Kau sakit? Kulihat kau hanya menunduk saja, atau ada masalah?” Pemuda itu menyentuh dahi Hayoung menggunakan punggung tangannya. Gadis itu segera menggeleng, “Nan gwaenchana. Oppa, aku… ada sesuatu yang harus kukatakan padamu…”

Min Hyun mengangkat kedua alisnya, “Katakan saja. Aku selalu mendengarkannya.” Ia kembali mengajak gadis yang telah menjadi kekasihnya sejak setahun yang lalu itu berjalan.

“Uri geuman kahja (Mari kita akhiri). Aku ingin berpisah denganmu, Oppa.” Ucapan Hayoung seketika memberhentikan langkah Min Hyun. Ia tertegun sejenak sampai kemudian tersenyum. “Kau tahu? Kau itu tidak berbakat menjadi seorang pelawak, Oh Hayoung.”

Min Hyun meremas tangan Hayoung lembut dan hendak mengajaknya beranjak, namun gadis itu menahannya yang mau tidak mau memaksa Min Hyun berbalik menghadapnya. Lalu melempar tatapan tidak mengerti. Tak paham—lebih tepatnya tidak ingin paham—tentang makna dari kata-kata Hayoung barusan.

“Aku serius!” bentaknya serak. “Hayoung-ah…” Panggil Min Hyun dengan nada bergetar.

“Oppa, mungkin kau akan menganggapku orang paling jahat di dunia. Manusia tak berhati, egois dan payah! Tapi aku harus memilih keputusan ini.” Hayoung mengangkat wajahnya, memberanikan diri menatap seraut muka yang kini penuh dipenuhi kemurungan.

“Kenapa?” Min Hyun menelisik sepasang bola mata Hayoung yang sudah basah.

“Kau akan mengetahuinya nanti. Aku hanya tidak ingin kau tersakiti, aku menyayangimu, aku mencintaimu Oppa. Karena itu aku harus meninggalkanmu, aku tidak cukup sempurna untuk memberi bahagia untukmu.” Perlahan Hayoung melepaskan genggaman tangan Min Hyun dan melangkah mundur, menjauh dari pemuda itu.

“Kau pikir pergi dari sisiku itu akan membuatku bahagia? Aku tidak mengerti definisi bahagia menurut pandanganmu…” Min Hyun masih menatapnya dengan penuh harap. Ingin Hayoung mencabut kembali kalimatnya tadi. Namun sorot mata gadis itu mengisyaratkan bahwa tidak ada keraguan dalam ucapannya.

“Kau boleh membenciku, Oppa. Kau boleh mencaciku, menganggapku wanita yang jahat. Kita harus menghentikannya sejak saat ini. Mianhamnida…” Hayoung terisak. Min Hyun tahu bukan itu yang mereka harapakan. Tapi sepertinya Hayoung memiliki alasan lain sehingga mengambil jalan ini.

“Aku tak pernah bisa membencimu, kau tahu? Aku—” Min Hyun tak sempat melengkapi kalimatnya saat seseorang mendekat dan merangkul bahu mantan gadisnya dengan senyuman hangat. Siapa pria itu? Tanya Min Hyun dalam diam.

“Hayoung-ah, kau sudah selesai dengan urusanmu?” Pria berpakaian rapi dengan wajah yang terhitung sempurna itu mengangguk sekali ke arah Min Hyun yang mulai mengernyitkan keningnya. Hayoung menganggukkan kepalanya seraya tersenyum getir.

“Ne, Jong Hoon-Ssi. Aku sudah selesai.” Min Hyun mempertanyakan hubungan kedua orang di hadapannya itu, kenapa mereka terlihat akrab dan.. akh! Terlalu banyak hal yang tak ia mengerti sekarang.

“Urusan kita sudah tuntas ‘kan, Oh Hayoung? Sepertinya kalian ada kesibukan berdua, permisi.” Min Hyun membawa sepasang kakinya pergi tanpa berniat mendengar penjelasan apapun dari mulut Hayoung. Ia rasa sudah cukup menerima kenyataan pahit itu.

“Mianhae, jeongmal mianhae.. Oppa…” Lirih Hayoung tanpa bisa didengar oleh Min Hyun lagi. Mana sampai hati ia mengatakan perpisahan tadi jika hubungan mereka masih seperti dulu. Karena sekarang sudah tak sama lagi, maka Hayoung putuskan untuk mengakhirinya. Melepaskan Min Hyun dan terpaksa bersama seseorang yang bahkan baru ia kenal seminggu.

Kemana langkah membawanya, maka kesana-lah kaki tertuju. Bagai orang tak memiliki kesadaran, Min Hyun berjalan dengan sedikit terhuyung dan tatapan nanar ke sekelilingnya saat ini. Siapa orang yang suka akan perpisahan? Tentu tidak ada. Tetapi hal itu merupakan hukum alam yang pasti. Dimana ada pertemuan, maka nantinya akan bertemu dengan perpisahan.

Bagaimanapun, dia masih membutuhkan gadis itu. Ia benar-benar tidak siap dan tidak pernah siap akan kemungkinan tak terduga seperti ini. Min Hyun terlalu mempercayakan seluruh perasaannya pada Hayoung hingga dengan mudahnya ia merasa terluka kini.

“Ya! Perhatikan jalanmu anak muda!” Omel seorang pria yang bahunya ditabrak oleh Min Hyun. Untuk memperhatikan kecerobohannya pun ia tak mampu sekarang. “Jwaesunghamnida.” Hanya kata maaf yang bisa dilontarkannya.

Matanya panas, dipenuhi genangan air mata dan ia sulit bernafas. Ia ingin menangis saat ini, meraung, dan merintih. “Wae?! Waeyo?! Kenapa memutuskan untuk berpisah seperti ini?!” orang-orang yang berlalu lalang melihatnya kebingungan. Apa anak muda ini mulai gila? Mungkin begitu pikiran mereka.

Min Hyun menengadahkan wajahnya ke atas, menatap langit yang masih terik. Ia memicingkan mata karena silau. Tangan kanannya ia gunakan untuk menghalau sinar matahari sore, sementara tangan kirinya bebas di sisi tubuh.

Kini bukan hanya hatinya yang remuk, juga seluruh tubuh serta persendiannya terasa sakit. Berdenyut hingga membuatnya tak mampu berdiri. Tubuh itu ambruk ke tanah dengan tempurung lutut yang lebih dulu mendarat.

“Siapa pun, tolong bangunkan aku jika ini memang mimpi. Mimpi buruk…” Gumamnya sebelum semua pencahayaan tak lagi bisa ditangkap oleh inderanya. Dunia terlihat berputar kabur kemudian gelap dan suara-suara panik tidak tertangkap lagi oleh gendang telinganya.

***

-Min Hyun POV-

“Yi, makanlah. Kau belum makan sama sekali sejak jatuh pingsan.” Suara eomma membuatku memalingkan wajah dari jendela yang diterjang angin dan air hujan. Menarikku kembali ke alam nyata. Perempuan berpakaian khas China itu duduk di sisi tempat tidurku dengan membawakan semangkuk penuh bubur putih.

Ma, jadi siapa yang membawaku pulang tadi?” Aku hendak mengambil alih mangkuk saat eomma melarangnya. “Biar aku yang menyuapimu. Aa~” Titahnya membuatku meringis malu. Seperti anak kecil saja, disuapi. Tapi aku tetap membuka mulut, memberi jalan bubur tersebut masuk.

“Ada dua orang temanmu, pria dan wanita. Mereka juga berada di Gangnam saat itu dan melihatmu pingsan. Kalau tidak salah, namanya… Aron dan.. Bomi.” Jelas Eomma. Aku menelan bubur dan menatapnya, lalu mengangguk kecil. “Kalau begitu aku harus berterima kasih pada mereka besok.”

Mata eomma melebar, “Ei? Sudah mau masuk sekolah? Dokter Noh bilang kau harus istirahat seharian penuh. Kau kelelahan.” Sekali lagi tangannya menyodorkan sesendok penuh bubur. Lihat, dia memperlakukanku seperti pasien rumah sakit.

Wo hen hao, Ma. Buyao danxin*). Lagipula aku sudah merasa baikan kok.” Sanggahku bersikeras agar ia mengizinkanku tetap bersekolah esok hari. Aku menaruh kembali sendok kemudian menarik tangannya dengan wajah memelas, kupikir ia akan luluh melihat mimikku.

Eomma menghela nafas pelan, “Hwang Feng Yi, kau keras kepala seperti ayahmu. Kenapa kau tidak mencontoh kakakmu, huh? Dia selalu menuruti perkataanku.” Dengus eomma. Jika sudah memanggil nama lengkapku dalam aksara China, itu artinya ia setuju namun setengah hati.

“Jebal, Ma. Aku tidak sedang sakit apapun!” tegasku meyakinkannya. Pintu kamarku terbuka, aboji muncul dari sana dan menghampiri kami. “Jangan samakan Mi Young dan Min Hyun. Dia ini laki-laki, tentu dia lebih kuat dan jiwanya tidak ingin dikekang, yeobo.” Bela pria berumur empat puluh tahunan itu. Mereka memanggilku dengan nama yang berbeda, jika eomma lebih senang memanggilku dengan nama China, maka aboji menyebutku dalam aksara Korea. Inilah resiko dilahirkan dengan dua darah keturunan.

“Beginilah jika sudah berhadapan dengan dua jagoanku. Aku selalu dikalahkan.” Kekeh eomma seraya menatapku dan aboji bergantian. Kami saling melempar senyum, eomma kembali menyuapiku dengan bubur dan aboji berinisiatif membawakan segelas air putih untukku.

Sudah lama aku tak merasakan suasana ini, sayangnya Mi Young Noona tidak ada. Dia sibuk belajar di luar negeri dan tidak sempat pulang kali ini. Meski ia sering memerintahku saat di Korea tetapi kadang kala aku merindukan omelannya.

Ma, ba. Aku menyayangi kalian.”

***

-Author POV-

“Tubuh setinggi itu masa’ pingsan di tengah keramaian? Menggelikan sekali kau Min Hyun!” Ejek Ren seusai mereka latihan. Rupanya Aron sudah memberitahu mereka. Min Hyun meliriknya sambil merapikan stik drumnya dan bergabung dengan rekan-rekannya di tengah ruangan, duduk bersila. “Mungkin benar kata dokter Noh, aku kelelahan.”

“Kau yakin tidak ada hal lain yang mengganggu pikiranmu?” Tanya JR intens. Ia biasa mengkhawatirkan anggotanya yang lain. Karena setahunya Min Hyun bukanlah tipe pemuda yang bisa dengan mudah jatuh pingsan tanpa sebab. “Sungguh, aku hanya kelelahan.”

“Kalau begitu jangan paksakan dirimu berlatih, Min Hyun-ah. Oh ya, kebetulan aku punya vitamin, siapa tahu kau membutuhkannya. Sebentar, aku ambil dulu.” Aron beranjak dari duduknya untuk mengambil tas ranselnya lalu kembali dengan membawa sekotak vitamin.

“Kalian juga boleh meminumnya, kalau mau.” Tawar Aron pada tiga pemuda lainnya.

“Gomapta. Kalian memang sahabat terbaikku.” Min Hyun merasa bersyukur memiliki orang-orang yang begitu memperhatikannya. Bodoh sekali jika ia terus-terusan tersakiti hanya karena keputusan Hayoung kemarin. Bahkan lebih banyak hal yang membahagiakan ketimbang duka yang telah lewat.

tapi maafkan aku. Saat ini aku belum bisa menceritakan masalah hubunganku pada kalian, kawan.’ Gumamnya dalam hati. “Ya, aku hendak ke toilet sebentar.” Pamitnya sudah berdiri dan berjengit kaget ketika telapak tangan Ren usil mendarat di pantatnya.

PUK.. PUK.. Pemuda berwajah manis itu menepuk dua kali pantat sahabatnya itu dengan maksud bergurau. Wajah Min Hyun memerah dan segera menjatuhkan jitakan di kepala Ren hingga ia mengaduh kesakitan. “YA! Appo!” protesnya.

“Siapa yang jahil lebih dulu, huh?” JR mencubit gemas pipi Ren hingga merah dan pemuda itu kesakitan untuk yang kedua kalinya. Aron tertawa terbahak-bahak melihat kejadian itu, merasa tingkah ketiga temannya itu sangatlah konyol.

Min Hyun menutup pintu ruang latihan dan turun ke lantai di bawahnya. Ia masih teringat perkataan Hayoung padanya, dan sampai sekarang ia belum menemukan alasan kenapa gadis itu meninggalkannya mendadak. Semalam saat ponselnya berbunyi, ia tidak segera menjawabnya karena telepon itu dari Hayoung. Dan sekarang ia menyesal telah melakukan hal itu, harusnya ia jawab saja dan tahu pembelaan apa yang akan diberikan Hayoung atas dirinya.

Min Hyun menghentikan kakinya saat ia berpapasan dengan Hayoung yang saat itu juga berhenti karena melihatnya. Keduanya sama-sama terdiam untuk beberapa saat hingga Min Hyun bersuara. “Terima kasih, atas segalanya. Oh Hayoung, kuharap kau tidak menyesal dengan apa yang telah kita jalani selama ini.”

Pemuda itu hendak berlalu saat pergelangan tangannya ditahan oleh Hayoung yang entah kenapa senang sekali menunduk. “Min Hyun-Ssi…” desisnya yang membuat hati Min Hyun sakit. Bahkan sekarang gadis itu tak lagi memanggilnya ‘Oppa’. Secepat itukah perasaannya berubah?

“Mianhae, jeongmal mianhae. Aku terpaksa melakukan ini, aku terpaksa menerima pertunangan yang direncanakan kedua orang tuaku itu. Aku meninggalkanmu agar nanti kau tidak melihatku bersanding dengan orang lain. Benci saja aku, Hwang Min Hyun.” Isaknya kembali menangis.

Sekarang jelas apa yang menjadi penyebab perkara ini. Pertunangan yang tak diharapkan. Bukan kesalahan salah satu pihak, tetapi mereka semua korban. Korban dari perasaan yang harus berpindah meski sang empu tidak menginginkan itu terjadi. Sebuah senyuman kini bisa disunggingkan Min Hyun. Setidaknya ia tahu Hayoung  bukan tidak ingin bersamanya, hanya saja tidak tahu bagaimana cara agar dapat membiarkan orang terkasihnya pergi tanpa meninggalkan bekas luka.

“Sudah kukatakan aku tidak pernah membencimu. Berbahagialah kau dengannya, karena hanya dengan cara itu kau bisa memastikanku tetap bisa menjalani hidup meski tanpa kehadiranmu, di sisiku.” Pegangan Hayoung perlahan melemah dan akhirnya terlepas. Gadis itu sibuk menghapus keseluruhan air matanya yang berderai.

Min Hyun mendaratkan tangannya di puncak kepala Hayoung yang berdiri berlawanan arah dengan hadapan tubuhnya. Mengelus lembut surai tersebut, “Berjanjilah padaku untuk belajar mencintai orang itu. Jangan lampiaskan padanya, ia tak bersalah.” Ucap Min Hyun mengusir kekhawatiran di hatinya ditakutkan Hayoung akan menjadikan pria kemarin hanya pelariannya saja.

Namun hal itu tampaknya tidak akan menjadi nyata saat Min Hyun merasakan kepala di bawah tangannya itu bergerak pelan. Mengangguk setuju. Senyum lega benar-benar mengembang lebar di wajah tampannya. Ia menurunkan tangannya dan perlahan pergi dari sana, meninggalkan Hayoung dengan hati yang terobati meski tidak sembuh sepenuhnya.

***

Tuk.. Tuk.. Tuk.. Ketukan tak beraturan itu ditimbulkan oleh jemari Na Eun yang menghentak di meja kayu. Ia berada di ruang rapat kepengurusan majalah sekolah, berhadapan dengan ketua anggota Choi Min Hwan setelah tadi sempat mengutarakan pengunduran dirinya dari keanggotaan.

“Kau yakin ingin berhenti? Apa ini karena Tuan Ahn? Kudengar sehabis mini-stage kemarin kau dipanggilnya.” Pemuda berkacamata itu menarik bangku kemudian duduk menghadap meja yang sama dengan Na Eun.

“Bukan itu masalahnya. Jika hanya Tuan Ahn, aku bisa mengatasinya.” Na Eun sendiri meragukan keputusan yang pada dasarnya berpijakan dari keinginannya untuk mengabaikan Aron. Mengenyahkan pemuda itu dari benaknya. Dan ia tidak yakin itu berhasil.

“Ada alasan lain kah? Padahal dulu kau yang gigih memintaku untuk menerimamu sebagai anggota.” Min Hwan menelengkan sedikit kepalanya dan melipat tangan di depan dada. “Aku tidak bisa mengatakannya padamu, sunbae.”

Min Hwan menyerah, gadis ini tampaknya tertutup tentang alasan pengunduran dirinya tersebut. “Ok, aku tidak memaksa, kuhargai privasimu. Tapi saranku, pikirkan baik-baik sebelum memutuskan. Kau berbakat, Na Eun. Dan selama ini liputan-liputan yang kau masukkan selalu diterima. Amat disayangkan jika berhenti tiba-tiba.” Pemuda dari kelas visual art itu tersenyum hingga mata sipitnya tenggelam.

Na Eun mengerucutkan bibirnya, benar ia masih ingin menjadi bagian dari anggota majalah sekolah. Tapi mau bagaimana? Jika ia melanjutkan tugasnya mewawancarai Nu’Est, itu sama saja mempersulit usahanya mencegah keberlanjutan ‘cinta dalam hati’ untuk Aron. Salahnya sendiri mengajukan Nu’Est sebagai topik buletin, dan bodohnya lagi ia baru menyadari tentang perasaannya yang semakin menjadi-jadi.

“Hey, Minani! Jadi menemui Jae Jin tidak— Oh? Kau sibuk yah?” Seorang sunbae berambut coklat serta jangkung sekonyong-konyongnya masuk dan mendadak kikuk karena dilihatnya ada orang yang tengah berurusan dengan sahabatnya itu.

“Gwaenchana, Seung Hyun-ah.” Min Hwan mengangkat tangan kanannya sejenak, kemudian kembali menatap Na Eun. “Aku yakin kau bisa mengambil keputusan dengan bijak. Jangan mau dikalahkan oleh hal yang bahkan tidak bisa merebut harapanmu. Kau hanya boleh menyerah apabila usahamu telah mencapai batas.”

Pemuda berwajah mature tersebut meninggalkan kursinya untuk menghampiri rekan yang dipanggilnya Seung Hyun itu. Na Eun turut berdiri dan membalikkan badan ke arah dua seniornya itu.

“Kau sama sekali tidak membantuku, sunbae.” Sungut Na Eun yang ditanggapi kekehan kecil dari Min Hwan. “Lho? Yang bisa membantu hanya dirimu sendiri dan Tuhan. Aku mungkin baru akan berguna bagimu jika kau benar-benar butuh. Sudah ya, aku harus menemui rekanku dulu. Annyeong.” Pamitnya dengan senyum jenaka.

Punggung kedua pemuda dari kelas yang sama itu segera menghilang di balik tembok. Meninggalkan Na Eun yang masih bersungut-sungut sendiri di ruangan tersebut.

***

Langit sore masih cerah, terang belum mau beranjak ke peraduannya di ufuk Barat. Siswa-siswi SOPA berhamburan keluar dari pintu utama menuju gerbang yang terbuka lebar. Yang selalu menyambut mereka kala pagi menyapa dan mengucapkan salam perpisahan saat waktu pulang tiba. Na Eun berada di antara siswa-siswi tersebut.

“Haish, ppabo-ya! Jika aku mengajukan pengunduran diri, itu sama saja artinya aku mengalah dari Tuan Ahn. Bukankah aku sudah membuat perjanjian? Bila mundur sebelum mencoba, akan memalukan sekali!” gerutu Na Eun yang baru saja mengklarifikasi masalah pengunduran dirinya. Ia tidak jadi keluar dari anggota, kesepakatan yang ia buat bersama mentor-nya bahkan belum terealisasi.

“Jika aku menyerah sekarang, Tuan Ahn akan berspekulasi bahwa aku tidak sanggup dan pengecut. Belum apa-apa sudah mundur, aiish!” Na Eun membelokkan sepasang kakinya menuju taman utama sekolah. Ia belum mau pulang, lagipula gerbang tidak akan dikunci karena masih ada siswa kelas tiga yang mendapat jam pelajaran tambahan.

Ia berhenti dan segera menyandarkan punggungnya ke batang pohon gingko berdaun kuning yang tumbuh kokoh di sana. Semilir angin memainkan helaian rambut panjangnya dan sesekali menjatuhkan daun gingko. Salah satunya jatuh di pangkuan Na Eun.

“Aku tidak boleh menyerah hanya karena perasaan konyol ini!” Na Eun menatap daun yang kini berada di telapak tangannya itu lalu hening untuk sesaat ketika terdengar desahan nafas dari balik pohon. Ia menajamkan pendengarannya, hingga senandung terlantun lirih dari sana.

Mwo naega hal jul aneun ge… byeollo manhjin anhjiman.. Manheun saramdeul ape.. yonggil naeboryeogo hae…

Ah… Suaranya bagus, pikir Na Eun yang tiba-tiba penasaran, siapakah pemilik suara tersebut. Maka perlahan ia bergeser dan memposisikan diri untuk memergoki seseorang tersebut.

“Chogi—, eh?!”

-T.B.C-

 

*) Aku baik-baik saja, bu. Jangan khawatir.

 

Eeaaa~ perasaan makin gaje ni FF?! Kesini-sininya kok tambah ribet? T.T huhuhu… *akibat nistain Minhyun /plak/*