A Promise
Fanfic by Asuka
Starring by:
Song Seunghyun | Choi Minhwan | Song Seunghun (cameo)
Oneshot | Melow-drama, angst, friendship | T
© September 2016
…
Tak ada lagi yang dapat kulihat selain kegelapan. Hanya warna hitam yang sekarang bisa kukenali. Semuanya sama saja, tidak ada bentuk yang mungkin dibayangkan olehku kini. Monokrom.
Seperti hidupku sekarang, setelah kebutaan menjadi karibku sepanjang waktu. Divonis oleh ahli medis menderita kebutaan—meski tidak permanen—dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan setelah suatu tragedi yang menimpaku. Berjalan pun dituntun oleh benda mati; sepucuk tongkat. Segalanya serba dibantu, kemandirian yang selama ini kumiliki seakan menjauh. Namun tak ada yang mampu kulakukan kecuali berlapang dada menerimanya.
Setiap hari aku terbangun kemudian mendapati tidak adanya perbedaan antara memicing dan terpejam. Pagi tak pernah benar-benar datang mengusir malam yang gulita, bagiku khususnya. Hanya bau, kelembapan, serta bunyi yang memberikan tanda akan waktu. Walhasil, secara tidak sadar aku telah mempertajam indera lain yang kumiliki—setelah mata.
“Aku selesai. Selamat pagi semuanya.” Sekali lagi aku meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan sisa sup di mangkuk. Enggan menuntaskan sarapan dengan alasan kehilangan selera.
Kudengar satu orang mendesah putus asa dan satu lagi berusaha membujuk diriku agar meminum susu yang bahkan baru kutelan seteguk saja. Itu Ibu, pasti. Yang mendesah adalah kakak lelakiku.
“Seunghyun, kau tak harus kehilangan sopan santunmu juga setelah kehilangan penglihatan.” Itu nenek yang memperingati. Ia memang pemerhati sikap sejauh aku mengenalnya. Aku berhenti sejenak sebelum akhirnya membungkuk meminta maaf ke arah yang kuanggap benar lalu meninggalkan meja makan.
Ketiganya berdebat mengenai setuju-tidak setuju atas sikapku barusan sampai kemudian aku kena batunya. Tongkat tak selamanya menuntun ke jalur yang benar, buktinya aku tersungkur setelah menendang sesuatu yang luput dari sensor tongkat.
Mulutku meringis, tak tahu harus memaki siapa. Kakak terburu-buru menghampiriku seraya mengaitkan lengannya, ibuku segera menyusul. Hanya nenek yang masih setia pada semua petuahnya yang seringkali kuabaikan. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirku, merasa tertolong dengan kebutaan itu, jadi tidak harus menyaksikan secara langsung bagaimana ekspresinya ketika mengomeliku.
Setidaknya saat ini aku bisa bersyukur untuk itu.
*
Menggunakan tangan kuraba meja di samping kursi yang sedang kududuki sekarang demi menemukan sebuah alat musik kesayanganku. Gitar akustik. Tak pernah ragu aku memainkannya walau kini orang-orang begitu menyangsikan permainanku. Bagiku tak perlu melihat dengan mata terbuka lebar untuk memetik benda itu, aku hanya perlu melebur bersamanya.
Kini aku mulai memangku gitar, kemudian menuntun jari-jemari di leher jenjangnya untuk menekan sebuah kunci. Tangan kananku siap memetik senarnya hingga menghasilkan nada yang kuinginkan. Namun aku segera meringis dan menghentikan permainan tatkala bunyi yang dihasilkan terlalu sumbang lagi mengecewakan. Hampir menyerah saat instingku menajam dan tiba-tiba saja merasakan kehadiran orang lain di sana, bersamaku.
Aku tidak dapat memastikan posisi orang tersebut secara pasti sehingga mulutku yang bekerja. “Siapa itu? Ibu, apa kau di sana? Kak Seunghun?”
Sesaat kesadaran itu tumbuh. Ibuku sedang pergi ke pasar diantar oleh kakak—jadi mustahil itu mereka. Juga bukan nenek yang tidak akan menerobos seenaknya ke dalam kamarmu tanpa izin. Lalu siapakah itu? Batinku bertanya-tanya.
“Aku terkesan kau dapat menyadarinya!” Orang itu akhirnya bersuara. Membuat lenganku refleks mencengkram pegangan kursi.
“Kau siapa? Katakan!” Aku setengah membentak, tetapi sepertinya tak membuat orang itu gentar sedikit pun. Ia malah berkata dengan riangnya, “Aku hanya penasaran melihatmu. Kenapa tadi berhenti memainkan gitarmu, huh?”
Keningku mengerucut. Orang macam apa yang tiba-tiba muncul di balkon rumah seseorang tanpa meminta izin dulu? Seakan bisa membaca pikiranku, ia kembali bersuara,
“Aku tak sengaja lewat dan melihatmu, jadi aku—”
“Melompati pagar untuk masuk dan memanjat balkon, iya?” sambarku lebih dulu.
“Apa menurutmu begitu?”
Aku diam tak menyahut. Orang itu mencurigakan. Sudah muncul tiba-tiba, nyelonong, tanpa memperkenalka—
“Oya, aku Minhwan. Maaf, jika menurutmu aku sombong” Lagi-lagi ia bertingkah seolah cenayang. Penasaran rasanya seperti apa ekspresinya sekarang. Apa dia sedang tersenyum mengejek, atau menatapku dengan sorot mata merendahkan? Tetapi sebaliknya, aku justru merasakan seseorang menjabat tanganku—seperti orang berkenalan. Minhwan itu pelakunya, pasti.
Setelah ia berhenti menggenggam tanganku, aku jadi agak keheranan. Ia sama sekali tak bertanya mengapa aku tidak menatap lawan bicaraku seperti orang pada umumnya, apa tongkatku tiba-tiba tembus pandang sehingga tak terlihat olehnya?
“Jangan marah, ya. Aku tidak bermaksud buruk kok. Kulihat kau kesepian di sini.”
Ucapannya membuatku terkesiap panik. “Aku?! Kesepian? Itu tidak benar!” sangkalku meski kadang rasanya seolah tak punya siapa-siapa. Semenjak kecelakaan, kebutaan ini membuatku minder sehingga hanya mau berdiam diri di rumah, menjauhi pergaulan dan juga teman-teman. Aku pun memutuskan cuti kuliah mendadak yang mengakibatkan perubahan suasana secara drastis.
“Aku hanya ingin jadi temanmu. Karena aku juga kesepian, sepertimu.”
Mataku mengerjap, ajaib sekali kalimat-kalimat itu bagaikan mantra. Hatiku tersentuh karenanya, bahkan dari orang yang baru saja kukenal. Penyebabnya adalah ada ketulusan dalam nada suaranya yang membuatku percaya begitu saja.
Meski aku tidak bisa melihatnya, sebagian hati ini yakin jika kini orang yang mengaku bernama Minhwan itu sedang tersenyum lebar padaku. Ia juga menyentuh gitarku tanpa sungkan hingga terdengar bunyi yang khas sebagai akibat salah satu senarnya meregang. Kemudian ia mencicit tertawa seolah hal itu lucu.
Anehnya alih-alih menjadi berang, aku justru ikut tersenyum seperti terjangkit suatu virus. Entah kapan terakhir kali senyum tersemai di wajahku, sejak kecelakaan itu sulit sekali berdamai dengan diriku sendiri yang pada akhirnya berdampak akan hilangnya hasrat untuk ceria.
Aku tersentak ketika Minhwan menyentuh lenganku dan berkata, “Jadi, sekarang kita berteman?”
Aku pun menyetujuinya tanpa bantahan.
*
Selama beberapa malam setelah pertemuan yang terbilang cepat itu, aku memikirkannya. Tentang Minhwan. Bahkan sewaktu kami sedang bersenda-gurau beberapa hari belakangan. Apa mungkin ia adalah orang suruhan kakak yang sengaja ditugaskan untuk menemaniku? Jika benar begitu, aku takut akan kecewa, sebab pertemanan ini hanya sebatas formalitas semata.
Namun aku ingin sekali percaya bahwa Minhwan bukan orang yang demikian. Buktinya sampai hari ini pemuda itu tak pernah menyinggung tentang kecacatanku, dia memperlakukanku bagai orang normal. Ditambah lagi ia juga tak pernah mau kedatangannya diketahui atau meminta diperkenalkan pada anggota keluargaku. Semua harus dirahasiakan. Hanya aku yang boleh tahu.
“Yang penting kau senang, Songsari. Itu lebih utama.” Begitu alibinya agar aku tak terus menerus memaksanya bertemu Ibu maupun Nenek.
Saking akrabnya kami dari hari ke hari, ia punya julukan khusus untukku, begitu pun sebaliknya. Songsari, demikian ia memanggilku. Dan Minari, adalah sebutanku baginya. Aku benar-benar merasa diberkati karena mendapat seorang teman seperti Minhwan. Ia periang dan cocok menghalau kemuramanku. Kami bahkan mendeklarasikan balkon kamarku sebagai tempat favorit.
Nyaris setiap sore atau malam, Minhwan akan mengetuk pintu kaca geser yang menghubungkan kamarku dengan balkon seusai melompati pagar dan memanjat naik menggunakan tali yang kini kusediakan agar memudahkannya setiap kali hendak bertandang. Setidaknya itulah yang bisa kubayangkan sebagai caranya untuk berkunjung.
Seperti malam ini pun, aku keluar menemuinya di balkon dan memulai konversasi. Minhwan lah yang membuka topik percakapan pertama kali.
“Apa kau punya impian, Song?”
“Yang sudah, atau belum tercapai, nih?”
Ia mendengus. “Terserah kau saja.”
Aku tersenyum sebelum menceritakan perihal impianku. Mulai dari angan-angan masa kecil, sampai obsesi terbesar tentang musik. Aku juga bilang pada Minhwan bahwa aku ingin sekali menjadi seorang musisi dengan gitar sebagai senjata utama.
“Maksudmu, kau ingin jadi komposer dan pencipta lagu, begitu?” tanyanya dengan agak bingung. Aku mengangguk kemudian mengetuk tas gitar yang tergeletak di lantai menggunakan tongkat.
“Tapi kurasa impian itu sudah jauh sekarang. Aku tidak bisa apa-apa dengan kondisi yang… seperti kau tahu ini.”
Tepukan Minhwan mendarati bahuku. Terasa lebih keras untuk sekadar gurauan. “Kenapa tidak? Banyak musisi dunia yang sukses bahkan dengan segala disabilitas mereka—yang tidak banyak diketahui publik. Mereka tetap memiliki sensitivitas terhadap musik.”
Aku tersenyum kecut. Ucapan memang terdengar mudah, tetapi tidak dengan pelaksanaannya di lapangan—bagiku. “Kalau aku berhasil, kau mau ya jadi pendengar pertamaku?”
Minhwan hanya diam sampai aku mengajukan pertanyaan untuknya, tentang impiannya. Ia terdiam lagi agak lama, kemudian dengan entengnya menjawab sesuatu yang bahkan tak pernah terpikir olehku.
“Impianku sederhana, mungkin juga tidak terdengar seperti sebuah impian…” Minhwan mengatakan bahwa ia hanya ingin mengajak adiknya untuk menonton sebuah film aksi yang baru-baru ini rilis di bioskop dan sedang gembor dibicarakan. Sempat-sempatnya aku menelengkan kepala karena takjub, sesederhana itukah?
“Eii.. Kau pasti punya impian lainnya, ya kan? Beritahu aku, Minari…” rengekku kekanakan walau wajahku bahkan tak terarah padanya.
“Benar-benar hanya itu, kok. Percaya deh! Tidak ada yang lebih penting daripada adikku sekarang.”
Aku tertegun mendengarnya, suara Minhwan menyendu di akhir kalimatnya. Sepertinya ia bersungguh-sungguh. Demi memperbaiki suasana, kusarankan Minhwan agar mengajak adiknya ikut berkunjung ke rumah besok-besok.
“Aku tidak tahu film itu, aku kuper belakangan ini hehe. Tapi kalian bisa pergi berdua dan aku yang belikan tiketnya. Sebagai ganti, pulangnya ceritakan padaku bagaimana serunya film itu. Oke?”
Minhwan tidak merespon, sebagai tanda tidak setuju. Mendadak aku kehabisan akal dan tiba-tiba saja merasa takut telah menyinggung perasaannya. Saat aku hendak menghiburnya, kekehan khas Minhwan menggema dan melegakan hatiku. Ia bilang tidak usah karena adiknya adalah tanggung jawabnya.
“Andai aku bisa carikan kau pekerjaan baru.” Aku mendesah mengingat curhatan Minhwan tentang pekerjaan paruh waktunya di sebuah pengisian bensin tempo hari. Ia bilang sudah berhenti dari sana.
“Jangan cemaskan aku, kau hanya perlu pikirkan dirimu.”
Mulutku berubah maju, tidak suka ia memintaku bersikap selfish. Selama ini sudah jarang aku peduli pada orang lain dan menawarkan bantuan, ketika tiba saatnya malah ditolak mentah-mentah.
“Tapi lain kali ajak adikmu itu, ya? Aku ingin kenalan dengannya. Janji?” Aku mengulang permintaan yang tadi dan mengacungkan jari kelingking agar Minhwan mengaitkannya sebagai bukti. Lama tak kunjung ada yang merangkul jemari bontotku itu.
“Bagaimana, ya..? Janji tidak ya..?” Minhwan berkata menggoda lalu tertawa. Aku melepas tawa juga sambil menurunkan jari kelingkingku, membatalkan perjanjian.
Aku masih sibuk tertawa dan mulai lupa akan kesedihanku karenanya, aku lanjut tergelak ketika Minhwan mengajukan tebak-tebakan. Dan aku sepenuhnya melupakan benih kecurigaan terhadapnya. Seratus persen aku percaya pada Minhwan, pada teman yang muncul ketika sedang dibutuhkan.
“Maaf karena sekarang aku tidak mampu lagi memenuhinya…”
“Kau berkata sesuatu?”
“Tidak. Hei jawab tebakan terakhirku tadi dong, Songsari!”
*
Pembicaraan mengejutkan itu dimulai saat makan malam. Aku tidak pernah bermimpi keluargaku akan membahas hal tersebut. Seperti biasa aku akan meninggalkan meja makan selangkah lebih cepat dari yang lain, dan obrolan serius itu terjadi di belakang punggungku.
“Besok aku akan mengantar Seunghyun ke dokter. Kita akan mengonsultasikan mengenai matanya, sekaligus…”
Kalimat Seunghun—kakakku—terpotong oleh suatu hal. Kudengar bunyi sumpit yang terhenti, mungkin Ibu sedang menyentuh lengan kakak seperti yang biasa ia lakukan kala dulu kami berdua sering berdebat di meja makan.
“Ada apa, Bu? Kita harus mengajaknya ke psikiater segera! Aku khawatir melihat kondisinya kian hari!”
Kudengar raungan frustasi Seunghun dari balik tembok penyekat. Apa yang salah? Kenapa harus membawaku ke psikiater segala? Aku positif tidak mengerti namun bersikukuh mendengarkan lebih lanjut pembicaraan mereka.
“Seunghun sudahlah! Tidak ada yang terjadi dengan adikmu, dia hanya sedang membuat lagu seperti kebiasaannya selama ini!”
Tubuhku menggigil, pembelaan Ibu terhadapku terdengar mengenaskan. Bagiku segalanya telah berbeda, hanya perempuan yang telah melahirkanku dari rahimnya itulah agen anti perubahan dalam hidupku. Aku mulai menyamakannya dengan Minhwan, yang tetap menganggapku sebagai Seunghyun yang dulu. Yang memiliki penglihatan.
“Apa bernyanyi, tertawa, bicara sendiri itu terlihat normal bagi Ibu? Itu yang Seunghyun lakukan seminggu belakangan!”
“Seunghun hentikan!!!”
Bagai tersengat lebah, sakit di titik tertentu yang kemudian menyebar ke segala arah. Bagaimana mungkin usaha merahasiakan diri yang dilakoni Minhwan, dianggap seperti itu oleh kakak?
“Seunghyun mulai menciptakan teman khayalannya. Kurasa Seunghun benar, kau tidak perlu ragu lagi, Hojung-ah.” Nenek mendukung Seunghun sepenuhnya. Berkomplot memojokkanku.
“Kumohon, putra bungsuku tidak gila, Ibu…” Kudengar Ibu terisak mempertahankan kewarasannya. Sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa selain beringsut meniti tangga satu persatu. Melarikan diri dengan tertatih-tatih menuju kamar hingga menghilang di balik pintu. Di sanalah keterpurukan yang lebih suram telah menunggu, menyadari bahwa betapa tidak hanya diriku yang mencemaskan kondisi ini. Tongkat tergelincir dari genggamanku.
“Tapi… Apa maksud kakak ke psikiater? Teman khayalan yang mana?” Kupikir Seunghun hanya sedang memboikot Minhwan dengan jalan menuduhnya. Tidak! Jangan! Aku memohon sebab saat ini hanya Minhwan satu-satunya teman terdekat yang kumiliki.
Samar-samar terdengar ketukan dari arah balkon. Aku mengangkat kepala yang tadinya tersuruk di antara kedua lutut yang tertekuk, mengusap mata yang terlampau basah.
“Apa aku mengganggumu, Song?” Angin lembut itu datang bersama kehadirannya. Ia setengah berbisik ketika aku sudah menghampirinya.
“Tidak kok, Minari. Masuklah,” ajakku padanya, namun seperti yang sudah-sudah, ia selalu menolak menginjakkan kaki ke ranah yang menurutnya adalah ruang privasiku. Aku mengalah dan bergabung bersamanya di balkon.
“Kau sedang ada masalah, ya? Kalau mau, kau bisa ceritakan semua itu padaku.”
Kutolehkan wajah ke arah datangnya suara Minhwan, berusaha menghormatinya yang sudah bersedia datang menenangkanku.
“Minari, maukah kau mengabulkan sebuah permintaan dariku?” Aku menatapnya dari balik kegelapan.
“Aku akan berusaha memenuhi satu keinginanmu,” jawabnya.
Aku meneguk ludah sebelum mengatakan, “Temui Ibuku sekali saja. Biarkan ia melihatmu dan percaya sehingga bisa meyakinkan kakakku bahwa aku masih waras.”
“Itu.. Aku tidak bisa. Maaf.”
“Ibuku baik sekali, dia pasti akan menyukaimu! Percayalah!” bujukku lagi berharap bisa mengubah pendiriannya. Namun yang kudapat hanya bunyi keriut kursi yang ditinggalkan oleh penghuninya. Minhwan bangkit dan membuat beberapa langkah di depanku.
“Aku percaya, tapi tidak sekarang.”
“Kapan? Kapan kau bisa?” desakku tak sabar hingga ikut berdiri dan tongkat segera menghentak lantai mencari keberadaan Minhwan. Tak tahu seberapa jauh jaraknya dariku, tetapi tongkat ini tak kunjung menjangkaunya.
Sebelum aku berhasil menemukan keberadaan Minhwan, suara Ibu memanggil dari luar kamar. Persis di depan pintu sambil mengetuk. “Seunghyun, kau belum tidur? Boleh Ibu masuk, Nak?”
Sementara aku berhenti mencari Minhwan yang kini benar-benar membisu, mulutku sibuk menyahuti Ibu. “Aku masih terjaga! Sebentar, Bu, aku buka kuncinya.” Untuk sejenak urusan Minhwan terabaikan.
“Kau tidak apa-apa? Ibu khawatir karena kau tidak segera menyahut.” Ibu bertanya keadaanku dengan suara yang lebih serak dari yang terdengar di balik pintu, ia bilang ia khawatir padaku.
“Bu, apa kau menangis?” Tangan kiriku terangkat mencari wajahnya, hendak memastikan tidak ada jejak air mata di sana. Namun tangan ini justru disambut genggaman hangat nan penuh kasih sayang. Hatiku kembali tersentuh.
“Apapun yang Seunghun katakan tentangmu, jangan dipikirkan. Ia hanya terlalu posesif sebagai seorang kakak. Ibu selalu di pihakmu, Nak. Ibu janji.” Kami duduk di tepi tempat tidur dengan tangan masih bertautan. Saling menguatkan satu sama lain. Aku mengangguk karena selalu menempatkannya di posisi nomor satu sebagai orang paling terpercaya dalam hidupku.
“Terima kasih, Bu. Oya, aku ingin kau menemui seseorang.” Aku tahu aku telah melanggar janjiku pada Minhwan, nekad memberitahu Ibu tentangnya. Kubawa Ibu ke balkon dan mengatakan ada seseorang di sana.
“Sebenarnya siapa yang kau maksud? Tidak ada siapa-siapa di sini. Kau yakin?”
Aku membatu di tempat. Minhwan menghilang begitu cepat, apakah ia pergi saat aku membukakan pintu untuk ibu tadi? Kupikir pemuda itu tersinggung akan permintaanku, atau barangkali Minhwan sempat mendengar pembicaraan kami barusan sehingga langsung mengambil tindakan antisipasi dengan cara kabur. Apapun itu, aku langsung merasa bersalah atas kelancanganku.
“Sepertinya dia sudah pergi, Bu. Mungkin lain kali saja.”
“Oh.. Ya sudah, temanmu itu tampaknya pemalu. Sekarang kau istirahatlah, Ibu akan turun membuatkan segelas susu hangat agar tidurmu nyenyak.”
Kepalaku hanya mengangguk kaku. Perasaan bersalah itu masih memberatkan, kupikir harus meminta maaf secepatnya jika bertemu Minhwan lagi besok atau lusa.
*
Sepertinya Ibu tersenyum cerah begitu kami keluar dari ruang konsultasi dokter. Yang berarti ia baru mendengar kabar baik terkait masalah mataku. Aku pun sudah tahu bahwa pihak rumah sakit berjanji akan berusaha mencarikan donor mata untukku dan begitu sudah ada, maka mereka siap untuk melakukan pencangkokan.
Persentase kemungkinan aku bisa melihat lagi membengkak dari sepuluh persen ke tujuh puluh delapan. Seunghun turut bersyukur menyadarinya. Namun saat memasuki mobil dan kakakku itu mulai berkendara, Ibu sama muramnya dengan penglihatanku. Kami sedang menuju psikiater kenalan kakakku—seperti ucapannya.
“Tidakkah sebaiknya kita tunda dulu?” Ibu mencoba bernegosiasi namun yang ia dapat hanya gelengan tegas. “Se-ka-rang, Bu.”
Ibu mendesah, tak ingin berdebat di hadapanku.
“Aku akan buktikan kalau aku masih waras, jangan khawatir,” ujarku mantap. Merasa yakin, apapun yang kuhadapi nanti, tidak seorang pun lebih tahu aku dengan baik selain diriku sendiri.
Aku sudah duduk berhadapan dengan seorang psikiater yang menurut Seunghun berusia sekitar empat puluh, hanya berdua di ruangannya. Sementara Ibu dan kakak menunggu di luar. Psikiater itu bilang ia akan memindai roman mukaku terlebih dahulu sebelum membuka lembaran kertas yang terjepit pada clipboard di atas mejanya.
Ia mulai mengajukan beberapa pertanyaan, dari yang sederhana hingga agak rumit. Kadang ia menyuruhku melakukan suatu gerakan, atau hanya memintaku memilih salah satu opsi jawaban.
Selama jangka waktu tertentu, ia menuliskan hasil laporan dan memindai beberapa hal di atas kertasnya. Begitu sesi tanya-jawab itu selesai, ia mengucapkan terima kasih dan menyalamiku. Kami pun keluar ruangan bersama-sama.
“Aku senang ternyata kau baik-baik saja.”
Aku hanya tersenyum—isyarat kemenangan—menanggapi ucapannya. Seunghun mungkin kecewa karena tuduhannya tak terbukti, sebaliknya aku senang sebab dapat meyakinkan Ibu kalau putra bungsunya ini masih memiliki psikis yang normal.
Psikiater itu memberikan hasil tesku tadi pada kakakku, sembari menjelaskan bagaimana kondisiku yang menurut kesimpulannya baik-baik saja, hanya sedikit tertutup sebagai dampak dari kecelakaan yang mengejutkan. Ia juga meminta Ibu memaklumiku jika terkadang senang menyendiri, alasannya semata karena aku sedang menata diriku yang dulu lagi. Kami pun pulang.
Di rumah nenek telah menunggu dan ikut lega mendengar hasilnya. Bagaimana pun, ia mengaku prihatin juga jika cucu kesayangannya mengalami sesuatu yang buruk lagi.
“Nah, mulai sekarang berhentilah bertingkah tidak wajar. Jujur saja, aku juga malas mengajakmu menemui psikiater, seolah aku ini punya saudara yang berkelainan. Tapi ini demi kebaikanmu juga, Dik. Kami hanya ingin kau ceria seperti dulu lagi, tinggalkan masa-masa sulit ini. Ingat, kau tidak sendirian. Kau punya aku, Ibu, dan juga Nenek.”
Aku tahu maksudnya itu baik, hanya aku tidak suka caranya. Pergi ke psikiater bukan pilihan utama karena aku merasa tidak bermasalah sama sekali. Untuk kali ini aku memaklumi, tidak ada salahnya kan mencoba?
Sepeninggal Seunghun suasana hatiku berubah drastis. Aku teringat pada Minhwan yang beberapa hari ini tidak pernah mampir lagi. Ke mana bocah itu? Aku semakin takut kalau tindakan nekatku tempo hari benar-benar menyakiti perasaannya. Padahal aku berharap sekali ia muncul malam ini, biar bisa membagi kabar gembira yang disampaikan dokter di rumah sakit tadi tentang mataku.
Di balkon aku duduk sendirian sambil menikmati kesiur angin musim gugur yang mengantarkan bau dedaunan. Lima, sepuluh, dua puluh menit sudah aku berada di sana, membiarkan nyamuk-nyamuk menusuk moncongnya ke dalam pori-pori kulitku, namun yang kutunggu tak kunjung datang.
Yang benar saja? Aku sudah membuat satu-satunya teman yang kumiliki sekarang menjauh begitu saja karena keinginan egoisku. Sepertinya aku memang pantas dihukum, Minhwan menghindariku dan itu sudah cukup menyakitkan.
Minhwan… Maafkan aku…
*
Hingga donor mataku sudah ditentukan dan tanggal operasi telah direncanakan oleh dokter, Minhwan tak pernah muncul lagi. Ia seolah terjatuh ke dasar bumi dan tak sanggup keluar. Kabar gembira itu menjadi tidak terlalu menyenangkan lagi, tetapi aku sadar sudah seharusnya kusyukuri hal ini. Aku bisa melihat lagi dalam waktu dekat dan itu bisa memudahkanku untuk mencari Minhwan setelahnya.
Ibu menemaniku sampai di ruang ganti dan ketika para suster sudah membaringkanku di ranjang dorong, hanya genggaman tangan dari Ibu, Kakak, serta Nenek yang mengiringiku sebelum memasuki ruang operasi seorang diri. Kudengar suara dokter memerintahkan seorang anestesi untuk menginjeksikan obat bius kepadaku sehingga semuanya menjadi hening dan aku tertidur.
Tidak pasti berapa lama aku tak sadarkan diri, tahu-tahu kesadaranku mengumpul dan suara-suara memasuki gendang timpani. Makin lama makin jelas, dan di antaranya ada suara keluargaku. Aku menggerakkan tangan sebagai isyarat telah tersadar, yang segera saja direspon oleh orang-orang di sana.
“Seunghyun, kau sudah bangun, Nak?” Itu Ibu. Aku mengangguk kecil kemudian bertanya bagaimana hasil operasinya. Sejurus kemudian kurasakan usapan di puncak kepala oleh telapak tangan yang begitu hangat.
“Kata dokter, nanti malam perbanmu sudah bisa dibuka.”
Aku menghembuskan napas lega, mengabaikan pelukan erat Seunghun diiringi ucapan selamatnya padaku. Pikiranku kembali terlempar ke seseorang, Minhwan. Akankah ia hadir di momen buka-perbanku malam ini? Adakah ia datang di hari operasiku kemarin? Aku tahu tak ada jawaban untuk itu.
Malamnya, semua orang berkumpul di kamar rawatku. Menanti hasil yang baik pasca operasi yang terbilang lancar. Aku sendiri menyadari, jantungku berdetak tak seperti biasanya. Gugup sekaligus senang, akan bisa melihat lagi setelah beberapa waktu kehilangan kemampuan tersebut.
Dokter memintaku agar rileks saja sementara ia bekerja membuka perban yang membungkus sekeliling kepalaku di sekitar mata. Kemudian tangannya melepas plester yang menahan perban di depan kedua mataku secara perlahan, satu persatu, dimulai dari mata kanan lalu ke kiri. Ia menginstruksikan agar aku membuka kelopak mata perlahan-lahan saja, jangan dipaksa.
Sedikit gemetar aku mengikuti perintahnya. Mula-mula sulit, namun kemudian menjadi lebih mudah. Kelopak mata ini akhirnya menurut dan aku mengerjap. Tadinya masih agak gelap hingga samar-samar ada bayangan yang tertangkap oleh retina baruku, semakin jelas dan bertambah terang setiap detiknya. Aku benar-benar bisa melihat lagi. Kudapati Ibu menangkup tangannya di depan mulut, harap-harap cemas menunggu respon dariku. Ada pula Seunghun yang tampak menahan napas. Para suster juga dokter menanti reaksi pertamaku.
“Aku bisa melihat. Jelas sekali.”
Ibu langsung memberiku pelukan yang erat. Erat sekali sampai rasanya aku sulit bernapas. Beliau terlihat bahagia sekali di atas semuanya. Kakak mengusak rambutku, tak urung matanya juga berkaca-kaca memandangku. Dokter dan suster bergantian menyalamiku, mengucapkan selamat juga bangga karena operasi mereka berhasil.
Ya, satu tanjakan telah berhasil kulalui dengan selamat. Tinggal satu tanjakan terjal lagi menantiku, dan aku justru tidak yakin bisa melewatinya kali ini.
Selama masa pemulihan di rumah sakit, Ibu dan Kakak bergantian menemaniku. Meski kukatakan aku baik-baik saja meski sendiri, namun mereka memaksa untuk bermalam di sana. Nenek hanya datang sesekali mengingat kondisinya yang sudah nyaris uzur dan renta, tak boleh banyak ke sana ke mari hingga membuatnya lelah.
Dan pada suatu malam ketika Kakak belum pulang dan giliran Ibu menemaniku di rumah sakit, aku memutuskan terbuka pada mereka. Aku pun bertanya sesuatu hal.
“Temanmu yang datang berkunjung, ya? Tidak banyak, tetapi ada,” Ibu berkata sembari membereskan sampah kulit apel yang tadi kumakan.
“Yang titip pesan saja tapi tidak menemuiku, apa ada, Bu?” Kali ini pertanyaanku sudah menjurus. Ibu mengingat-ingat, namun kemudian menggeleng. Mereka tak mendapatkan tamu semacam itu. Harapanku perlahan pupus. Minhwan mungkin sudah melupakanku.
“Oh ya Seunghyun, sebenarnya aku ingin menanyakan ini padamu.” Aku beralih menatap Seunghun yang bergerak mengeluarkan ponselnya kemudian memperlihatkan sebuah video untukku. Itu rekaman CCTV dari tempat yang tidak terduga.
“Kami tak sengaja menemukan ini, Dik.”
Dalam rekaman kamera pengintai yang terpasang di sudut atas balkon kamarku, tampak aku sedang duduk di kursi memangku gitar. Aku tak pernah tahu ada kamera di sana. Tanggal yang terpampang menunjukkan hari pertama Minhwan muncul. Durasi video sudah memasuki menit ke empat, tapi tak ada tanda-tanda kemunculan Minhwan. Hanya ada aku yang tampak bergerak-gerak dan berbicara sendiri.
Hingga rekaman itu selesai dan aku terlihat masuk ke kamar, tidak seorang pun bersamaku. Apa maksudnya Minhwan tidak terekam kamera?
“Aku menyadarinya begitu melihat rekaman ini. Sebenarnya kau sedang apa di balkon dan bertingkah aneh seperti itu, Seunghyun?” Seunghun menghentikan pemutaran video dan bertanya padaku.
“Ini pasti salah, Kak. Tidak mungkin, aku selalu bersama seseorang di balkon. Minhwan, namanya Minhwan. Dia itu teman bicaraku selama ini!”
Ibu meraih tanganku yang bergerak-gerak, menenangkanku yang mulai panik. Tak mempercayai kenyataan mengguncangkan itu. Mulutku tak sanggup lagi berucap, hanya menyampaikan protes melalui sinar mata yang ditanggapi gelengan kepala oleh Ibu. Seunghun pun bersikeras meyakinkanku dengan memutar beberapa rekaman CCTV lain selama beberapa malam berturut-turut.
Siapa yang tega memanipulasi rekaman tersebut sehingga jadi begini?!
*
Logikaku nyaris menolak keanehan yang tampak dalam bukti berupa rekaman CCTV milik Seunghun. Benar-benar ada yang salah dengan hasil rekaman itu, ataukah otakku yang bermasalah? Tidak, tidak! Aku tidak gila hanya karena menjadi buta sesaat. Tetapi bagaimana caranya Minhwan menghindari mata kamera yang senantiasa mengawasi sedang ia tidak berada di titik mati sekali pun?
TLUK
“Silakan pergi ke tempat di mana seharusnya kau berada.”
Aku menoleh sambil memijat pelipisku yang berdenyut setelah dilempari sebatang spidol oleh seorang dosen galak. Ia memergokiku sedang melamun di kelasnya ketika kuliah berlangsung.
“Bukankah kau tidak berselera mendengar kuliahku dan pikiranmu di tempat lain? Jika di kepalamu membayangkan kantin atau taman universitas, pintu kelas ini tidak terkunci saat kau melewatinya.”
Aku berusaha tidak menambah deret kesalahan, namun dengan kediamanku justru menaikkan tingkat emosinya. Dosen itu sudah berjalan ke arah bangkuku, hendak menyeretku keluar sebelum dengan sendirinya aku berdiri dan mengangkat tas serta kaki.
“Mianhamnida!” ucapku sebelum terbirit-birit mencapai pintu. Begitu pintu kelas sudah tertutup, aku menyandarkan punggung ke sana sembari menghela napas. Belum genap seminggu aku kembali kuliah, sudah ada dosen yang sebal karena ulahku. Ya ampun!
Rajutan langkahku terarah ke taman universitas dan berhenti di depan pos keamanan. Di dalam bilik 6X6 meter itu tengah duduk seorang satpam berseragam abu-abu sambil memutar-mutar tombol tuning radio sementara rekannya pergi berkeliling. Aku menyapanya singkat dan menduduki kursi besi yang tersedia di luar pos satpam. Iseng, aku meraih tiga lembar koran lecek yang tergeletak begitu saja di atas kursi kemudian mulai membaca satu persatu tajuk di tiap kolom berita.
“Ini koran Bapak?”
Si satpam menoleh sekilas, lalu menggeleng. “Bukan. Paling punya mahasiswa yang ketinggalan.” Lalu ia kembali menyetel radio.
Aku mencermati tanggal terbit yang tertera di pojok atas koran, tertanggal dua hari setelah insiden tragis yang termasuk aku di dalam daftar korbannya. Dan ada satu berita yang sanggup membelalakkan kedua netraku.
LEDAKAN DI POM BENSIN KOTA, MENGGEMPARKAN SEOUL. Demikian tajuknya diiringi cetakan berita, lengkap beserta foto lokasi yang sebagian hangus. Tak pernah terpikirkan olehku akan masuk koran, namun lucunya malah menjadi korban terparah. Saat membaca nama-nama korban tewas, sesuatu menarik perhatianku seketika.
“Choi… Usia… sembilan belas…” gumamanku tersendat layaknya saluran radio milik si satpam. Lidahku tercekat pada korban ke sepuluh, namanya memanaskan kelopak mataku sehingga berair tanpa sebab. Aku sukses tak percaya ketika melihat nama Minhwan tertera sebagai salah satu korban dalam insiden pom bensin yang juga melibatkanku.
“Choi… Choi Min.. Hwan? Ini bukan dia, kan?” Kebetulan itu terkadang mengerikan. Berapa banyak penduduk Seoul yang bernama Minhwan?
Dengan rasa tak percaya, aku membaca keseluruhan berita hingga tuntas dan akibatnya bahuku melunglai. Jurnalis menuliskan, berdasarkan analisa CCTV di lokasi oleh polisi, ledakan itu terjadi karena kelalaian seorang pegawai pom bensin yang lupa mematikan kendaraan yang dititipkan padanya untuk diisikan bahan bakar sementara pemiliknya ke toilet. Nama pegawai itu adalah Choi Minhwan.
“Jadi… inikah alasanmu datang padaku selama beberapa waktu itu, Minhwan-Ssi?”
Minhwan telah menebus kelalaiannya yang menuai deritaku, si korban paling parah namun beruntungnya masih mampu bertahan hidup.
*
Epilog
-Author POV-
Seunghyun sedang berkendara sepulang dari kampus kala penanda bensin di dashboard mobilnya menyala merah. Beruntung tak jauh ada pom bensin. Seunghyun mengarahkan kemudinya memasuki area pom bensin dan menempati antrian ke tiga di jalur khusus roda empat. Deru mesinnya langsung mati ketika kunci diputar. Sambil menunggu giliran, pemuda itu meraih ponselnya yang tercatut di samping kemudi. Ia sempat melihat seorang pria berjas rapi buru-buru keluar dari mobilnya yang tepat berada di depan mobil Seunghyun, sejenak menghampiri seorang petugas pom bensin untuk mengatakan sesuatu kemudian berlari ke arah toilet.
Seunghyun kembali melihat layar ponselnya ketika si petugas pom bensin bersiap menaruh corong di lubang bensin mobil di depannya. Tepat saat pemuda itu meremas tuas corong pengisiannya, suara luar biasa keras menggema di seluruh area tersebut. Seunghyun hanya sempat melihat sesuatu berwarna merah terang menyilaukan dari arah depan sebelum mobilnya terguling ke belakang.
Seluruh kaca bagian depan mobil Seunghyun remuk, sebagian terlempar ke wajah dan juga tangannya yang berusaha menghalau sabetan kepingan benda tajam tersebut. Dengan kondisi kesakitan dimana kedua matanya terkena saputan hawa panas si jago merah yang menjilat-jilat di depan sana, Seunghyun mengerahkan sisa-sisa kekuatannya untuk keluar dari mobil, meski pun harus merangkak dan buta arah.
Pintu kursi pengemudi yang terlepas mempermudah usaha penyelamatan dirinya. Jemari dan telapak tangannya perih menekan serpihan kaca mobil yang banyak berserakan di tanah. Seunghyun terus menjauh dari keberadaan mobilnya tanpa rintih kesakitan, ia tidak punya waktu lagi untuk mengeluh. Jika ingin selamat, maka ia harus mengambil jarak sejauh mungkin.
Namun tenaganya telah di ambang batas, Seunghyun tak dapat lebih jauh lagi hingga harus terkapar sekitar dua meter dari keberadaan mobilnya sendiri. Ia tak dapat membuka matanya yang kian berdenyut sampai kesadaran itu perlahan meninggalkannya.
Tak jauh dari posisi tubuh Seunghyun tertelungkup, seorang pemuda dengan pakaian seragam pegawai pom bensin yang sobek dan hangus di sana-sini mengulurkan tangan gemetar. Ia melihat darah membasuh wajah pemuda kaya di sampingnya, diam secara mengenaskan. Nasibnya pun tak kalah mengenaskan, pemuda pegawai pom bensin periang ini sedang giat mengumpulkan uang demi membelikan tiket bioskop film populer terbaru untuk sang adik sepulang bekerja hari ini. Rencana tinggal rencana, tak pernah ada yang tahu akan masa depan.
Ironisnya terjadi kecelakaan saat jadwal shiftnya dan ia pikir seluruh uang yang telah dikumpulkannya sudah hangus bersama ledakan tadi. Ia baru saja menghancurkan impian sang adik serta impian orang-orang yang menjadi korban akibat kecerobohannya yang lupa mematikan mobil titipan ketika mengisi bensin.
Lama ia menatap satu persatu tubuh yang bergelimpangan di sekitar, hingga napas yang sisa satu-satu memperingatinya akan waktu yang tersisa baginya tidak banyak lagi. Kembali pemuda itu mengarahkan netranya pada tubuh Seunghyun—si pemuda kaya—dengan sorot kepedihan. Lamat-lama mulutnya terbuka mengucapkan kata-kata terakhir secara patah-patah.
“Mi-mian..hae.. aku cer- roboh dan.. pan..tas ber- bertang..gung.. ja..wab..”
Sedikit demi sedikit mata sipit itu menutup bersama sebuah janji yang ia tancapkan di hadapan si pemuda kaya.
FINISH!
Kyaaaa ep-ep acakadul terlahir kembali xD udah panjang, bikin pusing, bad ending pula. Bah, lengkap sekali keabsurdan cerita ini kkkk~ aku cuma pengen kombek tapi bingung mo bawa apaan, ya udah aku ngelanjutin ep-ep ini yang ada setengah tahun lalu mulai kutulis, etapi sempat stuck akibat writersblock 😀 ngerti ga sih sama inti ceritanya? Ampun deh ini emang berbelit-belit kayaknya wkwkwk~ Yasudahlah, nikmati saja persembahanku yang ancur ini ahahaha *bow*