Crying in The Rain
Fanfic by Asuka
Kim Nabi (OC) | Song Seunghyun ‘FT Island’ | Choi Minhwan & Choi Jonghun ‘FT Island’ (minor cast)
Angst | Romance | PG/T
Oneshot but very very looongshot! Maybe make u bored ._. gomen!
—
Hujan mendadak di tengah cuaca yang semula cerah. Rinai tipis itu menderas satu meter sebelum Nabi mencapai sebuah pondok tak terawat di tepi jalan untuk tempat berteduh. Seharusnya ia mendengarkan peringatan dari sang ibu melalui telepon tadi malam agar selalu menyertai payung ke mana pun ia pergi. Sekarang sudah masuk musim penghujan, sepertinya Busan dan sekitarnya akan diguyur air berhari-hari.
Nabi masih berdiri sambil sesekali menarik kakinya mundur agar tak terkena cipratan air hujan yang jatuh melalui pinggiran atap pondok tersebut. Ia mana berani masuk lebih dalam, sekedar bertahan di pelatarannya saja sudah membuat hati gadis duapuluh tiga tahun itu ketar-ketir, khawatir pondokan itu telah menjadi sarang apa saja yang menakutkan selain penjahat.
Lewat sepuluh menit sudah, dan hujan mulai menunjukkan tanda akan reda. Nabi menghembuskan nafas lega disertai syukur karena ia tak perlu berlama-lama di sana. Berkas kelengkapan kerjanya masih menunggu untuk segera dirapikan dan diserahkan ke instansi pendidikan paling lambat nanti sore. Ia tidak ingin dicap sebagai guru baru yang tidak disiplin bahkan sebelum hari pertamanya bekerja.
Ketika hujan hanya menyisakan rintik kecil, Nabi bersiap angkat kaki. Namun sebelum alas sepatunya menginjak aspal, sesuatu menahannya kemudian tubuh Nabi bergeser ke samping kiri pondok. Tadi kalau tidak salah dengar, ada suara seperti dinding yang ditinju lemah. Nabi juga mendengar isakan pelan dari sana.
Hilang sudah rasa takutnya yang tadi sehingga kini ia tanpa ragu sedikit pun mencoba mengintip. Begitu melongokkan kepala, Nabi melihat ada seseorang berjas hujan kuning transparan meringkuk rapat ke dinding pondok, sambil menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut yang menekuk ke atas. Nabi diam tak menegurnya, hanya mengamati orang itu sampai kemudian ia menebak bahwa seseorang di balik tudung jas hujan itu adalah siswa sekolah menengah dilihat dari celananya.
Nabi putuskan untuk tidak mengganggunya, ia menarik diri dan segera pergi walau dalam hatinya berdoa agar orang itu segera meninggalkan pondok sebelum orang lain memergokinya dan menyangka ia sebagai buronan. Lagipula jika ia sama seperti Nabi—numpang berteduh di tempat itu, sudah tak ada alasan lagi baginya berdiam di sana sebab hujan telah sepenuhnya reda.
—
Seunghyun menyeringai puas menyaksikan tumpukan sepeda di parkiran itu jatuh tumpang-tindih setelah tiga detik yang lalu kaki panjangnya dengan enteng melayangkan sebuah tendangan pada sepeda hijau di ujung sebelah sini, mengakibatkan sepeda yang lain turut oleng hingga ke ujung yang satunya lagi. Setelahnya remaja lelaki itu melenggang pergi.
“Ya Tuhan, sepedaku!” Salah seorang siswa menjerit ketika melihat kondisi sepedanya, disusul teriakan dari siswa lain yang bernasib sama. Mereka meratapi keadaan parkiran yang kacau balau akibat ulah Seunghyun. Sebagian berusaha merapikannya kembali, sementara sisanya menggeram marah dan berniat memperpanjang urusan.
“YA! Bengal! Ini semua perbuatanmu, kan?! Berhenti bertingkah seolah-olah kau tidak tahu-menahu!” Siswa berkulit agak gelap itu meneriakinya hingga Seunghyun berhenti untuk sekadar menoleh dan tersenyum sengit.
“Mana buktinya? Jangan menuduh sembarangan,” sangkalnya. Membuat siswa berkulit gelap itu mengatupkan mulutnya kuat-kuat sebelum kembali berseru marah. Ia sudah muak dengan segala keonaran yang Seunghyun perbuat.
“Hal seperti ini tak perlu bukti. Catatan hitammu sudah begitu banyak hingga memenuhi buku di ruang BP. Haruskah yang kali ini kulaporkan lagi? Sepertinya iya.” Siswa itu mendengus bersamaan dengan meledaknya tawa sumbang Seunghyun. Agaknya gertakan semacam itu sudah tidak mempan lagi baginya.
“Laporkan saja jika itu bisa membuatmu puas.”
Seunghyun berbalik sambil menyelipkan telapak tangannya ke dalam saku celana seragamnya, mengabaikan siswa yang sudah sangat marah itu. Menjadi biang kerok dan pembuat keonaran sudah biasa, Seunghyun bahkan berlangganan keluar-masuk ruang BP untuk diceramahi karena ulahnya. Sudah begitu banyak guru BP datang silih berganti, dan berujung pada surat pengunduran diri, mengaku angkat tangan dalam menangani masalah siswa bengal seperti Seunghyun ini.
Namun bagi remaja itu, tak ada kata menyerah untuk terus diingat para guru sebagai siswa paling bandel melalui kenakalannya. Tak boleh mundur sampai sang ayah memenuhi surat panggilan ke sekolah karena hanya dengan itu ia merasa diperhatikan. Hidupnya sudah sangat sepi sekarang, setidaknya predikat siswa begajulan bisa mengurangi rasa sunyi yang mencekik hari-harinya.
Seunghyun duduk di bangku paling belakang tanpa minat. Ia mengaitkan tali tasnya begitu saja di sandaran kursi lalu menopang dagunya pada telapak tangan, menghadap jendela kelasnya yang berada di lantai dua. Arak-arakan kumulonimbus sudah memayungi langit, sebentar lagi akan hujan. Dada Seunghyun mulai sesak, pikirannya semakin tak terkendali sehingga kehadiran seorang guru bahasa Inggris tepat di samping mejanya tak ia hiraukan sama sekali.
TUK!
Bersamaan dengan jatuhnya titik-titik air hujan, Seunghyun meringis ketika pelipisnya menjadi lahan pendaratan penghapus papan tulis. Pelakunya siapa lagi kalau bukan gurunya sendiri. Pria berkemeja biru muda itu masih menggenggam penghapus di tangan kanannya sambil tersenyum yang berarti menyiratkan banyak hal.
“Apa kau sedang melamun, murid Song?”
Seunghyun menggeleng. “Tidak. Saya hanya sedang memperhatikan hujan di luar sana.”
Guru itu terbahak, ia sudah menduga siswa ini sama sekali tak berminat pada pelajarannya. “Oh, jadi menurutmu lebih baik memperhatikan hujan daripada pelajaranku? Geurae-yo, sekarang kau bisa menikmati hujan sepuasnya di lorong. Silakan keluar dari kelas ini.”
Bisik-bisik mulai berdengung di seluruh penjuru kelas mendengar pengusiran terhadap Seunghyun. Mereka tidak aneh, apalagi remaja itu langsung menuruti perintah sang guru seolah sadar yang tadi itu benar-benar kesalahannya.
Grek.
Seunghyun membuka pintu kelas kemudian menggesernya kembali agar tertutup. Ia sukses berdiri sendirian di lorong dengan tangan terangkat ke atas sebagai hukuman. Ini tidaklah berat jika dibandingkan membersihkan toilet. Seunghyun hanya harus bertebal muka ketika guru atau siswa yang kebetulan melintas menatapnya rendah.
Ucapan gurunya tadi ada benarnya juga. Dari sini air hujan yang menerpa kaca jendela terlihat jelas, seakan hendak menjamahnya namun terhalang oleh lempengan bening padat yang tembus pandang.
Seunghyun tersenyum kecut, ia menganggap hujan adalah pencitraan dari tangisan ibunya yang telah tiada sejak tiga tahun lalu. Jika berpikir demikian, ia mungkin menyukai hujan, namun ketika bayangan tentang bagaimana usahanya berlari di bawah guyuran hujan mencari taksi demi membawa sang ibu yang tengah sakit keras kala itu ke bangunan medis terdekat dan berujung pada sebuah penyesalan, Seunghyun bisa saja tak pernah menghendaki setetes pun air hujan.
“Andai ayah ada di sisi ibu waktu itu, nyawanya mungkin masih tertolong. Andai saja ibu memberitahuku lebih cepat tentang penyakitnya—”
Lidah Seunghyun mengelu, tidak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya. Kini ia membenci ayahnya yang meski tahu tentang penyakit ibunya tetap saja pergi bekerja ke luar kota selama berminggu-minggu. Sekarang pun pria itu tak tampak menyesal dan masih setia pada pekerjaannya. Pekerjaan yang membuat Seunghyun harus tinggal sendirian di rumah hingga detik ini.
Kini kepalanya tertunduk dalam, berhenti menatap lurus-lurus pada terpaan air hujan pada kaca jendela. Sampai kemudian sepasang sepatu mengkilap berhenti di depannya. Seunghyun mendongak untuk melihat sang empu yang mendesah pelan.
“Pergilah segera ke ruang BP saat istirahat nanti.”
—
Nabi telah selesai mengatur meja kerjanya di ruangan yang bersebelahan dengan ruang kepala sekolah. Ia menatap puas meja kayu yang sekarang berlapiskan taplak hijau muda tanpa motif. Ia juga tersenyum senang karena tempat itu tak lagi semuram saat pertama ia masuk tadi. Memang sudah seharusnya ruang BP jauh dari kata menakutkan, ruang BP bukan penjara atau tempat hukuman mati yang menciutkan nyali siapa saja yang memasukinya.
Sudah jadi fakta umum jikalau ruang BP menjadi momok bagi sebagian besar siswa sekolah menengah. Namun kali ini Nabi ingin mematahkan pandangan tersebut dan menjadikan tempat ini senyaman mungkin.
“Kim Sonsaeng-nim, Anda akan menerima satu siswa sebentar lagi,” ujar seorang guru laki-laki yang sudah berdiri di ambang pintu sambil membetulkan letak kacamatanya. Nabi menoleh kemudian mengangguk, ia sudah siap menampung segala macam keluhan yang akan datang.
“Ne. Gamsahamnida, Lee Sonsaeng-nim.” Nabi membalas bungkukan dari guru senior itu sebelum mengeluarkan buku jurnal berukuran besar dari dalam laci meja. Kepala sekolah memberitahunya bahwa semua catatan siswa yang pernah dipanggil ke ruang BP tertulis di dalam buku itu. Ya, sekedar untuk tambahan informasi saja.
Baru saja Nabi akan duduk dan membuka buku jurnal itu, seorang siswa masuk ke sana dan melangkah dengan gontai. Tanpa canggung ia langsung menarik bangku di depan meja guru BP dan duduk seolah sudah menjadi rutinitasnya. Siswa itu tampak memijat bahu serta tangannya, seperti orang yang habis mengangkut karung beras berkilo-kilo.
“Kau klien pertamaku hari ini, haksaeng?”
Siswa itu mengangkat wajahnya, menatap Nabi yang tersenyum padanya.
“Anda guru BP yang baru?” Alih-alih menjawab pertanyaan Nabi, siswa itu justru mengajukan pertanyaan lain. Nabi masih tersenyum, sepertinya benar siswa ini sudah terbiasa masuk ke ruang BP. Buktinya ia menyadari bahwa sebelumnya guru di sini berbeda.
“Jika tidak, untuk apa aku berada di sini. Sudahlah, sekarang sebutkan namamu. Aku harus tahu namamu sebelum mendengar masalahmu.”
Siswa itu menatapnya lekat namun Nabi tak pernah gentar menghadapinya. Ia akan lebih mudah memahami keluh-kesah jika menatap mata lawan bicaranya.
“Song.. Seunghyun.”
“Namamu, Song Seunghyun. Hmm.. baiklah. Sejak kapan kau merasa bermasalah?”
—
Sendok pertama berisi sup rumput laut itu berhenti di depan mulut Nabi ketika seorang siswi mendatanginya di salah satu meja kantin sekolah. Wajah merah padam sehabis berlari milik siswi itu menyiratkan telah terjadi kekacauan. Tanpa basa-basi ia langsung melapor kepada Nabi.
“Sonsaeng-nim! Song.. Song Seunghyun, anak itu membuat onar lagi! Kali ini dia berkelahi dengan siswa kelas tiga dan melawan Huh Sonsaeng-nim!” telunjuk siswi berambut ikal kecoklatan itu mengacung ke pintu keluar kantin. Sudah seminggu Nabi bekerja di sana dan ia telah mendapat banyak kepercayaan dari para murid bahkan guru dalam menangani kasus murid bermasalah. Maka jangan heran ketika sekarang kehadirannya amat dibutuhkan.
Tak keberatan, Nabi meninggalkan mangkuk supnya yang bahkan belum terjamah setetes pun demi mendatangi lokasi keributan yang dimaksud. Keduanya sampai di sana bertepatan ketika tinju Seunghyun akan mendarat di wajah siswa yang terduduk di lantai kelas.
“BERHENTI!” Nabi berseru lantang. Semua siswa yang mengerumuni tempat itu menoleh, juga guru Huh yang tampak memijat tengkuknya.
Seunghyun menoleh dengan kepalan tinju yang masih mengacung di udara. Ia baru menurunkannya ketika Nabi mendekat dan bertanya ada masalah apa. Bukan Seunghyun yang menjawab, melainkan Huh Sonsaeng-nim. Guru bertubuh sedikit gemuk itu membeberkan kronologisnya. Ia menemukan kedua siswa beda kelas itu bersitegang di lorong beberapa saat yang lalu kemudian bermaksud melerainya, namun ia justru terkena imbasnya.
“Kalian berdua, minta maaf pada Huh Sonsaeng-nim,” suruh Nabi. Siswa kelas tiga itu lekas menurut, hanya Seunghyun yang masih bergeming.
Nabi menatapnya. “Apalagi yang kau tunggu? Lekas minta maaf!”
Seunghyun menyerah. Ia membungkuk dan mengucapkan kalimat maaf sehingga masalah mereka anggap selesai. Tapi tidak ketika Nabi memintanya berbaikan dengan siswa kelas tiga bernama Lee Jonghyun itu. Seunghyun menolaknya dengan keras.
“Aku tidak sudi berbaikan dengan orang bermulut tajam sepertinya!”
Tanpa menunggu Nabi memprotes, Seunghyun lebih dulu pergi meninggalkan kerumunan siswa yang mulai menipis. Nabi menatapnya tak percaya, sementara Lee Jonghyun hanya terkekeh ringan sembari merapikan kursinya yang terlanjur jungkir balik diobrak-abrik oleh Seunghyun tadi. Ada yang Nabi tak pahami di sini.
“Catat saja namanya di buku hitam BP dan laporkan ke kepala sekolah, Sonsaeng-nim,” ujar salah seorang siswi.
Yang lain menyahuti, “aku setuju. Dia benar-benar belum jera!”
Tidak. Nabi menolak usulan-usulan itu dalam hati. Ia yakin ada alasan mengapa Seunghyun demikian. Seminggu kemarin anak itu tidak berbuat onar, lalu kenapa hari ini seolah kambuh seperti penyakit? Pasti ada penyebabnya. Nabi bisa melihat luka dari sorot mata Seunghyun, bahkan di hari pertama mereka bertemu. Orang bilang mata adalah jendela hati, dan Seunghyun tak bisa berbohong dalam hal itu.
Ternyata seharian Seunghyun mangkir. Ia tidak kembali ke kelasnya sama sekali setelah bertikai dengan Lee Jonghyun tadi pagi. Meski bukan wali kelasnya, Nabi terlanjur tahu apa yang sudah terjadi dan itu membuatnya tidak bisa tinggal diam saja. Ia berusaha mencari info dari seorang siswa yang ujar rekan sekelas Seunghyun, adalah teman pemuda itu.
“Song Seunghyun? Kenapa Anda menanyakannya padaku?” Choi Minhwan merasa heran ketika Nabi menghadangnya sepulang sekolah hari ini. Terlebih pertanyaan yang wanita itu ajukan padanya.
“Maaf jika ini mengganggumu. Tapi, menurut siswa yang lain kau satu-satunya anak yang berasal dari sekolah menengah pertama yang sama dengan Seunghyun. Benarkah itu?”
“Itu.. memang benar. Tetapi, saya sama sekali tidak akrab dengannya! Ka-kami hanya kebetulan berasal dari sekolah yang sama!” Minhwan menjelaskan dengan cepat, seolah tidak ingin disangkutpautkan bersama Seunghyun.
Nabi tersenyum tipis, sedikit menemukan titik terang. “Mungkin kau tahu sedikit tentangnya.”
Kening Minhwan menyatu. Meski terlihat enggan remaja itu mengatakan sesuatu juga pada akhirnya. Ia memberi keterangan bahwa ibu Seunghyun meninggal sewaktu remaja itu di kelas tiga dan sikapnya semakin memburuk sejak saat itu.
“Ayahnya?”
“Tidak banyak yang tahu. Ayah Seunghyun jarang sekali datang ke pertemuan wali murid waktu itu.”
Nabi terdiam sesaat sebelum mempersilakan Minhwan untuk pulang. Tak lupa ia ucapkan terima kasih pula atas kesediaan remaja itu meluangkan sedikit waktu. Sekarang Nabi tahu, yang Seunghyun perlukan bukan hukuman atau teguran keras. Melainkan perhatian.
Entah bagaimana Nabi yakin Seunghyun hanya kesepian sehingga melampiaskan segalanya dengan cara mengganggu orang lain di sekelilingnya. Sama sepertinya, yang juga telah kehilangan ayah sedari kecil. Bedanya, sekarang Nabi telah memiliki pengganti berupa ayah baru.
Sejak kematian ayahnya, Nabi kecil yang ketika itu berusia delapan tahun menjadi penyendiri dan cenderung arogan. Nabi kecil seringkali meluapkan amarahnya pada hewan peliharaan sang ibu. Namun semua membaik berkat kedatangan ayah baru yang berprofesi sebagai dokter hewan sehingga kini Nabi dikenal amat mengasihi binatang yang dulu sempat sangat ia benci.
“Haah… Kenapa aku yang repot mengurusinya?” Nabi mendesah pendek sebelum membetulkan tali tas di bahunya. Ia bersiap untuk pulang. Tetapi lagi-lagi di tengah jalan hujan turun tiba-tiba, sedang dirinya sama sekali tak mempersiapkan payung atau jas hujan. Sepasang kakinya terpaksa berlari ke sebuah minimarket terdekat untuk berteduh atau mungkin membeli payung yang dijual di sana.
“Ramalan cuaca tadi pagi ternyata benar.” Si penjaga kasir berbicara sambil memandang ke luar jendela. Nabi hanya tersenyum mengiyakan sembari menyerahkan uang harga payungnya kemudian cepat-cepat berlalu. Ia tak perlu khawatir lagi menerobos hujan yang tak disertai gemuruh petir ini.
Baru sekitar lima langkah Nabi meninggalkan minimarket tadi, netranya tertarik pada lapangan bola kosong di seberang jalan. Tidak kosong sama sekali sih, selain hanya tiang gawang dan seseorang tampak duduk di atas rumput hijaunya yang kuyup bahkan digenangi air. Ia seperti mengenali jas hujan kuning transparan itu.
—
Seunghyun tak menghiraukan partikel-partikel dingin air hujan menerobos melalui tudung jas hujannya hingga membuat sebagian wajahnya mulai basah, tempias. Ia juga mengabaikan celananya yang sudah lembab, rerumputan telah memindahkan sebagian tetesan hujan ke kain abu-abunya. Ia hanya ingin menangis sepuasnya, yang mana ketika cuaca sedang normal tak mungkin bisa menyembunyikan segala isakannya.
Seunghyun mengulangi tindakan yang lambat laun menjadi kebiasaannya. Beberapa waktu lalu juga ia sempat membenamkan diri dalam hujan di sebuah pondok yang nyaris rubuh hanya untuk meluapkan kesedihannya meski di sisi lain ia juga membenci hujan yang akan mengingatkannya pada hari kematian sang ibu.
Ia meninggalkan sekolah tadi pagi setelah Lee Jonghyun mengatakan sesuatu yang menyakiti hatinya. Senior itu menerima pukulannya karena dengan sembarangan menyebut ibunya mengidap penyakit memalukan sampai berujung pada kematian. Seunghyun tahu ibunya menderita kanker paru-paru yang amat parah, bukan seperti yang orang-orang tuduhkan. Itulah bukti kuat yang meyakinkannya bahwa tiada seorang pun memiliki perhatian terhadap hidupnya, bahkan ayahnya sendiri.
Seunghyun juga muak dengan Kim Nabi, guru BP baru di sekolahnya yang berlagak mengetahui tentangnya itu. Guru tersebut pun pasti sama seperti yang lain, tidak sungguh-sungguh peduli padanya. Yang mereka tahu hanya menghakiminya dan tidak berusaha untuk memahami perasaannya.
“Apa seperti ini dirimu yang sebenarnya, haksaeng?”
Seunghyun menyadari tetesan air hujan itu telah berkurang, sesuatu mencegah jas hujannya dirembesi air dari langit tersebut. Ia mendongak ketika mendengar pertanyaan yang begitu dekat di telinganya. Orang itu ada di sini. Sekarang. Sedang memayunginya dengan payung transparan.
“Untuk apa Anda ada di sini?”
“Seharusnya itu jadi pertanyaanku. Memangnya kau tidak malu pada hujan? Bersembunyi di baliknya, menggunakan topeng hujan agar menutupi kecengenganmu?”
“Anda datang hanya untuk menceramahiku? Apa Anda kesal karena saya menolak perintah Anda tadi pagi?” Seunghyun balik bertanya masih dalam posisi yang sama. Menatap Nabi yang berdiri tenang di sampingnya.
“Ya aku kesal karena kau benar-benar tidak sopan. Ternyata kau juga cengeng, lemah tapi berpura-pura kuat. Kau mengabaikan dirimu dan hanya mengikuti kemarahanmu. Sampai kapan pun jika kau terus seperti itu, tak ada yang dapat terselesaikan.”
Seunghyun geram mendengar penuturan Nabi yang panjang lebar, ia tak percaya wanita itu mulai mampu membaca pribadinya yang selama ini sengaja ia kaburkan. Terlebih lagi Nabi sudah memergokinya menangis sendiri di tengah hujan. Sebuah sisi lain yang selalu ia sembunyikan. Seunghyun bangkit menghadap Nabi sehingga pinggiran payung nyaris menusuk matanya yang sedikit terhalang oleh tudung jas hujan.
“Untuk apa Anda memperdulikan saya? Saya tidak perlu saran dari Anda!”
Nabi tampak tak gentar sedikit pun meski Seunghyun setengah membentaknya. Dengan tenang ia menatap pemuda yang lebih tinggi beberapa senti darinya tersebut, memastikan bayangan luka itu masih tergenang di matanya.
“Kau boleh tak suka padaku, tapi jangan pernah membenci dirimu sendiri atau menyesal atas apa yang telah terjadi. Berhenti lari dari masalah, hadapilah. Maka semuanya akan selesai.”
“Saya sama sekali tak mengerti ucapan Anda!” raung Seunghyun sebelum berbalik pergi. Jika guru perempuan itu enggan beranjak, maka pilihan terakhir dia sendiri yang harus menyingkir. Namun sebelum Seunghyun berhasil lari meninggalkan lapangan, suara Nabi sampai ke gendang telinganya dan otomatis memaku kakinya seketika.
“Kehilangan ibu sama beratnya seperti kehilangan ayah! Aku tahu kesedihan yang kau rasakan, haksaeng!” ucapan Nabi mendapat respon kecil dari Seunghyun. Pemuda itu menolehkah wajahnya ke samping, meski tidak sepenuhnya. Ia terkejut karena Nabi sudah mengetahui sejauh itu.
“Tapi kau harus bangun dari kubangan luka tersebut, keluar dan meninggalkan itu di belakangmu. Apa yang ada di depanmu sekarang jauh lebih berharga dan semua itu bukan untuk disia-siakan!” Nabi mengeraskan suaranya menyela rintik hujan yang agak mereda. Seunghyun masih terdiam sebelum akhirnya memutuskan untuk benar-benar pergi dari sana. Seolah mengabaikan seluruh perkataan Nabi.
“Camkan itu, haksaeng! Kau dengar?!”
Kalimat Nabi terputus sampai di situ. Ia tak kuasa menahan Seunghyun lebih lama lagi agar mendengarkan kalimatnya. Nabi tak berniat memaksa murid bengal itu untuk menurutinya, ia hanya ingin Seunghyun memikirkan ucapannya.
“Gagal menolongmu sama rasanya seperti gagal membawa diriku sendiri bangkit, haksaeng…”
—
Nabi yang hari minggu pagi itu baru akan berangkat ke pasar Jagalchi terusik juga mendengar ribut-ribut omelan tetangga. Dua-tiga ibu-ibu yang tampaknya hendak membuang sampah mereka mendadak gusar sambil menyerocos.
“Orang tidak tahu aturan mana yang sembarangan menggambar di tembok tidak karuan begini? Menyakiti mata saja!” ujar wanita bertubuh pendek mengomentari sesuatu. Nabi semakin dekat dengan keberadaan mereka saat yang lain menimpali.
“Mungkin dia tidak punya buku gambar atau media lain kecuali tembok gedung apartemen kita. Haish, anak muda zaman sekarang semakin kehilangan akal sehat saja.”
Ibu-ibu tadi segera berlalu setelah sempat bersitatap dan menyapa Nabi sekenanya. Giliran Nabi yang tercengang melihat kondisi tembok yang dipenuhi lukisan mural—sesuatu yang diributkan sejak tadi. Ada seseorang yang telah membuat gambar-gambar itu di sana.
“Apa-apaan? Tidakkah dia tahu ini termasuk merusak prasarana publik? Berani sekali..” Nabi bergumam sembari merapatkan diri ke tembok. Memerhatikan mural yang jika dilihat dalam jarak dekat tampak abstrak sekali, namun andai kata seseorang memandanginya dari kejauhan maka bentuknya seperti siluet manusia yang sedang menangis.
Nabi menutup lubang hidungnya dengan jari telunjuk, bau cat semprot lukisan mural itu masih tercium. Kesimpulannya lukisan itu belum lama dibuat. Nabi bermaksud mengabaikannya dan kembali ke tujuan semula—yaitu ke pasar. Namun ia sempat melihat tulisan kecil di bawah lukisan, tercetak sebagai Bi yang berarti Hujan. Nabi membacanya sambil lalu kemudian mengendikkan bahu tanda tak mengerti.
Ketika ia telah angkat kaki dari sana, seseorang bertopi lusuh tampak menyembunyikan diri di tembok seberang sambil mengamati lukisan mural. Orang itu tadinya hendak mengusir ibu-ibu yang menenteng sampah karena menghina karyanya, namun semuanya urung ketika Nabi bergabung. Pada akhirnya ia justru terkejut karena Nabi ternyata tinggal di daerah tersebut dan memutuskan untuk melihat reaksi wanita itu yang nyatanya tidak berbeda jauh dari ibu-ibu tadi. Sama-sama tidak peduli dan menganggap lukisan muralnya coretan belaka tanpa makna.
—
“Kau tidak ingin mengutarakan apa masalahmu, haksaeng?” Nabi melipat kedua tangannya di depan perut demi menanti keluh-kesah dari dua orang siswi yang duduk bersamanya di ruang BP. Salah satu dari murid kelas kelas dua itu hanya nyengir sebentar kemudian kembali mengutak-atik ponsel. Kawannya yang di samping sedikit menghargai Nabi, maka ia bersedia menjelaskan sesuatu.
“Anu, Sonsaeng-nim.. Sebenarnya kami tidak punya masalah apa-apa. Kami ke mari hanya untuk menenangkan diri sejenak, angka-angka Matematika Ju Sonsaeng-nim menyakitkan kepala.”
Nabi menggeleng pelan mendengar pengakuan jujur siswi tersebut. Anak muda, masalah mereka memang selalu itu-itu saja. Mata pelajaran yang tak disukai kemudian memilih kabur dan berujung pada situasi yang lebih buruk—ketinggalan pelajaran.
“Kalian tahu, itu merugikan diri sendiri. Ayah ibumu membayar untuk sekolah ini, jadi kenapa kalian justru mangkir di jam pelajaran? Sudah, sana kembali ke kelas,” suruh Nabi tegas namun tidak terkesan keras. Sayangnya dua remaja itu memohon untuk diberi waktu lima menit lagi berada di sana, setelah itu mereka akan segera masuk kelas.
“Baiklah. Hanya lima menit, tidak lebih!” Nabi sepakat. Ia mulai membuka sebuah buku Psikologi Pendidikan yang tergeletak di meja dan membacanya ketika dua siswi itu kasak-kusuk berebut mengomentari sesuatu.
“Jangan berisik atau keluar sekarang juga.” Nabi mengetuk meja, mengingatkan keduanya. Remaja itu kini saling berbisik satu sama lain sambil masih memelototi layar telepon pintarnya.
”Psst! Dari mana kau dapatkan gambar itu?”
“Kemarin sepulang sekolah salah seorang siswa menggambarnya di kelas kita. Aku tak sengaja melihatnya kemudian mengambil foto. Bagus ‘kan?”
“Iya! Tapi, siapa yang menggambarnya? Itukan dari kapur!”
“Psstt! Jangan keras-keras nanti Kim Sonsaeng-nim mengusir kita!”
Nabi tidak bisa berkonsentrasi penuh pada bacaannya ketika dua siswi itu tak hentinya berbicara meski hanya antar keduanya. Berada di ruangan yang sama apalagi berjarak cukup dekat membuat gendang timpani Nabi masih bisa menangkap resonansi suara tersebut. Ia menutup bukunya dan menanyai kedua siswi tersebut.
“Kami hanya sedang mengagumi sebuah gambar, Sonsaeng-nim. Unik sekali karena tekniknya mirip lukisan mural, perbedaannya yang ini menggunakan kapur berwarna bukan cat semprot,” jelas salah satu.
“Memang sebagus apa? Bolehkah aku melihatnya?” Nabi teringat pada lukisan mural di tembok apartemen tempo hari. Ia menerima ponsel dari tangan siswi itu dan disuguhi potret papan tulis yang penuh kapur berwarna membentuk sebuah lukisan. Pemandangan hujan di atas rerumputan hijau dan bunga matahari. Lebih sederhana dibanding lukisan mural di tembok waktu itu.
Yang menarik adalah, lagi-lagi Nabi menemukan coretan hangul Bi di sudut kanan bawah papan tulis. Seolah itu adalah inisial atau penanda dari sang pelukis. Namun yang kali ini Nabi berasumsi kenapa Bi tertera di sana adalah untuk menjelaskan hujan dalam lukisan.
“Belum ada seorang siswa pun di sini yang pandai membuat gambar seperti itu.” Siswi pemilik ponsel menerima kembali benda selularnya kemudian berucap, “sudah lima menit, Sonsaeng-nim. Kami akan kembali ke kelas, annyeong!”
Keduanya beranjak menuju pintu ketika Nabi meminta mereka untuk berhenti sebentar. Ia masih penasaran pada si pelukis mural tersebut dan bertanya apakah siswi itu mengetahui siapa orangnya.
“Ah ya, aku yakin benar melihat siswa bengal itu keluar dari kelas seusai menghabiskan sekotak kapur warna. Song Seunghyun yang membuatnya, Sonsaeng-nim.”
Mata Nabi membeliak singkat. “Song.. Seunghyun katamu?”
—
Sejak Nabi tahu pembuat mural dan lukisan kapur itu adalah Seunghyun, siswa penyendiri itu justru kerap tak menampakkan diri lagi di sekolah. Dalam satu minggu, ia absen selama empat hari. Semakin mengkhawatirkan. Nabi juga kesulitan menemukannya di rumah. Menurut para tetangganya, anak itu tinggal sendiri di sana sementara ayahnya jarang sekali pulang menjenguknya.
“Belakangan dia juga jadi jarang pulang, Sonsaeng-nim. Itulah mengapa perilaku orangtua sangat mempengaruhi psikologis seorang anak, bukan begitu Sonsaeng-nim?”
Nabi hanya mengiyakan ucapan seorang bapak-bapak yang tinggal di sebelah rumah Seunghyun. Ia putuskan untuk pulang hari ini. Mungkin besok di sekolah siswa itu akan muncul, harapnya.
Malam itu, Nabi berhenti sejenak memikirkan Seunghyun karena masih banyak berkas laporan yang harus ia selesaikan. Belum lagi catatan-catatan hitam dari siswa lain yang berulah seminggu belakangan, menambah deretan pekerjaannya. Ia mensortir siswa-siswa yang harus dipanggil dan mana yang masih bisa dipending. Ada kalanya, tidak semua masalah itu harus didahulukan.
Selama tiga jam penuh Nabi berkutat di meja kecilnya hingga kedua matanya perih harus memelototi kertas putih berisi tulisan tak beraturan. Pukul sepuluh malam ia berhenti dan hendak pergi tidur saat ponselnya menggemakan nada dering. Nabi menjawabnya.
“Halo..”
“Halo? Dengan siapa saya bicara? Apa Anda mengenal…” Ada jeda beberapa sekon sebelum, “…Song Seunghyun? Anak lelaki berseragam SMA ini mabuk berat di kiosku. Maukah Anda datang ke mari untuk mengurusnya?”
Kantuk serta kelelahan Nabi seketika sirna. Seunghyun muncul dengan sendirinya. Tanpa pikir panjang ia menyetujui dan bertanya di mana lokasi kios tersebut. Setelahnya perempuan itu menyambar jaket dan dompetnya, bergegas keluar lalu mengunci pintu. Tidak sulit menemukan kios itu, bibi penjual yang tadi menelepon ponselnya tampak menunggu di samping tempatnya.
“Sepertinya dia benar-benar mabuk sampai tidak bangun-bangun. Karena bingung aku mencoba mencari kartu identitasnya dan menemukan sebuah ponsel. Ketika kutekan tombol cepat nomor satu, yang muncul adalah nomormu, Nona,” bibi penjual itu menjelaskan dengan tatapan yang bagi Nabi sangat tidak nyaman. Seolah ia menyangka Nabi adalah ibu atau pacar dari anak mabuk di kiosnya tersebut. Daripada itu, Nabi bertanya-tanya mengapa Seunghyun menaruh nomornya di panggilan cepat nomor satu? Bukankah seharusnya itu diperuntukkan bagi ayah atau saudara terdekatnya?
“Dia juga belum bayar semua minuman dan kue berasnya, Nona.” Bibi penjual itu menyodorkan bon. Nabi tersadar lalu mengambil sejumlah uang dari dompetnya. Bibi penjual kembali ke tempatnya sementara Nabi berusaha membangunkan Seunghyun yang masih menelungkupkan badan ke atas meja plastik.
“Ya, haksaeng! Kau tidak mau bangun?” Nabi bahkan mengguncang pundaknya hingga kepalanya yang lunglai ikut bergoyang seolah mau jatuh. Namun itu tidak cukup untuk membuatnya bangun. Nabi menyerah, akhirnya mau tidak mau ia mengangkut tubuh si anak bengal pembuat mural itu meninggalkan kios walau kesulitan. Nabi berusaha agar tidak sempoyongan saat mengaitkan lengan Seunghyun di pundaknya dan sekuat tenaga melangkah. Ia tidak perlu taksi karena kediaman Seunghyun cukup dekat dari sana.
Mulanya Nabi khawatir rumah anak itu terkunci seperti tadi pagi, namun ternyata perkiraannya meleset jauh. Sekarang daun pintu tersebut terbuka lebar hanya dengan satu tendangan kecil. Tanpa buang waktu, Nabi menggotong Seunghyun dan segera merebahkannya di lantai ruang tamu. Tidak ada sofa atau pun meja di sana. Hanya karpet lusuh sebagai alasnya.
Nabi ikut terduduk karena capek. Bukan perkara gampang menyeret tubuh sejangkung Seunghyun sampai rumahnya. Pemuda itu belum bangun juga, Nabi beralih dari seraut wajah yang memerah itu demi melihat sekelilingnya. Tak satu pun figura foto, dindingnya hanya dilapisi kertas dinding berwarna pastel. Tampaknya Seunghyun benar-benar ingin sendiri.
Tiba-tiba pemuda itu bangkit dan berlari ke belakang yang Nabi asumsikan adalah kamar mandi. Kemudian terdengar suara orang muntah, sudah pasti itu Seunghyun. Nabi menggelengkan kepala, anak itu bahkan tidak mengganti seragamnya. Begitu ia hendak pergi, merasa Seunghyun sudah aman di rumahnya, suara serak siswa bermarga Song itu menghentikannya.
“Kajima..” Nabi berbalik dan mendapati Seunghyun berpegangan di dinding, tangan yang lain memegangi kepalanya. Di bahunya tersampir jas sekolah yang tampak kotor terciprat muntah. Dengan sedikit terhuyung-huyung Seunghyun mendekat ke tempat Nabi.
“Jangan pergi seperti orang tidak bertanggung jawab begitu…” ujarnya membuat sang guru mengernyitkan kening. Seunghyun maju selangkah lagi sebelum tubuhnya limbung dan nyaris terjatuh lagi andai saja Nabi tidak segera melompat ke depan untuk menahannya. Kini kepala pemuda itu menumpang di pundak Nabi, bau alkohol tercium sangat kuat darinya hingga Nabi harus menutup hidung.
“Kau mabuk, haksaeng. Sebaiknya kau beristirahat selagi aku menyeduh minuman hangat apa saja untukmu. Ada bahan apa saja di dapurmu?”
Jawabannya hanya gelengan. Entah bermakna ia memang tidak tahu ada apa di dapurnya, atau gelengan menolak untuk beristirahat. Seunghyun menjauh dan berputar, berlagak kuat sebelum ia benar-benar jatuh ke belakang dan Nabi yang tidak siap tertarik begitu saja saat berusaha menangkapnya. Keduanya jatuh tumpang-tindih dengan Seunghyun berada di bawah. Nabi menahan napas ketika menyadari ia tepat di atas tubuh murid lelakinya yang sama sekali tak membuka mata.
Seunghyun mengeluh kecil karena beban Nabi yang menimpanya. Sementara perempuan itu masih berkedip menatap wajah Seunghyun yang berada tepat di depannya. Dadanya bergemuruh ketika sesaat ia berpikir kalau siswa bengal itu tampak tampan dan seolah ada yang menariknya dari belakang, Nabi berdiri secepat kilat lalu menjaga jarak. Jantungnya aneh, tiba-tiba berdetak sangat kencang.
Nabi putuskan untuk membiarkan Seunghyun berbaring di lantai dan ia berlari menuju dapur. Memasak bubur atau sup dan teh atau apa pun agar ketika Seunghyun terbangun nanti, ada sesuatu yang bisa ia makan. Muntah pasti membuat perutnya kosong. Nabi menyelesaikannya dengan cekatan dan ketika melintas di ruang tamu, ia mengambilkan selembar selimut dari sebuah ruangan yang ia asumsikan kamar tidur pemuda itu lalu membentangkannya ke tubuh Seunghyun.
Malam sudah terlalu larut, Nabi bergegas untuk pulang dan menutup kembali pintu rumah itu dengan hati-hati.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi mengecek ke rumah Seunghyun sebelum berangkat ke sekolah. Tadi malam tidurnya kurang nyenyak karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi—seperti kerampokan misalnya. Namun begitu sampai di sana, daun pintu rumah tersebut kembali tertutup rapat. Apakah Seunghyun kabur lagi atau—
“Anda mencemaskanku, Sonsaeng-nim?”
Nabi terkejut setengah mati dan berpaling. Seunghyun menakutinya dengan berkata tiba-tiba. Pemuda itu tampak sudah rapi dengan seragam sekolah tetapi tanpa jas karena Nabi tahu jas itu pasti bau sekali.
“Kau sudah bangun? Maaf aku pergi tanpa mengunci pintumu tadi malam.”
“Seharusnya Anda tidak pergi jika merasa menyesal.” Seunghyun mengeluarkan kedua tangannya yang tadi terbenam dalam kantong celana. Mendekat ke arah Nabi yang otomatis mundur selangkah. Kejadian tadi malam berkelebat di kepalanya. “Anda datang pagi buta hanya untuk menyuruhku ke sekolah, kan?”
Nabi tidak sadar kalau dirinya mengangguk saat ini. Hal itu memicu sebuah senyum yang selama ini tak pernah ia lihat dari seorang Song Seunghyun. Pemuda itu berhenti tiga langkah di depannya kemudian berbalik, memperlihatkan punggung.
“Saya akan dengan senang hati sekolah lagi karena Anda yang meminta, Sonsaeng-nim.”
Entah telinga Nabi yang bermasalah atau Seunghyun masih mabuk, nada suaranya terdengar lembut dan nyaman. Bahkan pemuda itu menyuruh Nabi mendorong pundaknya seperti sedang memaksa anak kecil yang malas berangkat sekolah. Nabi tidak keberatan selama itu mampu membuat Seunghyun berhenti mangkir.
“Gomawo-yo, Sonsaeng-nim. Masakan Anda enak sekali.”
Nabi hanya tersenyum di belakang Seunghyun mendengar pujian tersebut. Ia masih mendorong pundak pemuda itu agar jalan lebih cepat, tidak seperti motor kehabisan bahan bakar.
—
Sejak hari itu, Seunghyun mengubah perilakunya 180 derajat. Dari yang sering mangkir jadi rajin masuk, yang biasanya membantah guru kini paling pertama mengangkat tangan ketika menjawab soal, dan julukan siswa bengal resmi dicabut dari namanya. Banyak guru-guru merasa bersyukur dan memuji kepiawaian Kim Nabi sebagai guru BP karena berhasil menyelamatkan murid itu dari jurang keterpurukan.
“Itu berkat kemauan dari dirinya sendiri, saya hanya membantu mengarahkan.” Selalu begitu jawaban Nabi ketika disinggung mengenai jasanya menjinakkan anjing kampung yang kini naik level menjadi kelinci pandai.
Yang dulu mengukuhkan diri sebagai musuh bebuyutan Seunghyun berbalik menjadi teman baiknya. Choi Minhwan juga tidak segan lagi akrab dengannya karena mereka seharusnya sudah seperti itu sejak SMP. Seunghyun mulai melupakan sakit hatinya tentang sang ayah begitu ia tergabung dalam ekskul kesenian dan kelompok pelukis mural. Ia bisa berbagi pengetahuan serta pengalaman baru.
Ternyata dengan bertemu banyak orang membuat kesedihan itu perlahan menjauh dari kehidupannya. Nabi juga senang karena itu berarti ia bisa fokus pada masalah dan pekerjaan lain yang sudah menunggu.
Seperti biasa, Seunghyun berkumpul bersama teman-teman ekskulnya di taman sekolah untuk sekadar bertukar ide atau cat semprot merek terbaru. Para gadis-gadis juga suka mendengar diskusi mereka sekalian mengagumi paras Seunghyun yang belakangan mereka sadari ternyata lumayan tampan.
“Hei, lihat! Kim Sonsaeng-nim diantar pakai mobil!” seru salah seorang siswa sambil menunjuk ke pagar sekolah di mana sebuah mobil mewah berhenti dan dari dalamnya keluarlah Nabi. Yang lain ikut penasaran, termasuk Seunghyun. Jantungnya tak terkendali begitu menyaksikan guru perempuan itu berbincang dengan seorang pria pemilik mobil. Darahnya tiba-tiba menggelegak layaknya air yang mendidih.
“Mana? Wah, cowoknya tampan sekali!” jerit seorang siswi dengan wajah terkagum-kagum, membuat dada Seunghyun benar-benar nyeri sekarang. Apalagi tawa di wajah gurunya itu teruntuk si pria dan tampaknya mereka lebih dari akrab. Tanpa seorang pun tahu, kedua tangan Seunghyun mengepal kuat.
“Jangan-jangan pria itu tunangan Kim Sonsaeng-nim lagi? Kalau tidak salah, kemarin aku lihat mereka di toko perhiasan sedang memilih cincin,” imbuh seorang siswa yang berdiri persis di samping Seunghyun. Selorohan para siswi makin ramai saja sementara hati Seunghyun sudah kebas, seperti dilindas buldozer hingga remuk. Tanpa merasa perlu melihat kejadian selanjutnya, pemuda itu pergi begitu saja dan membuat teman-temannya bertanya.
Hingga pulang sekolah ia masih memikirkan perihal siapa pria yang tadi mengantar Nabi ke sekolah. Haruskah mereka mengumbar kebahagiaan di depan matanya? Tidakkah Nabi tahu jika sebenarnya Seunghyun menyimpan sebuah perasaan yang lain untuknya? Sejak malam perempuan itu mengantarnya pulang dan memasak makanan untuknya, Seunghyun kembali percaya ia memiliki seseorang yang peduli terhadapnya.
Ia bertekad berubah dan mati-matian memperbaiki diri semata-mata karena gurunya tersebut, Kim Nabi. Seunghyun tidak ingin lagi kehilangan orang yang ia sayangi kesekian kalinya. Tidak sekarang.
Seunghyun masuk begitu saja ke dalam rumah dan kaget melihat ada seorang perempuan duduk di ruang tamu. Perempuan itu tersenyum padanya dan menyapa dengan lembut, kemudian ayahnya keluar dari dalam kamar dan mengajak Seunghyun untuk duduk bersama.
“Seunghyun-ah, perkenalkan. Dia Shin Hyein, calon ibu barumu.”
Seunghyun berkedip menatap ayahnya. Lupa caranya memberi hormat atau salam kepada perempuan itu. Ia belum percaya sang ayah berkata demikian di saat yang tidak tepat. Bagaimana bisa ayah membujuknya melupakan sang ibu dengan membawa calon istri ke rumah mereka?
Tanpa peringatan Seunghyun berdiri dengan gusar dan wajahnya segera memerah karena emosi. Ayahnya kaget melihat reaksi sang anak. “Jadi ini maksud ayah pulang dan menginap selama seminggu di sini? Berpura-pura baik agar mendapat restuku demi menikahi wanita ini, iya? Ayah tahu, cara murahan seperti itu tidak akan berhasil padaku!”
Perempuan itu terlihat serba-salah, ia menenangkan calon suaminya yang mulai meradang. Niat baiknya disambut buruk oleh putranya sendiri. Sepasang ayah dan anak itu bersitegang satu sama lain di rumah mereka.
“Song Seunghyun, bisakah kau berhenti egois? Apa kau tahu seberapa menderitanya aku setelah kematian ibumu? Kehilangan seseorang itu tidaklah mudah—”
“Apa hanya aku yang egois? Ayah, kau juga egois!” balas Seunghyun tak kalah keras. Urat di lehernya bertonjolan. “Aku nyaris mati kesepian di sini, seorang diri di rumah yang penuh kenangan tentang ibu! Sementara ayah seperti orang gila di luar sana mengumpulkan uang untuk akhirnya menikah lagi! Buang saja aku kalau begitu!”
Perempuan bernama Shin Hyein itu membekap mulutnya, tidak tega melihat Seunghyun memukul-mukul dadanya sendiri seperti orang kesakitan. Sepasang mata anak muda itu berkilat karena air mata. Namun sebelum Hyein sempat menyaksikan bulir air mata itu jatuh, Seunghyun sudah berbalik dengan cepat dan berlari keluar. Meninggalkan mereka.
“Kau salah paham Seunghyun! Ayah bekerja demi pendidikan dan masa depanmu! Dengar—”
Seunghyun terus berlari menjauhi rumahnya, mengabaikan teriakan sang ayah yang tertinggal di belakang sana. Ia hanya ingin menghindar, sejauh mungkin. Lebih baik pergi daripada harus mengizinkan ayahnya menikah lagi setelah penderitaan yang dilalui ibunya semasa hidup. Seunghyun belum merelakannya.
Hujan yang tiba-tiba tercurah menghentikan langkahnya, secara kebetulan di lapangan bola yang beberapa waktu belakangan sudah tidak pernah menjadi persinggahannya lagi. Langit seolah mengerti perasaannya, menjatuhkan airnya pada saat yang tepat. Seunghyun meringkuk di sebelah tiang gawang, menangis sepuas hatinya.
Entah kenapa hari ini masalah datang bertubi-tubi. Mulai dari Nabi yang datang bersama seorang pria, sampai berita rencana pernikahan sang ayah, semuanya menghantam Seunghyun tepat di titik terlemah. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menangis saat hujan turun, seperti kebiasaannya selama ini.
—
Seunghyun membaca dua buah nama di kertas undangan pernikahan di tangannya, menimbang apakah ia harus menghadirinya atau tidak. Yang menikah itu kakak salah seorang teman ekskulnya semasa SMA, tapi ia mendapatkan undangan kehormatan juga. Tidak patut rasanya kalau tak meluangkan waktu untuk datang. Lagipula, ia juga tidak sedang ada jadwal kuliah pada hari tersebut. Hitung-hitung reuni dengan teman SMA.
Sekarang Seunghyun sudah kuliah semester empat, di salah satu universitas Busan. Ia lulus dari bangku sekolah dua tahun yang lalu tetapi rasanya seperti baru kemarin. Seunghyun tak percaya ia bisa melewati hari-hari ujian yang berat setelah kepergian mendadak Kim Nabi. Gurunya itu berhenti secara tiba-tiba dan tidak bekerja lagi di sekolahnya seminggu sejak terlihat diantar seorang pria bermobil mahal. Seunghyun tak pernah tahu alasan kepergiannya hingga sekarang.
Hubungannya dengan sang ayah membaik karena Seunghyun sadar sikapnya tidak akan memberi kebahagiaan baik baginya maupun sang ayah. Ia belajar menerima keputusan ayahnya untuk menikahi Shin Hyein meski sehari setelah resepsi ia kembali menangis seperti anak kecil. Dan saat itulah Hyein menunjukkan kasih sayangnya sebagai seorang ibu, dengan tidak membiarkan Seunghyun terpuruk seorang diri. Hyein hadir menghibur dan meluluhkan hatinya.
Dan tentang perasaannya untuk Nabi, Seunghyun tidak tahu sampai kapan harus memendamnya. Mereka tak pernah bertemu lagi dan nomor ponsel guru tersebut yang ia dapatkan dari kertas konsultasi di ruang BP tidak pernah tersambung. Mungkin Nabi sengaja mengganti nomor ponselnya agar Seunghyun tidak menyusahkan hidupnya lagi.
Diambilnya ponsel untuk mendial Minhwan, mengajak pemuda itu untuk pergi ke pernikahan sepupu teman mereka besok lusa. Seunghyun tidak suka kalau harus datang seorang diri. Tetapi ketika pergi ke acara, Seunghyun menyesal mengajak Minhwan. Pemuda itu ingkar janji dengan tidak mengenakan semi-blazer seperti dirinya, malah memakai jaket yang lebih kasual. Minhwan hanya tertawa ketika ia mengeluh saltum.
“Maaf, maaf. Aku berubah pikiran dalam waktu semalam.”
Seunghyun hanya mencibir mendengar alasannya. Mereka tiba di gedung pernikahan dan disambut oleh seseorang yang masih melekat di ingatan Seunghyun. Mempelai pria yang menyambut tamu adalah lelaki yang hari itu mengantarkan Nabi ke sekolah. Jadi ini pernikahannya? Tetapi nama mempelai perempuan bukan Kim Nabi. Apakah mereka putus, atau…
Seunghyun tidak berani menerka lebih jauh. Ia bersalaman dengan pria yang memang benar sangat tampan itu kemudian masuk ke ruang acara, berbaur bersama undangan lain. Di dalam mereka bertemu banyak teman SMA dan tentu saja gadis yang mengundangnya datang.
Tiba juga saatnya mempelai wanita diantar ayahnya melewati jalur panjang berkarpet putih hingga tiba di hadapan mempelai pria. Dari situ kedua mempelai sama-sama menautkan tangan dan mengucapkan janji suci disaksikan oleh banyak orang. Mereka bertepuk tangan setelah keduanya resmi dinyatakan sebagai suami-istri.
Seunghyun yang merasa sudah kenyang, menyikut Minhwan agar mereka bersalaman dan memberi ucapan selamat kepada mempelai. Si pemuda bermata sipit itu menaruh gelas minumannya dan menyeka mulut menggunakan tisu sebelum mengikuti Seunghyun. Secara bergantian keduanya mengucapkan selamat dan ketika tiba giliran Seunghyun, ia berjabat cukup lama dengan mempelai pria.
“Apa kau kenal Kim Nabi?” ujarnya. Pria bernama Choi Jonghun itu melebarkan matanya, kemudian tertawa. “Oh, Nabi ya? Si tomboi itu. Tentu saja, aku mengundangnya hari ini. Tapi, sepertinya ia belum datang. Kenap—”
Minhwan terkejut melihat Seunghyun memukul wajah mempelai pria hingga terhuyung mundur. Para undangan pun terheran-heran, sementara mempelai wanita berteriak histeris sambil membantu suaminya berdiri.
“Ya! Apa yang kau lakukan?!” Minhwan menarik Seunghyun menjauh.
“Dia pantas mendapatkannya. Apa kau tidak punya perasaan? Mengundang mantan kekasih yang hampir kau nikahi ke pernikahanmu? Aku akan suka rela memukulmu untuk Kim Sonsaeng-nim!”
“Bicara apa dia ini?” Istri Choi Jonghun menatap Seunghyun tidak mengerti lalu meminta yang lain memanggilkan keamanan. Tidak lama dua orang berbadan besar menghampirinya dan menyeret paksa tubuh jangkung itu agar keluar dari sana. Namun bukan Seunghyun namanya jika mau menurut dengan mudah. Ia berontak hingga salah satu keamanan terpaksa menyikut lambungnya hingga semaput kesakitan.
“Sepertinya kau salah paham tentangku, Anak Muda. Seharusnya Nabi—Oh, Kim Tomboi, lekas ke mari!” Choi Jonghun melambaikan tangan pada seseorang jauh di belakang Seunghyun. Orang itu sampai dan bertanya ada apa.
“Muridmu ini meninju wajah tampanku. Kau harus tanggung jawab sebagai gurunya.” Jonghun mengarahkan telunjuk pada Seunghyun yang terpaku seperti manekin saat melihat orang itu berpaling. Kim Nabi ada di sini! Pekik Seunghyun dalam hati.
“Kenapa kau masih kurang ajar juga? Membuatku malu saja!”
—
Seunghyun tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya karena bisa berjumpa lagi dengan guru kesayangannya itu. Hatinya sedang musim semi sekarang, lebih-lebih saat tahu Nabi tidak pernah berpacaran dengan Choi Jonghun. Keduanya saudara sepupu dan mengenai kebersamaan mereka dua tahun yang lalu di depan sekolah, itu murni hubungan keluarga.
Waktu itu Nabi menemani Jonghun mencari cincin pertunangannya karena calon istrinya sedang sibuk. Jari Nabi sama ukurannya dengan calon istri Jonghun dan sebagai rasa terima kasih, pria itu bersedia mengantar jemput Nabi seharian penuh ke tempat kerja. Seunghyun tertawa sendiri menyadari betapa konyol dirinya percaya dugaan teman-temannya dulu.
“Beruntung mereka hanya memanggil keamanan dan bukan polisi.” Nabi dan Seunghyun kini berada di lapangan bola yang dulu merupakan tempat favorit Seunghyun untuk menangis, sekarang masih belum beralih fungsi. Hanya rumputnya agak kurang terawat.
“Untung apanya? Mereka memukul perutku, dan sakit,” keluh Seunghyun dengan wajah memelas yang dibuat-buat. Alih-alih mengasihani, Nabi menepuk perut Seunghyun menggunakan tangannya hingga pemuda itu kembali mengaduh.
“Kau pantas mendapatkannya karena sembarangan memukul orang tidak bersalah!” tegasnya. Kemudian ia bertanya sejak kapan rambutnya menjadi hitam padahal semasa sekolah surai pemuda itu kecokelatan karena diwarnai. Seunghyun menjawab itu adalah hukuman dari sang ayah karena bandel.
“Kau sudah baikan dengan ayahmu? Syukurlah. Bagaimana pun, beliau adalah orangtuamu dan harus dihormati.”
“Anda masih sebijak dulu, Sonsaeng-nim…” Seunghyun menatap Nabi yang segera mengalihkan pandangannya ke depan. Baginya pemuda itu masih muridnya, dulu, kini dan nanti. Ia tak boleh menaruh harapan atau perasaan apa-apa untuk Seunghyun. Walau Nabi akui, Seunghyun jauh terlihat lebih dewasa sekarang. Ia bukan murid bengal yang labil lagi.
“Sudah selesai curhatnya? Ayo kita pergi.” Nabi mendahului Seunghyun berdiri dan beranjak dari lapangan. Pemuda itu mendecak kemudian bangkit dan berkata dengan lantangnya, “Aku menyukaimu, Kim Nabi-Ssi!”
Nabi berhenti mendengar pengakuan itu. Ia masih berasumsi Seunghyun mabuk atau kepalanya sempat dipukul oleh petugas keamanan tadi sehingga bicaranya melantur.
“Aku juga menyukaimu, haksaeng. Aku tidak pernah membenci muridku—”
“Bukan sebagai guru dan murid! Tetapi dari pria untuk seorang wanita,” aku Seunghyun sekali lagi. Kali ini ia menatap ke dalam bola mata Nabi yang terperanjat tak percaya. Ia belum pernah melihat Seunghyun sebersungguh-sungguh ini.
“Aku ini gurumu, haksaeng. Kau tidak boleh menyukaiku,” bantah Nabi tak mau kalah.
“Tapi sekarang aku bukan lagi muridmu. Kau memang pernah menjadi guruku, dulu waktu sekolah. Kita bicara sebagai dua orang individu yang setara saat ini, Kim Nabi-Ssi.” Seunghyun sama keras kepalanya. Ia mengabaikan gemuruh cuaca yang tiba-tiba mendung.
Nabi tidak tahu apakah ia harus senang atau justru marah. Tetapi tak bisa dipungkiri, hatinya terasa hangat mendengar pengakuan tulus dari Seunghyun. Itu artinya perasaan yang sempat terselip di hatinya berbalas. Nabi baru saja mengakui perasaannya secara tak langsung.
“Bagaimana kalau sekarang aku sudah punya kekasih atau bahkan suami? Kau tidak pernah tahu apa yang kulalui selama dua tahun terakhir, kan?” Itu usaha terakhirnya agar Seunghyun menyerah karena Nabi telah menyerah untuk melawan perasaannya.
Seunghyun tersenyum dan maju beberapa langkah menghampiri Nabi. “Jika itu benar, kau tidak mungkin berdiam diri saja di sini.” Kini pemuda itu sudah berada di hadapannya. Satu persatu air hujan jatuh menimpa mereka dan saat Nabi menengadah tak ada lagi cahaya matahari di atas sana. Kumulonimbus berkuasa sepenuhnya atas langit dengan wajah pekatnya.
“Sudah hujan, ayo pergi!” Nabi berusaha mengalihkan pembicaraan ketika Seunghyun menyambar lengannya dan menarik dalam satu sentakan hingga ia jatuh ke dalam pelukan pemuda jangkung itu. Nabi tak berontak, ia menemukan kehangatan di sana meski hujan semakin deras mengguyur tubuh keduanya.
“Hey, Seunghyun. Lepaskan aku agar kita bisa cari tempat berteduh.”
“Sirheo. Tidak akan sebelum kau mengakuinya juga.”
Nabi mendecis atas kelicikan Seunghyun. Apa ia mau mereka mati kedinginan?
“Baiklah. Aku memang sudah gila karena menyukaimu, Song Seunghyun. Bukan sebagai murid tetapi seorang pria. Sekarang kau puas?”
Nabi merasakan pelukan itu mengendur dan segera saja ia melihat wajah penuh cengiran itu di atasnya. Seunghyun menangkup kedua belah wajah wanita itu dengan tangan dan berterima kasih. “Setelah dipikir-pikir, ternyata aku mencintaimu, Kim Nabi.”
Nabi memejamkan matanya karena air hujan mengalir masuk dan Seunghyun menautkan bibir mereka tepat saat sebuah payung terjatuh menutupi keduanya yang sudah basah kuyup namun dengan hati yang sama-sama hangat.
FIN
(25-02-2015)
Astaga tuh kan! Aku nih kalau kelamaan hiatus trus nulis FF lagi suka panjaaaaaaannggg kayak kereta api tuut tuut tuut XD sekadar info, ini FF udah aku tulis sejak 2015, tapi berulang kali kesendat-sendat karena tugas akhir skripsi dan stres segala macam terus melanda *halah* baru dilanjutin sekarang dan panjang bingits menyaingi FF What’s Your Name yg notabene juga FF comeback setelah lama bertapa lol 😀
Maaf deh kalau FF ini memusingkan dan ruwet namun manis kayak es dawet (?) mohon maklumi otakku yang baru aja dingin seusai berjuang menyelesaikan skripsi dan kawan2nya huahahaha… Kalau mau muntah silakan, kalau mau ngomel boleh, kalau mau ngomen malah lebih bagus! Aku tunggu kesan kalian reader ^^ lup u~