[First Step] PLEASE READ THIS!

READ THIS FIRST!

Hi readers and visitors!

Please welcome to the Asuka’s Line! ^^

Selaku owner di blog ini, aku yang nggak pandai basa-basi ini mau langsung aja ngasih tahu ketentuan (bukan peraturan kok) ketika kalian nemu blog ini dan berkunjung. Sebenarnya blog ini udah ada sejak lama, tetapi berhubung aku sempat lupa pwd log in-nya, alhasil ini blog hiatus hampir satu tahun lebih ._. Berantakan dan random-lah jadinya xD *sapu sarang laba-laba(?)*

Oke, dari pada aku terlanjur curhat, ada baiknya kalian baca poin-poin berikut:

  1. WordPress ini sejak dulu hingga sekarang hanya dipegang oleh satu orang, yakni SAYA SENDIRI. (Nggak menutup kemungkinan sih, nantinya nyari pengurus tambahan hehehe…) Atau, kalian bisa kontak aku langsung di Facebook atau Asuka’s Page dan Twitter, mari kita lebih mengenal 🙂 atau jika kalian bosen ngecek blog yang ‘berdebu’ ini, aku punya akun di AFF (asianfanfics) yang menyediakan FF dwi-bahasa (Indo dan English) buatanku. Enjoy please ^^
  2. Isi blog ini memuat beberapa info / news dari artis-artis Hallyu, Fanfiction tentang mereka, lyrics lagu, review MV, review novel dan beberapa foto editan maupun handmade (?) buatan owner.
  3. Biar lebih akrab, kalian bisa panggil aku ‘chingu’, ‘Asuka’, atau kalian bisa panggil aku ‘eonni’ jika kalian lebih muda dariku, atau ‘saeng’ jika aku lebih muda dari kalian. FYI, I’m ’94 line 🙂
  4. Kalian bebas baca story atau pun berita yang diposting di sini dengan CATATAN tolong tinggalkan KOMENTAR jika diperlukan, dan jika kalian ingin RE-POST di tempat lain tolong cantumkan FULL CREDITS! (Baik link blog ini atau kutipan dari link lain) soalnya aku juga nyari sendiri lho, dan selalu nuliskan source-nya. Jadi, kita seharusnya saling menghargai ya!
  5. Aku nggak pernah protect atau kasih password thd. postingan FF di sini karena aku tahu pembaca yang baik nggak perlu nunggu disuruh buat kasih komentar. Aku nerima kritik & saran dari kalian dengan tangan terbuka kok, so nggak usah takut buat ninggalin jejak ^^ seikhlasnya yaaa….!

Nah, nggak gitu banyak ‘kan yang aku kasih tahu? Ini sekedar sharing agar aku selaku owner dan kalian sebagai reader atau visitors bisa saling berhubungan dengan baik. Kalian kasih masukan dan aku nerima, tujuannya juga biar blog ini lebih maju dan baik dari sebelumnya. Tanpa kalian aku bukan apa-apa ^^

THX

 

Regards,

Asuka ^^

[Review] Aimer “Sun Dance” & “Penny Rain”

Aimer-SunDance-PennyRain_350x200

[REVIEW] AIMER’S NEW ALBUM

Sebelumnya… saya mau ngucapin terima kasih dulu buat seseorang yang-enggak-bakal-saya-sebutin-namanya-di-sini karena udah dengan senang hati menularkan virus Aimer kepada saya :”) awalnya dulu justru saya yang ngasih tahu dia lagu Aimer yang jadi ED anime Natsuyuki Rendezvous, eh nggak tau lama-lama dia yang lebih ngefans haha.

Oke, nggak usah panjang lebar ngebahas seseorang yang-enggak-bakal-saya-sebutin-namanya-di-sini tersebut, mending langsung aja kita cek and ricek soal dua album Aimer yang terbaru ^^

Ikemasu-yooo~

Pertama,

SECL-2420

[Sun Dance/2019]

Isinya ada 10 lagu, yang terdiri dari lagu yang beberapa memang baru dan sebagian adalah lagu lawasnya Aimer (sayangnya Akane Sasu nggak ada haha). Eh, delapan lebih tepatnya. Ada satu trek yang cuma instrumen, dan satu lagi dua kali muncul. Berikut daftar judulnya beserta pendapat saya setelah mendengarkan mereka satu persatu :

  1. Soleil.

Ini dia yang saya maksud instrumental tadi, sebagai pembuka hanya musik yang ditampilkan tanpa suaranya Aimer. Oke sih konsepnya, di beberapa album Jepang yang pernah saya temuin juga ada yang kayak gini.

  1. One.

Eh kalau nggak salah, lagu ini ada music videonya nggak sih? Itu lho, yang barisan cewek-cewek mainin bendera besar di suatu lapangan luas. Energik yowyow.

  1. We Two.

Eum… no komen, ya? Skip. Maaf, kurang nyimak soalnya hehe *plak (nanti saya dengerin ulang deh, kapan-kapan)

  1. 3Min.

Lagu yang paling saya sukai di album ini. Beatnya enak u.u dan di music video officialnya, Aimer tampil sebagai model utama tapi asiknya tanpa menampakkan wajah. Angle kamera cuma menyoroti punggungnya, berkesan tetep misterius aja.

  1. Koiwazurai.

Rasanya pernah denger di mana gitu, tapi pas dicari di daftar mp3 hape kok nggak nemu-nemu, ya? Ah mungkin saya halu wkwk

  1. Hanabiratachi no March.

Atau bahasa inggrisnya “March of Time”. Suka juga lagu ini, dan sempet baca-baca terjemahan liriknya. Emang jooss… *kasih jempol*

  1. Omoide wa Kirei De.

Syudah suka jaauuhh sebelum album ini rilis ♥ saya bilangnya ini lagu “Musim Panas”, musiknya luar biasa ceria, bikin semangat! Ganbatte! *lho?

  1. Monochrome Syndrome.

Judulnya unik, jujur. Gampang diingat. Cuma kesan saya terhadap lagunya biasa aja, suka judulnya doang *plak* entah kalau tahu terjemahan liriknya, mungkin bisa berubah pikiran :”)

  1. Sun Dance.

Kalau boleh dibilang, ini lagu berasa banget bandnya awkwk. Lagu ini yang mewakili judul albumnya.

By the way, kan Aimer soloist tuh, saya sempet berangan-angan andai Aimer bikin project kolaborasi beneran sama Band. FTISLAND, misalnya. Pasti oke :”)

  1. One -epilog-

Yang ini sama aja dengan lagu ke dua, cuma ditaruhnya belakangan wkwk.

Dari album Sun Dance ini, saya sukanya 3Min pasti, terus Omoide wa Kirei De, March of Time, sama One. Sesuai konsep cover dan tajuk albumnya, rata-rata lagu di dalamnya ceria, musiknya bertempo medium sampai maximum. Nggak ada yang temponya di bawah itu, kalau pun ada mungkin auto masuk ke Album Penny Rain.

Ya udah, kalau gitu kita langsung ke review album selanjutnya. Biar cepet ehehe…

Ke dua,

Screenshot_2019-04-18-21-41-01-1

[Penny Rain/2019]

Kalau dilihat dari tajuknya, sudah bisa nebak dong.. album ini bakal gimana isinya. Gloomy? Mellow? Sorrow? Atau bahkan kelam? Kalau masih menduga-duga, ini saya kasih daftar lagunya berikut komentar pribadi saya :

  1. Pluie.

Sama seperti di album Sun Dance, track pertama diisi oleh instrumental. Tapi yang ini jauh lebih berat dan nyesek. Suara violin dominan di awal-awal. Meski nggak ada suara Aimer nyanyi, seolah ‘luka’ itu tersampaikan dengan baik.

  1. I Beg You.

Yang udah nonton anime movie Fate/Stay Night: Heaven’s Feel II – Lost Butterfly, pasti nggak asing lagi sama lagu ini. Yap, I Beg You merupakan Ost/ED anime tersebut. Kata seseorang yang-enggak-bakal-saya-sebutin-namanya-di-sini, musiknya rada-rada Timur Tengah (lol).

  1. Black Bird.

Lagu Rasa Band Banget part II xD

  1. Sailing.

Entah apa alasannya, lagu ini kok sedihnya nancep. Hmm.. mungkin saya harus nyari tahu terjemahan keseluruhan liriknya..

  1. Mabayui bakari.

Menurut saya nih, sedikit lebih ceria dari lagu-lagu yang lain di album ini. Nggak melulu melow-galaw wkwk. Recomended kok ini.

  1. Stand by You.

Nah satu lagi yang musiknya enggak terlanjur sorrow.

  1. Ref:Rain.

Saya udah dengerin ini berkali-kali, sebelum lagunya masuk ke album Penny Rain ini. Enak lho ini didengerin pas ujan (pas ujan ya, bukan pas ujian wkwk)

  1. I-mage.

Lagu ini pernah dibawain di atas stage sama Aimer, featuring pianis Jepang cowok si Sawano Hiroyuki. Pertama kali denger cukup terkesan, dan ini nggak galau juga sih. Entah arti liriknya hehe.

  1. Hana no Uta.

Ini juga Ost Anime movie Fate/Stay Night: Heaven’s Feel I. Tanyakeun ke penggemar Fate/Stay Night, pasti mereka tahu lagu ini. Lagunya saya akui emang sorrow sih T.T

  1. April Showers.

Dan yang terakhir, kalau dibaca dari judul kedengaran unik dan lucu, kan? Biasanya ada istilah Baby Shower, apakah ini ada kaitannya? I dunno *peace* :3 emang balad, tapi masih cukup enak buat dinikmati.

Oke, kayaknya cukup ya review saya mengenai lagu-lagu di dua album Aimer yg rilis sekaligus ini. Ngomongin masalah covernya aja belum, masing-masing tampaknya mewakili dua suasana yang berbeda. Sun Dance untuk cerah, Penny Rain untuk mendung. Barangkali pihak labelnya Aimer mau para pendengar bisa memutar lagu-lagunya di setiap saat. Entah itu hari sedang cerah, atau pun mendung.

Mengenai mana album yg paling bagus, saya nggak bisa milih. Jujur aja wkwk. Di masing-masing album, sama-sama ada lagu yang saya sukai. Sebagai contoh, April Showers, Sailing, Mabayui bakari, Stand by You, dan Ref:Rain dari Penny Rain. Kalau disuruh milih, kaga sanggup saya. Nyerah deh!

Gimana? Setelah baca review-an abal-abal saya, apakah Anda tertarik mendengarkan sepasang (?) album milik Aimer ini?

So, mari sama-sama kita tunggu karya Aimer berikutnya! Ganbarimasu, Aimer-sama!

Regards,

Asuka.

(2019. April, 18th)

FT ISLAND – I’M COMING HOME (LYRICS)

DyCXYChU0AAd2ca

TITLE : I’m Coming Home (LYRICS)

ARTIST : FT ISLAND

ALBUM : EVERLASTING (9th JAPAN ALBUM)

RELEASE DATE : 2019, March 27th

COMPOSED BY CHOI MIN HWAN

 

*

Akaneiro no sora koshi o kakete

Shizuka ni kiete ku chiheisen no mukou

Yarusenai kimochi kanashimi subete mo

Dakishimete kureru ki ga shita yo (ki ga shita yo)

 

Oshiyosete kuru fuan ga kimi o omou dake de (omou dake de)

Egao ni nareru kittodaijoubu

 

Our memories never fade mitekita keshiki

Subete mune no oku ni kizama reta mama

Far away~ hanareta to shite mo

Kokoro tsunagatte iru (tsunagatte iru) itsu made mo

 

Shizumu yuhi no aizu de yakusoku shita ano basho e to

Kanarazu ai ni ikukara

I’m coming home again

 

Makkura ni somatta (somatta) sora ni mukete

Oukiku sakenda (sakenda)-kimi no namae o

Hoshi no hikari ga terashite kureru hazu

Issho ni aruita (aruita) ashiato o

 

Tadoritsuita sono sakini kimi ga warau dake de (warau dake de)

Ima wa tsurakute mo norikoe rareru yo

 

I’ll remember forever deaeta kiseki

Zutto kioku no naka kienai you ni

Promise you toukuhanaretemo

Itsumo me o tojireba (kiminosobani) Always be your side

 

Noboru Asahi no aizu de yakusoku shita ano basho e to

Mayowazu ai ni ikukara

I’m coming home again

 

Ikutsu no kisetsu o koe

Tatoe subete o ushinatte mo

Kinou omoidashite mata kagayaku mirai e aruki dasu

 

Our memories never fade mitekita keshiki

Subete mune no oku ni kizama reta mama

Far away~ hanareta to shite mo

Kokoro tsunagatte iru (tsunagatte iru) itsu made mo

 

Shizumu yuhi no aizu de yakusoku shita ano basho e to

Kanarazu ai ni ikukara

I’m coming home again

 

Laten Criminal

Laten Criminal (Bloody Birthday)

Fanfic by Asuka

Starring by Choi Minhwan (FTISLAND) | Choi Minjoo (OC) | etc.

PG-17 for some disturbing content

Horor, suspense, crime, dark-fic | Oneshoot

© 2016, November

.

.

.

I

Seperti orang linglung pemuda itu menyapu pandangannya ke sekitar, di mana ada begitu banyak bergelimpangan makhluk yang semula bernapas kini mulai kaku dan mendingin paru-parunya. Sebanyak apapun pemuda itu mengerjapkan mata, namun yang ia lihat tetaplah sama yakni genangan berwarna primer agak gelap dan berbau. Cairan itu membanjiri lantai ruang keluarga yang sepantasnya terisi oleh atmosfer kegembiraan, cairan itu mencemari kehangatan yang begitu cepat menguap.

Perlahan seluruh tubuh pemuda itu diserang tremor bagaikan penderita parkinson tatkala menyadari betul apa yang sesungguhnya telah terjadi di sana. Keadaan tempat itu kacau-balau, dalam hati ia mempertanyakan banyak hal. Tidak seharusnya ia melihat kondisi semacam ini tepat di hari perayaan ulang tahunnya. Semacam kado berisi mimpi buruk saja.

Dengan liar kedua mata segarisnya menjelajah tiap jengkal ruang keluarga, mulai dari sofa yang kusut-masai, dinding yang bernoda, meja terjungkal, sampai kue tart yang tumpah ruah begitu saja di lantai, kemudian kembali lagi pada enam bentuk kehidupan yang telah ia rampas beberapa saat lalu.

Mwomwo-ya ige?!”

Tengkuknya bagai tersengat. Kepingan memori yang enggan kembali begitu susah untuk dikumpulkan demi menjelaskan suatu peristiwa di sana. Di kepalanya hanya berkelebatan rekaman yang sepotong-sepotong dan justru semakin membingungkan. Maka diulurkannya kaki untuk menyentuh tubuh yang terdekat dari pijakannya.

“Woi..! Jangan bergurau terus. Bangunlah dan tertawa lebar kataku!”

Semuanya bergeming. Semua membisu. Tak satu pun dari mereka yang merespon perkataannya. Hal itu membuat si pemuda semakin merasa gugup. Ia beralih ke tubuh lain, namun belum juga sempat mengucapkan frasa tenggorokannya langsung tersumbat ketika menyadari pada batang leher si tubuh yang ia dekati terdapat sayatan menganga yang memberi akses luar biasa bagi darah itu keluar—tanpa bisa masuk lagi.

Dengan cepat kakinya tersentak mundur hingga sang punggung menabrak tembok. Begitu menoleh ke samping, sepasang mata membelalak dengan sorot tanpa kehidupan menyambutnya. Pemuda itu spontan meneriakkan kata ‘tidak!’ sebelum tersentak bangkit meski terhuyung-huyung. Ia menemukan tak hanya satu bekas tusukan pada perut bagian samping yang menyebabkan kemeja orang itu sobek serta tidak lagi putih bersih.

“Apa yang terjadi, hah?! Kenapa semua orang memainkan peran yang sama dan membosankan?!” Lagi, pemuda itu berteriak seorang diri lalu berusaha mengenali perannya. Ia mengangkat kedua tangannya setinggi wajah dan mulai ngeri begitu mengenali warna yang melumuri telapak tangannya. Ia pun spontan mengecek kemeja di tubuhnya yang terasa lembab, tak ayal warna yang sama pun mendominasi pakaian abu-abu tersebut. Bagaikan hilang keseimbangan, ia terduduk begitu saja dengan mata memerah tak percaya.

Beberapa detik berselang, dari ambang pintu menyeruak seorang gadis berseragam SMU mengenakan topi kerucut yang lucu. Kedatangannya mengejutkan si pemuda.

“Maaf, semuanya… Aku terlam…bat…”

Tas karton tanpa motif yang ditentengnya segera terjatuh. Si pemuda menoleh seraya menggelengkan kepala. Namun gadis itu rupanya tidak memahami makna tersirat dari gelengan tersebut. Ia hanya percaya pada apa yang dilihatnya sekarang.

“Minhwan Oppa… Kau apakan mereka semua, huh?” Belum beranjak jua, gadis itu bertanya dengan gamang.

“Tidak! Ini tidak seperti yang kaupikirkan, Minjoo! Aku sendiri tidak tahu kenapa mereka tiba-tiba begi—”

Geumanhae!” Gadis itu memotong. “Bagaimana kau bisa tidak tahu sementara kau yang bersama mereka di sini?”

Si pemuda menjambak rambutnya putus asa, sementara gadis berseragam sudah menubruk dua onggok tubuh yang dikenalinya sebagai kedua orangtuanya. Raungan disertai tangisan itu mengusik si pemuda. Ia berusaha mendekati gadis berseragam yang tiba-tiba menghardiknya.

Oppa apa yang kaulakukan?! Michyeoseo?! Kau membunuh mereka semua, kau tahu… bahkan kedua orangtua kita..!” Air mata gadis itu merebak lebih deras lagi. Si pemuda merasa kepalanya pening.

“Apa katamu? Kau.. Kau menuduhku membunuh mereka semua?”

“Lalu untuk apa kau mengantongi pisau dapur penuh darah itu?!”

Tubuh pemuda itu sukses membeku. Dengan kaku ia menggerakkan lehernya untuk menoleh dan menemukan sebilah pisau berlumuran darah mencuat dari saku celana bagian sampingnya.

.

.

.

II

Kantor polisi, ruang interogasi. Di sanalah Minhwan berakhir setelah kemarin petang sang adik memergokinya satu ruangan bersama enam orang mayat di rumah mereka. Sang adik menduga Minhwan lah pelakunya mengingat hanya ia seorang yang selamat dan masih bernapas. Ironisnya tragedi itu terjadi tepat di hari ulang tahun pemuda tersebut.

“Namamu Choi Minhwan?” Seorang polisi yang bertanya, ia duduk berhadapan dengan Minhwan dan dipisahkan sebuah meja kotak. Di antara mereka terdapat komputer lipat yang menyala.

Ne. Namaku.. Choi.. Minhwan…,” ia menjawab dengan gamang, seolah raga dan pikirannya berada di tempat terpisah.

“Kau satu-satunya saksi kunci atas kasus ini dan berada paling lama di lokasi kejadian. Benarkah dua dari enam korban tewas adalah orangtua kandungmu?” Polisi mengajukan pertanyaan lain. Kali ini Minhwan hanya menjawabnya dengan anggukan. Pertanyaan terus berlanjut hingga sekitar sepuluh butir yang tidak seluruhnya dapat dijawab oleh Minhwan.

“Di mana Minjoo? Mana dia?!”

“Anak Muda, tolong mengertilah kau tidak sedang dalam posisi itu. Jawab saja pertanyaan yang kuajukan. Bersikaplah kooperatif agar penyelidikan berjalan lancar, eoh?”

Baik detektif polisi yang berada di dalam ruangan maupun di luar serentak menggeleng heran melihat tingkah terduga pelaku mereka yang satu ini. Alih-alih menyetujui, Minhwan justru menekuk kedua kakinya ke atas kursi kemudian memeluk dan menaruh dagunya di atas lutut. Sejemang kemudian ia menutup kedua telinganya karena mendengar suara-suara yang tidak jelas asal muasalnya.

“Berisik! Detektif, katakan pada siapa saja untuk diam! Ini terlalu ramai!” Minhwan mengejutkan para detektif dengan raungannya. Mereka bahkan berada di tempat yang tertutup serta kedap suara.

“Minjoo! Aku harus bertemu dengannya!” Masih menutup telinga, Minhwan beringas mencari adiknya. Ia menatap nyalang seiring bertambah riuhnya suara-suara asing yang terngiang di telinganya. Kadang tidak jelas, namun sesekali terdengar seperti jeritan orang-orang yang paling dikenalnya.

Minhwan pernah mengalaminya kemarin, tepat sebelum ia mengalami disorientasi selama beberapa waktu dan begitu sadar dirinya sudah berada di ruang keluarga saja kendati ia amat yakin sebelum itu dirinya sedang separuh melamun sembari menata beberapa gelas limun di atas baki, tepat di dapur.

Detektif yang duduk di seberangnya melirik ke arah detektif kepala penyelidikan yang berada di luar ruangan melalui jendela. Menggunakan mic kecil yang melengkung serupa pipa dan terhubung ke pengeras suara di dalam ruangan interogasi, lelaki berkumis itu meminta detektif di bawah naungan divisinya tersebut agar keluar—tanpa terduga pelaku, tentu saja. Minhwan ditinggal sendirian bersama kegamangannya.

Detektif menutup pintu di belakang tubuhnya sebelum menghadap sang ketua. Di sela diskusi singkat itu, keduanya sesekali sempat melirik Minhwan yang masih berlaku seperti tadi—meringkuk di kursinya sambil meracau.

“Kurasa kita perlu memeriksakan kejiwaannya ke psikiater.”

Dan mereka pun sepakat.

.

.

.

III

Malam itu rembulan bulat penuh. Supermoon. Satelit bumi tersebut menggantung indah di ketinggian di antara hamparan kecil bintang-bintang yang menoktahi langit kelam. Alam seolah memberikan senyum terbaiknya.

Berbanding terbalik dengan paras seseorang yang melangkah perlahan—cenderung tersuruk-suruk di kesunyian jalan raya. Wajah itu terlihat dingin tanpa ekspresi. Ia menyeret kakinya menghampiri tepian aspal, mendekati pinggiran hutan.

Pemuda berpakaian lusuh itu membawa sebuah bungkusan hitam, terus masuk lebih dalam ke hutan yang hanya diterangi cahaya rembulan. Itupun terkadang dihalangi rimbunnya dedaunan, juga besarnya dahan yang terjulur. Ia belum mau berhenti sampai menemukan sebuah pohon berbatang cukup besar.

Kelihatannya sudah tua namun masih kuat bercokol akarnya. Menggunakan lengannya yang kokoh, pemuda itu merogoh sesuatu dari dalam bungkusan. Beberapa detik saja, di kedua tangannya terdapat dua benda berbeda bentuk namun satu kegunaan. Di tangan kiri tergenggam boneka jerami yang sengaja dibentuk menyerupai manusia dengan tangan dan kaki terentang, sedang di tangan kanan ada pemukul berupa palu yang terbuat dari kayu.

Sejenak ia mengepit palu di ketiak demi merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah pasak yang cukup panjang. Ditempelkannya boneka jerami itu ke batang pohon lalu dipasanginya pasak menggunakan palu di bagian perut boneka. Selanjutnya, leher boneka tersebut dipakaikan sebuah dasi secara serampangan.

Menit berikutnya, si pemuda bermata segaris itu menengadahkan kepalanya ke langit, menatap rembulan, sehingga wajahnya disirami cahaya perak. Jam 12 tepat pikirnya. Inilah waktunya.

Tanpa emosi ia mengayunkan pemukul ke pasak hingga benda runcing itu terhujam semakin dalam di tubuh boneka jerami. Pada pukulan ke dua, wajahnya tampak berekspresi seolah menahan sesuatu. Pada pukulan ke tiga sekaligus terakhir, ia puas.

Si pemuda pun berbalik usai membuang palu ke tanah, meninggalkan perangkat ritualnya di sana. Senyum samar tampak tersungging di wajahnya yang memucat, bersamaan dengan itu darah segar mengalir melalui celah di sudut bibirnya.

Tiba di langkah yang ke sebelas, tubuh itu tersungkur di atas tanah yang kemudian tergenang oleh darahnya sendiri.

Ritual tergenapi.

.

.

.

IV

Gadis belia usia sekolah itu duduk menjuntai di kursi pelataran pusat rehabilitasi kota. Tatapan matanya hampa memandang ke depan, di pangkuannya terhampar koran yang masih baru. Setelah berdiam diri selama beberapa menit, gadis itu mengarahkan kembali perhatiannya pada koran yang sempat dibacanya sesaat tadi.

Dengan rasa tak percaya jemarinya menyusuri setiap kalimat yang tercetak di halaman koran tersebut, lalu menangis kencang. Tak ada yang berubah, beritanya masih sama.

Sang kakak yang disangkanya berada di pusat rehabilitasi setelah sempat menjalani serangkaian interogasi polisi terkait pembantaian brutal yang terjadi di kediaman mereka minggu lalu, nyatanya tidak di mana-mana. Menurut berita surat kabar, petugas menemukan jasad seorang pemuda—yang ternyata kakaknya, Minhwan—di tengah hutan pinggiran kota dengan identifikasi luka dalam yang aneh. Pecah pembuluh darah kendati gadis itu yakin kakaknya tidak memiliki riwayat penyakit berat ataupun kecelakaan fatal yang bisa membawa dampak separah itu.

Ia tak ingin percaya, namun ciri-ciri mayat sungguh tak bisa dibantah sehingga terpaksa Minjoo harus menerima kenyataan pahit lagi, bahwa satu-satunya anggota keluarga yang tersisa kini juga telah tiada. Ia pun sebatang kara.

Dan demikianlah semua itu berakhir.

.

.

.

Finish~

 

Weeh weeh… alurnya kok jadi kayak kodok gini ya, loncat loncat xD Yah anggaplah ini penpik ultahnya Minanayam, walau nulisnya udah telat beberapa hari hihihiii… tiba-tiba aja gituw kepikiran ide cerita semacam ini, sadis-sadisan pula huuh!

Yaudah deh, meskipun telat kebangetan, tetep ucapin happy belated birthday, Minariii~ ^^v (pengakuan, judulnya terinspirasi dari istilah di Psycho-Pass hahaha)

[Fanfic] A Promise (Oneshoot)

aads1

A Promise

Fanfic by Asuka

Starring by:

Song Seunghyun | Choi Minhwan | Song Seunghun (cameo)

Oneshot | Melow-drama, angst, friendship | T

© September 2016

Tak ada lagi yang dapat kulihat selain kegelapan. Hanya warna hitam yang sekarang bisa kukenali. Semuanya sama saja, tidak ada bentuk yang mungkin dibayangkan olehku kini. Monokrom.

Seperti hidupku sekarang, setelah kebutaan menjadi karibku sepanjang waktu. Divonis oleh ahli medis menderita kebutaan—meski tidak permanen—dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan setelah suatu tragedi yang menimpaku. Berjalan pun dituntun oleh benda mati; sepucuk tongkat. Segalanya serba dibantu, kemandirian yang selama ini kumiliki seakan menjauh. Namun tak ada yang mampu kulakukan kecuali berlapang dada menerimanya.

Setiap hari aku terbangun kemudian mendapati tidak adanya perbedaan antara memicing dan terpejam. Pagi tak pernah benar-benar datang mengusir malam yang gulita, bagiku khususnya. Hanya bau, kelembapan, serta bunyi yang memberikan tanda akan waktu. Walhasil, secara tidak sadar aku telah mempertajam indera lain yang kumiliki—setelah mata.

“Aku selesai. Selamat pagi semuanya.” Sekali lagi aku meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan sisa sup di mangkuk. Enggan menuntaskan sarapan dengan alasan kehilangan selera.

Kudengar satu orang mendesah putus asa dan satu lagi berusaha membujuk diriku agar meminum susu yang bahkan baru kutelan seteguk saja. Itu Ibu, pasti. Yang mendesah adalah kakak lelakiku.

“Seunghyun, kau tak harus kehilangan sopan santunmu juga setelah kehilangan penglihatan.” Itu nenek yang memperingati. Ia memang pemerhati sikap sejauh aku mengenalnya. Aku berhenti sejenak sebelum akhirnya membungkuk meminta maaf ke arah yang kuanggap benar lalu meninggalkan meja makan.

Ketiganya berdebat mengenai setuju-tidak setuju atas sikapku barusan sampai kemudian aku kena batunya. Tongkat tak selamanya menuntun ke jalur yang benar, buktinya aku tersungkur setelah menendang sesuatu yang luput dari sensor tongkat.

Mulutku meringis, tak tahu harus memaki siapa. Kakak terburu-buru menghampiriku seraya mengaitkan lengannya, ibuku segera menyusul. Hanya nenek yang masih setia pada semua petuahnya yang seringkali kuabaikan. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirku, merasa tertolong dengan kebutaan itu, jadi tidak harus menyaksikan secara langsung bagaimana ekspresinya ketika mengomeliku.

Setidaknya saat ini aku bisa bersyukur untuk itu.

*

Menggunakan tangan kuraba meja di samping kursi yang sedang kududuki sekarang demi menemukan sebuah alat musik kesayanganku. Gitar akustik. Tak pernah ragu aku memainkannya walau kini orang-orang begitu menyangsikan permainanku. Bagiku tak perlu melihat dengan mata terbuka lebar untuk memetik benda itu, aku hanya perlu melebur bersamanya.

Kini aku mulai memangku gitar, kemudian menuntun jari-jemari di leher jenjangnya untuk menekan sebuah kunci. Tangan kananku siap memetik senarnya hingga menghasilkan nada yang kuinginkan. Namun aku segera meringis dan menghentikan permainan tatkala bunyi yang dihasilkan terlalu sumbang lagi mengecewakan. Hampir menyerah saat instingku menajam dan tiba-tiba saja merasakan kehadiran orang lain di sana, bersamaku.

Aku tidak dapat memastikan posisi orang tersebut secara pasti sehingga mulutku yang bekerja. “Siapa itu? Ibu, apa kau di sana? Kak Seunghun?”

Sesaat kesadaran itu tumbuh. Ibuku sedang pergi ke pasar diantar oleh kakak—jadi mustahil itu mereka. Juga bukan nenek yang tidak akan menerobos seenaknya ke dalam kamarmu tanpa izin. Lalu siapakah itu? Batinku bertanya-tanya.

“Aku terkesan kau dapat menyadarinya!” Orang itu akhirnya bersuara. Membuat lenganku refleks mencengkram pegangan kursi.

“Kau siapa? Katakan!” Aku setengah membentak, tetapi sepertinya tak membuat orang itu gentar sedikit pun. Ia malah berkata dengan riangnya, “Aku hanya penasaran melihatmu. Kenapa tadi berhenti memainkan gitarmu, huh?”

Keningku mengerucut. Orang macam apa yang tiba-tiba muncul di balkon rumah seseorang tanpa meminta izin dulu? Seakan bisa membaca pikiranku, ia kembali bersuara,

“Aku tak sengaja lewat dan melihatmu, jadi aku—”

“Melompati pagar untuk masuk dan memanjat balkon, iya?” sambarku lebih dulu.

“Apa menurutmu begitu?”

Aku diam tak menyahut. Orang itu mencurigakan. Sudah muncul tiba-tiba, nyelonong, tanpa memperkenalka—

“Oya, aku Minhwan. Maaf, jika menurutmu aku sombong” Lagi-lagi ia bertingkah seolah cenayang. Penasaran rasanya seperti apa ekspresinya sekarang. Apa dia sedang tersenyum mengejek, atau menatapku dengan sorot mata merendahkan? Tetapi sebaliknya, aku justru merasakan seseorang menjabat tanganku—seperti orang berkenalan. Minhwan itu pelakunya, pasti.

Setelah ia berhenti menggenggam tanganku, aku jadi agak keheranan. Ia sama sekali tak bertanya mengapa aku tidak menatap lawan bicaraku seperti orang pada umumnya, apa tongkatku tiba-tiba tembus pandang sehingga tak terlihat olehnya?

“Jangan marah, ya. Aku tidak bermaksud buruk kok. Kulihat kau kesepian di sini.”

Ucapannya membuatku terkesiap panik. “Aku?! Kesepian? Itu tidak benar!” sangkalku meski kadang rasanya seolah tak punya siapa-siapa. Semenjak kecelakaan, kebutaan ini membuatku minder sehingga hanya mau berdiam diri di rumah, menjauhi pergaulan dan juga teman-teman. Aku pun memutuskan cuti kuliah mendadak yang mengakibatkan perubahan suasana secara drastis.

“Aku hanya ingin jadi temanmu. Karena aku juga kesepian, sepertimu.”

Mataku mengerjap, ajaib sekali kalimat-kalimat itu bagaikan mantra. Hatiku tersentuh karenanya, bahkan dari orang yang baru saja kukenal. Penyebabnya adalah ada ketulusan dalam nada suaranya yang membuatku percaya begitu saja.

Meski aku tidak bisa melihatnya, sebagian hati ini yakin jika kini orang yang mengaku bernama Minhwan itu sedang tersenyum lebar padaku. Ia juga menyentuh gitarku tanpa sungkan hingga terdengar bunyi yang khas sebagai akibat salah satu senarnya meregang. Kemudian ia mencicit tertawa seolah hal itu lucu.

Anehnya alih-alih menjadi berang, aku justru ikut tersenyum seperti terjangkit suatu virus. Entah kapan terakhir kali senyum tersemai di wajahku, sejak kecelakaan itu sulit sekali berdamai dengan diriku sendiri yang pada akhirnya berdampak akan hilangnya hasrat untuk ceria.

Aku tersentak ketika Minhwan menyentuh lenganku dan berkata, “Jadi, sekarang kita berteman?”

Aku pun menyetujuinya tanpa bantahan.

*

Selama beberapa malam setelah pertemuan yang terbilang cepat itu, aku memikirkannya. Tentang Minhwan. Bahkan sewaktu kami sedang bersenda-gurau beberapa hari belakangan. Apa mungkin ia adalah orang suruhan kakak yang sengaja ditugaskan untuk menemaniku? Jika benar begitu, aku takut akan kecewa, sebab pertemanan ini hanya sebatas formalitas semata.

Namun aku ingin sekali percaya bahwa Minhwan bukan orang yang demikian. Buktinya sampai hari ini pemuda itu tak pernah menyinggung tentang kecacatanku, dia memperlakukanku bagai orang normal. Ditambah lagi ia juga tak pernah mau kedatangannya diketahui atau meminta diperkenalkan pada anggota keluargaku. Semua harus dirahasiakan. Hanya aku yang boleh tahu.

“Yang penting kau senang, Songsari. Itu lebih utama.” Begitu alibinya agar aku tak terus menerus memaksanya bertemu Ibu maupun Nenek.

Saking akrabnya kami dari hari ke hari, ia punya julukan khusus untukku, begitu pun sebaliknya. Songsari, demikian ia memanggilku. Dan Minari, adalah sebutanku baginya. Aku benar-benar merasa diberkati karena mendapat seorang teman seperti Minhwan. Ia periang dan cocok menghalau kemuramanku. Kami bahkan mendeklarasikan balkon kamarku sebagai tempat favorit.

Nyaris setiap sore atau malam, Minhwan akan mengetuk pintu kaca geser yang menghubungkan kamarku dengan balkon seusai melompati pagar dan memanjat naik menggunakan tali yang kini kusediakan agar memudahkannya setiap kali hendak bertandang. Setidaknya itulah yang bisa kubayangkan sebagai caranya untuk berkunjung.

Seperti malam ini pun, aku keluar menemuinya di balkon dan memulai konversasi. Minhwan lah yang membuka topik percakapan pertama kali.

“Apa kau punya impian, Song?”

“Yang sudah, atau belum tercapai, nih?”

Ia mendengus. “Terserah kau saja.”

Aku tersenyum sebelum menceritakan perihal impianku. Mulai dari angan-angan masa kecil, sampai obsesi terbesar tentang musik. Aku juga bilang pada Minhwan bahwa aku ingin sekali menjadi seorang musisi dengan gitar sebagai senjata utama.

“Maksudmu, kau ingin jadi komposer dan pencipta lagu, begitu?” tanyanya dengan agak bingung. Aku mengangguk kemudian mengetuk tas gitar yang tergeletak di lantai menggunakan tongkat.

“Tapi kurasa impian itu sudah jauh sekarang. Aku tidak bisa apa-apa dengan kondisi yang… seperti kau tahu ini.”

Tepukan Minhwan mendarati bahuku. Terasa lebih keras untuk sekadar gurauan. “Kenapa tidak? Banyak musisi dunia yang sukses bahkan dengan segala disabilitas mereka—yang tidak banyak diketahui publik. Mereka tetap memiliki sensitivitas terhadap musik.”

Aku tersenyum kecut. Ucapan memang terdengar mudah, tetapi tidak dengan pelaksanaannya di lapangan—bagiku. “Kalau aku berhasil, kau mau ya jadi pendengar pertamaku?”

Minhwan hanya diam sampai aku mengajukan pertanyaan untuknya, tentang impiannya. Ia terdiam lagi agak lama, kemudian dengan entengnya menjawab sesuatu yang bahkan tak pernah terpikir olehku.

“Impianku sederhana, mungkin juga tidak terdengar seperti sebuah impian…” Minhwan mengatakan bahwa ia hanya ingin mengajak adiknya untuk menonton sebuah film aksi yang baru-baru ini rilis di bioskop dan sedang gembor dibicarakan. Sempat-sempatnya aku menelengkan kepala karena takjub, sesederhana itukah?

“Eii.. Kau pasti punya impian lainnya, ya kan? Beritahu aku, Minari…” rengekku kekanakan walau wajahku bahkan tak terarah padanya.

“Benar-benar hanya itu, kok. Percaya deh! Tidak ada yang lebih penting daripada adikku sekarang.”

Aku tertegun mendengarnya, suara Minhwan menyendu di akhir kalimatnya. Sepertinya ia bersungguh-sungguh. Demi memperbaiki suasana, kusarankan Minhwan agar mengajak adiknya ikut berkunjung ke rumah besok-besok.

“Aku tidak tahu film itu, aku kuper belakangan ini hehe. Tapi kalian bisa pergi berdua dan aku yang belikan tiketnya. Sebagai ganti, pulangnya ceritakan padaku bagaimana serunya film itu. Oke?”

Minhwan tidak merespon, sebagai tanda tidak setuju. Mendadak aku kehabisan akal dan tiba-tiba saja merasa takut telah menyinggung perasaannya. Saat aku hendak menghiburnya, kekehan khas Minhwan menggema dan melegakan hatiku. Ia bilang tidak usah karena adiknya adalah tanggung jawabnya.

“Andai aku bisa carikan kau pekerjaan baru.” Aku mendesah mengingat curhatan Minhwan tentang pekerjaan paruh waktunya di sebuah pengisian bensin tempo hari. Ia bilang sudah berhenti dari sana.

“Jangan cemaskan aku, kau hanya perlu pikirkan dirimu.”

Mulutku berubah maju, tidak suka ia memintaku bersikap selfish. Selama ini sudah jarang aku peduli pada orang lain dan menawarkan bantuan, ketika tiba saatnya malah ditolak mentah-mentah.

“Tapi lain kali ajak adikmu itu, ya? Aku ingin kenalan dengannya. Janji?” Aku mengulang permintaan yang tadi dan mengacungkan jari kelingking agar Minhwan mengaitkannya sebagai bukti. Lama tak kunjung ada yang merangkul jemari bontotku itu.

“Bagaimana, ya..? Janji tidak ya..?” Minhwan berkata menggoda lalu tertawa. Aku melepas tawa juga sambil menurunkan jari kelingkingku, membatalkan perjanjian.

Aku masih sibuk tertawa dan mulai lupa akan kesedihanku karenanya, aku lanjut tergelak ketika Minhwan mengajukan tebak-tebakan. Dan aku sepenuhnya melupakan benih kecurigaan terhadapnya. Seratus persen aku percaya pada Minhwan, pada teman yang muncul ketika sedang dibutuhkan.

“Maaf karena sekarang aku tidak mampu lagi memenuhinya…”

“Kau berkata sesuatu?”

“Tidak. Hei jawab tebakan terakhirku tadi dong, Songsari!”

*

Pembicaraan mengejutkan itu dimulai saat makan malam. Aku tidak pernah bermimpi keluargaku akan membahas hal tersebut. Seperti biasa aku akan meninggalkan meja makan selangkah lebih cepat dari yang lain, dan obrolan serius itu terjadi di belakang punggungku.

“Besok aku akan mengantar Seunghyun ke dokter. Kita akan mengonsultasikan mengenai matanya, sekaligus…”

Kalimat Seunghun—kakakku—terpotong oleh suatu hal. Kudengar bunyi sumpit yang terhenti, mungkin Ibu sedang menyentuh lengan kakak seperti yang biasa ia lakukan kala dulu kami berdua sering berdebat di meja makan.

“Ada apa, Bu? Kita harus mengajaknya ke psikiater segera! Aku khawatir melihat kondisinya kian hari!”

Kudengar raungan frustasi Seunghun dari balik tembok penyekat. Apa yang salah? Kenapa harus membawaku ke psikiater segala? Aku positif tidak mengerti namun bersikukuh mendengarkan lebih lanjut pembicaraan mereka.

“Seunghun sudahlah! Tidak ada yang terjadi dengan adikmu, dia hanya sedang membuat lagu seperti kebiasaannya selama ini!”

Tubuhku menggigil, pembelaan Ibu terhadapku terdengar mengenaskan. Bagiku segalanya telah berbeda, hanya perempuan yang telah melahirkanku dari rahimnya itulah agen anti perubahan dalam hidupku. Aku mulai menyamakannya dengan Minhwan, yang tetap menganggapku sebagai Seunghyun yang dulu. Yang memiliki penglihatan.

“Apa bernyanyi, tertawa, bicara sendiri itu terlihat normal bagi Ibu? Itu yang Seunghyun lakukan seminggu belakangan!”

“Seunghun hentikan!!!”

Bagai tersengat lebah, sakit di titik tertentu yang kemudian menyebar ke segala arah. Bagaimana mungkin usaha merahasiakan diri yang dilakoni Minhwan, dianggap seperti itu oleh kakak?

“Seunghyun mulai menciptakan teman khayalannya. Kurasa Seunghun benar, kau tidak perlu ragu lagi, Hojung-ah.” Nenek mendukung Seunghun sepenuhnya. Berkomplot memojokkanku.

“Kumohon, putra bungsuku tidak gila, Ibu…” Kudengar Ibu terisak mempertahankan kewarasannya. Sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa selain beringsut meniti tangga satu persatu. Melarikan diri dengan tertatih-tatih menuju kamar hingga menghilang di balik pintu. Di sanalah keterpurukan yang lebih suram telah menunggu, menyadari bahwa betapa tidak hanya diriku yang mencemaskan kondisi ini. Tongkat tergelincir dari genggamanku.

“Tapi… Apa maksud kakak ke psikiater? Teman khayalan yang mana?” Kupikir Seunghun hanya sedang memboikot Minhwan dengan jalan menuduhnya. Tidak! Jangan! Aku memohon sebab saat ini hanya Minhwan satu-satunya teman terdekat yang kumiliki.

Samar-samar terdengar ketukan dari arah balkon. Aku mengangkat kepala yang tadinya tersuruk di antara kedua lutut yang tertekuk, mengusap mata yang terlampau basah.

“Apa aku mengganggumu, Song?” Angin lembut itu datang bersama kehadirannya. Ia setengah berbisik ketika aku sudah menghampirinya.

“Tidak kok, Minari. Masuklah,” ajakku padanya, namun seperti yang sudah-sudah, ia selalu menolak menginjakkan kaki ke ranah yang menurutnya adalah ruang privasiku. Aku mengalah dan bergabung bersamanya di balkon.

“Kau sedang ada masalah, ya? Kalau mau, kau bisa ceritakan semua itu padaku.”

Kutolehkan wajah ke arah datangnya suara Minhwan, berusaha menghormatinya yang sudah bersedia datang menenangkanku.

“Minari, maukah kau mengabulkan sebuah permintaan dariku?” Aku menatapnya dari balik kegelapan.

“Aku akan berusaha memenuhi satu keinginanmu,” jawabnya.

Aku meneguk ludah sebelum mengatakan, “Temui Ibuku sekali saja. Biarkan ia melihatmu dan percaya sehingga bisa meyakinkan kakakku bahwa aku masih waras.”

“Itu.. Aku tidak bisa. Maaf.”

“Ibuku baik sekali, dia pasti akan menyukaimu! Percayalah!” bujukku lagi berharap bisa mengubah pendiriannya. Namun yang kudapat hanya bunyi keriut kursi yang ditinggalkan oleh penghuninya. Minhwan bangkit dan membuat beberapa langkah di depanku.

“Aku percaya, tapi tidak sekarang.”

“Kapan? Kapan kau bisa?” desakku tak sabar hingga ikut berdiri dan tongkat segera menghentak lantai mencari keberadaan Minhwan. Tak tahu seberapa jauh jaraknya dariku, tetapi tongkat ini tak kunjung menjangkaunya.

Sebelum aku berhasil menemukan keberadaan Minhwan, suara Ibu memanggil dari luar kamar. Persis di depan pintu sambil mengetuk. “Seunghyun, kau belum tidur? Boleh Ibu masuk, Nak?”

Sementara aku berhenti mencari Minhwan yang kini benar-benar membisu, mulutku sibuk menyahuti Ibu. “Aku masih terjaga! Sebentar, Bu, aku buka kuncinya.” Untuk sejenak urusan Minhwan terabaikan.

“Kau tidak apa-apa? Ibu khawatir karena kau tidak segera menyahut.” Ibu bertanya keadaanku dengan suara yang lebih serak dari yang terdengar di balik pintu, ia bilang ia khawatir padaku.

“Bu, apa kau menangis?” Tangan kiriku terangkat mencari wajahnya, hendak memastikan tidak ada jejak air mata di sana. Namun tangan ini justru disambut genggaman hangat nan penuh kasih sayang. Hatiku kembali tersentuh.

“Apapun yang Seunghun katakan tentangmu, jangan dipikirkan. Ia hanya terlalu posesif sebagai seorang kakak. Ibu selalu di pihakmu, Nak. Ibu janji.” Kami duduk di tepi tempat tidur dengan tangan masih bertautan. Saling menguatkan satu sama lain. Aku mengangguk karena selalu menempatkannya di posisi nomor satu sebagai orang paling terpercaya dalam hidupku.

“Terima kasih, Bu. Oya, aku ingin kau menemui seseorang.” Aku tahu aku telah melanggar janjiku pada Minhwan, nekad memberitahu Ibu tentangnya. Kubawa Ibu ke balkon dan mengatakan ada seseorang di sana.

“Sebenarnya siapa yang kau maksud? Tidak ada siapa-siapa di sini. Kau yakin?”

Aku membatu di tempat. Minhwan menghilang begitu cepat, apakah ia pergi saat aku membukakan pintu untuk ibu tadi? Kupikir pemuda itu tersinggung akan permintaanku, atau barangkali Minhwan sempat mendengar pembicaraan kami barusan sehingga langsung mengambil tindakan antisipasi dengan cara kabur. Apapun itu, aku langsung merasa bersalah atas kelancanganku.

“Sepertinya dia sudah pergi, Bu. Mungkin lain kali saja.”

“Oh.. Ya sudah, temanmu itu tampaknya pemalu. Sekarang kau istirahatlah, Ibu akan turun membuatkan segelas susu hangat agar tidurmu nyenyak.”

Kepalaku hanya mengangguk kaku. Perasaan bersalah itu masih memberatkan, kupikir harus meminta maaf secepatnya jika bertemu Minhwan lagi besok atau lusa.

*

Sepertinya Ibu tersenyum cerah begitu kami keluar dari ruang konsultasi dokter. Yang berarti ia baru mendengar kabar baik terkait masalah mataku. Aku pun sudah tahu bahwa pihak rumah sakit berjanji akan berusaha mencarikan donor mata untukku dan begitu sudah ada, maka mereka siap untuk melakukan pencangkokan.

Persentase kemungkinan aku bisa melihat lagi membengkak dari sepuluh persen ke tujuh puluh delapan. Seunghun turut bersyukur menyadarinya. Namun saat memasuki mobil dan kakakku itu mulai berkendara, Ibu sama muramnya dengan penglihatanku. Kami sedang menuju psikiater kenalan kakakku—seperti ucapannya.

“Tidakkah sebaiknya kita tunda dulu?” Ibu mencoba bernegosiasi namun yang ia dapat hanya gelengan tegas. “Se-ka-rang, Bu.”

Ibu mendesah, tak ingin berdebat di hadapanku.

“Aku akan buktikan kalau aku masih waras, jangan khawatir,” ujarku mantap. Merasa yakin, apapun yang kuhadapi nanti, tidak seorang pun lebih tahu aku dengan baik selain diriku sendiri.

Aku sudah duduk berhadapan dengan seorang psikiater yang menurut Seunghun berusia sekitar empat puluh, hanya berdua di ruangannya. Sementara Ibu dan kakak menunggu di luar. Psikiater itu bilang ia akan memindai roman mukaku terlebih dahulu sebelum membuka lembaran kertas yang terjepit pada clipboard di atas mejanya.

Ia mulai mengajukan beberapa pertanyaan, dari yang sederhana hingga agak rumit. Kadang ia menyuruhku melakukan suatu gerakan, atau hanya memintaku memilih salah satu opsi jawaban.

Selama jangka waktu tertentu, ia menuliskan hasil laporan dan memindai beberapa hal di atas kertasnya. Begitu sesi tanya-jawab itu selesai, ia mengucapkan terima kasih dan menyalamiku. Kami pun keluar ruangan bersama-sama.

“Aku senang ternyata kau baik-baik saja.”

Aku hanya tersenyum—isyarat kemenangan—menanggapi ucapannya. Seunghun mungkin kecewa karena tuduhannya tak terbukti, sebaliknya aku senang sebab dapat meyakinkan Ibu kalau putra bungsunya ini masih memiliki psikis yang normal.

Psikiater itu memberikan hasil tesku tadi pada kakakku, sembari menjelaskan bagaimana kondisiku yang menurut kesimpulannya baik-baik saja, hanya sedikit tertutup sebagai dampak dari kecelakaan yang mengejutkan. Ia juga meminta Ibu memaklumiku jika terkadang senang menyendiri, alasannya semata karena aku sedang menata diriku yang dulu lagi. Kami pun pulang.

Di rumah nenek telah menunggu dan ikut lega mendengar hasilnya. Bagaimana pun, ia mengaku prihatin juga jika cucu kesayangannya mengalami sesuatu yang buruk lagi.

“Nah, mulai sekarang berhentilah bertingkah tidak wajar. Jujur saja, aku juga malas mengajakmu menemui psikiater, seolah aku ini punya saudara yang berkelainan. Tapi ini demi kebaikanmu juga, Dik. Kami hanya ingin kau ceria seperti dulu lagi, tinggalkan masa-masa sulit ini. Ingat, kau tidak sendirian. Kau punya aku, Ibu, dan juga Nenek.”

Aku tahu maksudnya itu baik, hanya aku tidak suka caranya. Pergi ke psikiater bukan pilihan utama karena aku merasa tidak bermasalah sama sekali. Untuk kali ini aku memaklumi, tidak ada salahnya kan mencoba?

Sepeninggal Seunghun suasana hatiku berubah drastis. Aku teringat pada Minhwan yang beberapa hari ini tidak pernah mampir lagi. Ke mana bocah itu? Aku semakin takut kalau tindakan nekatku tempo hari benar-benar menyakiti perasaannya. Padahal aku berharap sekali ia muncul malam ini, biar bisa membagi kabar gembira yang disampaikan dokter di rumah sakit tadi tentang mataku.

Di balkon aku duduk sendirian sambil menikmati kesiur angin musim gugur yang mengantarkan bau dedaunan. Lima, sepuluh, dua puluh menit sudah aku berada di sana, membiarkan nyamuk-nyamuk menusuk moncongnya ke dalam pori-pori kulitku, namun yang kutunggu tak kunjung datang.

Yang benar saja? Aku sudah membuat satu-satunya teman yang kumiliki sekarang menjauh begitu saja karena keinginan egoisku. Sepertinya aku memang pantas dihukum, Minhwan menghindariku dan itu sudah cukup menyakitkan.

Minhwan… Maafkan aku…

*

Hingga donor mataku sudah ditentukan dan tanggal operasi telah direncanakan oleh dokter, Minhwan tak pernah muncul lagi. Ia seolah terjatuh ke dasar bumi dan tak sanggup keluar. Kabar gembira itu menjadi tidak terlalu menyenangkan lagi, tetapi aku sadar sudah seharusnya kusyukuri hal ini. Aku bisa melihat lagi dalam waktu dekat dan itu bisa memudahkanku untuk mencari Minhwan setelahnya.

Ibu menemaniku sampai di ruang ganti dan ketika para suster sudah membaringkanku di ranjang dorong, hanya genggaman tangan dari Ibu, Kakak, serta Nenek yang mengiringiku sebelum memasuki ruang operasi seorang diri. Kudengar suara dokter memerintahkan seorang anestesi untuk menginjeksikan obat bius kepadaku sehingga semuanya menjadi hening dan aku tertidur.

Tidak pasti berapa lama aku tak sadarkan diri, tahu-tahu kesadaranku mengumpul dan suara-suara memasuki gendang timpani. Makin lama makin jelas, dan di antaranya ada suara keluargaku. Aku menggerakkan tangan sebagai isyarat telah tersadar, yang segera saja direspon oleh orang-orang di sana.

“Seunghyun, kau sudah bangun, Nak?” Itu Ibu. Aku mengangguk kecil kemudian bertanya bagaimana hasil operasinya. Sejurus kemudian kurasakan usapan di puncak kepala oleh telapak tangan yang begitu hangat.

“Kata dokter, nanti malam perbanmu sudah bisa dibuka.”

Aku menghembuskan napas lega, mengabaikan pelukan erat Seunghun diiringi ucapan selamatnya padaku. Pikiranku kembali terlempar ke seseorang, Minhwan. Akankah ia hadir di momen buka-perbanku malam ini? Adakah ia datang di hari operasiku kemarin? Aku tahu tak ada jawaban untuk itu.

Malamnya, semua orang berkumpul di kamar rawatku. Menanti hasil yang baik pasca operasi yang terbilang lancar. Aku sendiri menyadari, jantungku berdetak tak seperti biasanya. Gugup sekaligus senang, akan bisa melihat lagi setelah beberapa waktu kehilangan kemampuan tersebut.

Dokter memintaku agar rileks saja sementara ia bekerja membuka perban yang membungkus sekeliling kepalaku di sekitar mata. Kemudian tangannya melepas plester yang menahan perban di depan kedua mataku secara perlahan, satu persatu, dimulai dari mata kanan lalu ke kiri. Ia menginstruksikan agar aku membuka kelopak mata perlahan-lahan saja, jangan dipaksa.

Sedikit gemetar aku mengikuti perintahnya. Mula-mula sulit, namun kemudian menjadi lebih mudah. Kelopak mata ini akhirnya menurut dan aku mengerjap. Tadinya masih agak gelap hingga samar-samar ada bayangan yang tertangkap oleh retina baruku, semakin jelas dan bertambah terang setiap detiknya. Aku benar-benar bisa melihat lagi. Kudapati Ibu menangkup tangannya di depan mulut, harap-harap cemas menunggu respon dariku. Ada pula Seunghun yang tampak menahan napas. Para suster juga dokter menanti reaksi pertamaku.

“Aku bisa melihat. Jelas sekali.”

Ibu langsung memberiku pelukan yang erat. Erat sekali sampai rasanya aku sulit bernapas. Beliau terlihat bahagia sekali di atas semuanya. Kakak mengusak rambutku, tak urung matanya juga berkaca-kaca memandangku. Dokter dan suster bergantian menyalamiku, mengucapkan selamat juga bangga karena operasi mereka berhasil.

Ya, satu tanjakan telah berhasil kulalui dengan selamat. Tinggal satu tanjakan terjal lagi menantiku, dan aku justru tidak yakin bisa melewatinya kali ini.

Selama masa pemulihan di rumah sakit, Ibu dan Kakak bergantian menemaniku. Meski kukatakan aku baik-baik saja meski sendiri, namun mereka memaksa untuk bermalam di sana. Nenek hanya datang sesekali mengingat kondisinya yang sudah nyaris uzur dan renta, tak boleh banyak ke sana ke mari hingga membuatnya lelah.

Dan pada suatu malam ketika Kakak belum pulang dan giliran Ibu menemaniku di rumah sakit, aku memutuskan terbuka pada mereka. Aku pun bertanya sesuatu hal.

“Temanmu yang datang berkunjung, ya? Tidak banyak, tetapi ada,” Ibu berkata sembari membereskan sampah kulit apel yang tadi kumakan.

“Yang titip pesan saja tapi tidak menemuiku, apa ada, Bu?” Kali ini pertanyaanku sudah menjurus. Ibu mengingat-ingat, namun kemudian menggeleng. Mereka tak mendapatkan tamu semacam itu. Harapanku perlahan pupus. Minhwan mungkin sudah melupakanku.

“Oh ya Seunghyun, sebenarnya aku ingin menanyakan ini padamu.” Aku beralih menatap Seunghun yang bergerak mengeluarkan ponselnya kemudian memperlihatkan sebuah video untukku. Itu rekaman CCTV dari tempat yang tidak terduga.

“Kami tak sengaja menemukan ini, Dik.”

Dalam rekaman kamera pengintai yang terpasang di sudut atas balkon kamarku, tampak aku sedang duduk di kursi memangku gitar. Aku tak pernah tahu ada kamera di sana. Tanggal yang terpampang menunjukkan hari pertama Minhwan muncul. Durasi video sudah memasuki menit ke empat, tapi tak ada tanda-tanda kemunculan Minhwan. Hanya ada aku yang tampak bergerak-gerak dan berbicara sendiri.

Hingga rekaman itu selesai dan aku terlihat masuk ke kamar, tidak seorang pun bersamaku. Apa maksudnya Minhwan tidak terekam kamera?

“Aku menyadarinya begitu melihat rekaman ini. Sebenarnya kau sedang apa di balkon dan bertingkah aneh seperti itu, Seunghyun?” Seunghun menghentikan pemutaran video dan bertanya padaku.

“Ini pasti salah, Kak. Tidak mungkin, aku selalu bersama seseorang di balkon. Minhwan, namanya Minhwan. Dia itu teman bicaraku selama ini!”

Ibu meraih tanganku yang bergerak-gerak, menenangkanku yang mulai panik. Tak mempercayai kenyataan mengguncangkan itu. Mulutku tak sanggup lagi berucap, hanya menyampaikan protes melalui sinar mata yang ditanggapi gelengan kepala oleh Ibu. Seunghun pun bersikeras meyakinkanku dengan memutar beberapa rekaman CCTV lain selama beberapa malam berturut-turut.

Siapa yang tega memanipulasi rekaman tersebut sehingga jadi begini?!

*

Logikaku nyaris menolak keanehan yang tampak dalam bukti berupa rekaman CCTV milik Seunghun. Benar-benar ada yang salah dengan hasil rekaman itu, ataukah otakku yang bermasalah? Tidak, tidak! Aku tidak gila hanya karena menjadi buta sesaat. Tetapi bagaimana caranya Minhwan menghindari mata kamera yang senantiasa mengawasi sedang ia tidak berada di titik mati sekali pun?

TLUK

“Silakan pergi ke tempat di mana seharusnya kau berada.”

Aku menoleh sambil memijat pelipisku yang berdenyut setelah dilempari sebatang spidol oleh seorang dosen galak. Ia memergokiku sedang melamun di kelasnya ketika kuliah berlangsung.

“Bukankah kau tidak berselera mendengar kuliahku dan pikiranmu di tempat lain? Jika di kepalamu membayangkan kantin atau taman universitas, pintu kelas ini tidak terkunci saat kau melewatinya.”

Aku berusaha tidak menambah deret kesalahan, namun dengan kediamanku justru menaikkan tingkat emosinya. Dosen itu sudah berjalan ke arah bangkuku, hendak menyeretku keluar sebelum dengan sendirinya aku berdiri dan mengangkat tas serta kaki.

Mianhamnida!” ucapku sebelum terbirit-birit mencapai pintu. Begitu pintu kelas sudah tertutup, aku menyandarkan punggung ke sana sembari menghela napas. Belum genap seminggu aku kembali kuliah, sudah ada dosen yang sebal karena ulahku. Ya ampun!

Rajutan langkahku terarah ke taman universitas dan berhenti di depan pos keamanan. Di dalam bilik 6X6 meter itu tengah duduk seorang satpam berseragam abu-abu sambil memutar-mutar tombol tuning radio sementara rekannya pergi berkeliling. Aku menyapanya singkat dan menduduki kursi besi yang tersedia di luar pos satpam. Iseng, aku meraih tiga lembar koran lecek yang tergeletak begitu saja di atas kursi kemudian mulai membaca satu persatu tajuk di tiap kolom berita.

“Ini koran Bapak?”

Si satpam menoleh sekilas, lalu menggeleng. “Bukan. Paling punya mahasiswa yang ketinggalan.” Lalu ia kembali menyetel radio.

Aku mencermati tanggal terbit yang tertera di pojok atas koran, tertanggal dua hari setelah insiden tragis yang termasuk aku di dalam daftar korbannya. Dan ada satu berita yang sanggup membelalakkan kedua netraku.

LEDAKAN DI POM BENSIN KOTA, MENGGEMPARKAN SEOUL. Demikian tajuknya diiringi cetakan berita, lengkap beserta foto lokasi yang sebagian hangus. Tak pernah terpikirkan olehku akan masuk koran, namun lucunya malah menjadi korban terparah. Saat membaca nama-nama korban tewas, sesuatu menarik perhatianku seketika.

“Choi… Usia… sembilan belas…” gumamanku tersendat layaknya saluran radio milik si satpam. Lidahku tercekat pada korban ke sepuluh, namanya memanaskan kelopak mataku sehingga berair tanpa sebab. Aku sukses tak percaya ketika melihat nama Minhwan tertera sebagai salah satu korban dalam insiden pom bensin yang juga melibatkanku.

“Choi… Choi Min.. Hwan? Ini bukan dia, kan?” Kebetulan itu terkadang mengerikan. Berapa banyak penduduk Seoul yang bernama Minhwan?

Dengan rasa tak percaya, aku membaca keseluruhan berita hingga tuntas dan akibatnya bahuku melunglai. Jurnalis menuliskan, berdasarkan analisa CCTV di lokasi oleh polisi, ledakan itu terjadi karena kelalaian seorang pegawai pom bensin yang lupa mematikan kendaraan yang dititipkan padanya untuk diisikan bahan bakar sementara pemiliknya ke toilet. Nama pegawai itu adalah Choi Minhwan.

“Jadi… inikah alasanmu datang padaku selama beberapa waktu itu, Minhwan-Ssi?”

Minhwan telah menebus kelalaiannya yang menuai deritaku, si korban paling parah namun beruntungnya masih mampu bertahan hidup.

*

Epilog

-Author POV-

Seunghyun sedang berkendara sepulang dari kampus kala penanda bensin di dashboard mobilnya menyala merah. Beruntung tak jauh ada pom bensin. Seunghyun mengarahkan kemudinya memasuki area pom bensin dan menempati antrian ke tiga di jalur khusus roda empat. Deru mesinnya langsung mati ketika kunci diputar. Sambil menunggu giliran, pemuda itu meraih ponselnya yang tercatut di samping kemudi. Ia sempat melihat seorang pria berjas rapi buru-buru keluar dari mobilnya yang tepat berada di depan mobil Seunghyun, sejenak menghampiri seorang petugas pom bensin untuk mengatakan sesuatu kemudian berlari ke arah toilet.

Seunghyun kembali melihat layar ponselnya ketika si petugas pom bensin bersiap menaruh corong di lubang bensin mobil di depannya. Tepat saat pemuda itu meremas tuas corong pengisiannya, suara luar biasa keras menggema di seluruh area tersebut. Seunghyun hanya sempat melihat sesuatu berwarna merah terang menyilaukan dari arah depan sebelum mobilnya terguling ke belakang.

Seluruh kaca bagian depan mobil Seunghyun remuk, sebagian terlempar ke wajah dan juga tangannya yang berusaha menghalau sabetan kepingan benda tajam tersebut. Dengan kondisi kesakitan dimana kedua matanya terkena saputan hawa panas si jago merah yang menjilat-jilat di depan sana, Seunghyun mengerahkan sisa-sisa kekuatannya untuk keluar dari mobil, meski pun harus merangkak dan buta arah.

Pintu kursi pengemudi yang terlepas mempermudah usaha penyelamatan dirinya. Jemari dan telapak tangannya perih menekan serpihan kaca mobil yang banyak berserakan di tanah. Seunghyun terus menjauh dari keberadaan mobilnya tanpa rintih kesakitan, ia tidak punya waktu lagi untuk mengeluh. Jika ingin selamat, maka ia harus mengambil jarak sejauh mungkin.

Namun tenaganya telah di ambang batas, Seunghyun tak dapat lebih jauh lagi hingga harus terkapar sekitar dua meter dari keberadaan mobilnya sendiri. Ia tak dapat membuka matanya yang kian berdenyut sampai kesadaran itu perlahan meninggalkannya.

Tak jauh dari posisi tubuh Seunghyun tertelungkup, seorang pemuda dengan pakaian seragam pegawai pom bensin yang sobek dan hangus di sana-sini mengulurkan tangan gemetar. Ia melihat darah membasuh wajah pemuda kaya di sampingnya, diam secara mengenaskan. Nasibnya pun tak kalah mengenaskan, pemuda pegawai pom bensin periang ini sedang giat mengumpulkan uang demi membelikan tiket bioskop film populer terbaru untuk sang adik sepulang bekerja hari ini. Rencana tinggal rencana, tak pernah ada yang tahu akan masa depan.

Ironisnya terjadi kecelakaan saat jadwal shiftnya dan ia pikir seluruh uang yang telah dikumpulkannya sudah hangus bersama ledakan tadi. Ia baru saja menghancurkan impian sang adik serta impian orang-orang yang menjadi korban akibat kecerobohannya yang lupa mematikan mobil titipan ketika mengisi bensin.

Lama ia menatap satu persatu tubuh yang bergelimpangan di sekitar, hingga napas yang sisa satu-satu memperingatinya akan waktu yang tersisa baginya tidak banyak lagi. Kembali pemuda itu mengarahkan netranya pada tubuh Seunghyun—si pemuda kaya—dengan sorot kepedihan. Lamat-lama mulutnya terbuka mengucapkan kata-kata terakhir secara patah-patah.

“Mi-mian..hae.. aku cer- roboh dan.. pan..tas ber- bertang..gung.. ja..wab..”

Sedikit demi sedikit mata sipit itu menutup bersama sebuah janji yang ia tancapkan di hadapan si pemuda kaya.

 

FINISH!

 

Kyaaaa ep-ep acakadul terlahir kembali xD udah panjang, bikin pusing, bad ending pula. Bah, lengkap sekali keabsurdan cerita ini kkkk~ aku cuma pengen kombek tapi bingung mo bawa apaan, ya udah aku ngelanjutin ep-ep ini yang ada setengah tahun lalu mulai kutulis, etapi sempat stuck akibat writersblock 😀 ngerti ga sih sama inti ceritanya? Ampun deh ini emang berbelit-belit kayaknya wkwkwk~ Yasudahlah, nikmati saja persembahanku yang ancur ini ahahaha *bow*

[Ficlet] Knock

Knock

Story by Asuka

Starring by

Seo Yuna (AOA)

Ficlet (570+ words) | Horror | G

29/12/2015

Aku sedang serius mengetik sinopsis untuk naskah novelku yang baru selesai rampung bulan lalu ketika dari pintu depan terdengar ketukan teratur. Aku sengaja menoleh—sekalian melemaskan otot leherku yang tegang karena berkutat di depan layar komputer terus menerus—dan mendengarkan sekali lagi bunyi ketukan tadi. Berulang dan kali ini aku yakin yang datang itu adalah si Mina, teman baikku di kampus.

Aku sengaja mengundangnya malam ini karena tidak suka harus sendirian saja di rumah sementara kedua orangtuaku pergi menginap ke kota sebelah menghadiri acara ulangtahun adik sepupuku, Seo Youkyung. Jangan tanya kenapa aku ditinggalkan, ya besok itu aku punya dua ujian mata kuliah sejak pagi. Siapa yang mau dapat nilai E hanya karena bersikeras ikut ke acara yang tidak lebih penting itu.

Mina bilang akan datang sekitar jam tujuh tigapuluh karena ia harus menidurkan adik lelakinya dulu yang selalu minta ditemani nonton video Gundam tiap malam. Aku tidak keberatan, asalkan dia mau menemaniku. Bukan aku penakut, tetapi beberapa hari ini ada gosip aneh di kalangan tetangga yang menyebutkan bahwa telah ditemukannya mayat seorang perempuan bersimbah darah di rumah kosong terbengkalai di ujung jalan sana.

Yang lebih mengerikan adalah, ujar kesaksian mereka yang sempat melihat mayat itu menyangka ia adalah tuna wisma yang sedang hamil lalu keguguran atau melahirkan tanpa bantuan seorang ahli medis. Perempuan itu meninggal karena kehabisan darah, tentu saja. Bersama bayinya yang prematur.

Aku bergidik membayangkannya. Lalu suara ketukan tadi menyadarkanku, Mina sudah kubiarkan lama di luar sana berteman dengan nyamuk-nyamuk. Aku menghambur dari kamarku, melintasi ruang tamu dan menyambar gagang pintu. Sebelumnya aku mengintip dulu lewat jendela di samping pintu. Tampak punggung Mina yang rambut panjangnya dibiarkan tergerai ke belakang. Ia membelakangi pintu. Aku tidak pernah ingat selama ini Mina membiarkan rambutnya tumbuh sepanjang itu.

Tanpa berpikir yang macam-macam, aku membuka kunci dan membiarkan udara malam menelusup masuk ketika daun pintu terkuak. Dingin sekali dan itulah kenapa saat ini Mina tampak mengenakan pakaian terusan panjang yang nyaris menelan kedua tangannya.

“Mina-ya, apa adikmu tidur lebih cepat malam ini?” Aku menyapanya dan hendak menarik tangannya ketika kusadari warna rambutnya berbeda. Apa gadis ini sudah menyemir rambut cokelatnya menjadi hitam kusam? Helain rambut itu juga agak kusut dan tidak beraturan. Sejak kapan teman baikku yang cantik dan selalu jaga penampilan ini lupa sisiran saat hendak pergi?

“Mina-ya… Kwon Mina…?” ujarku skepstis karena ia sama sekali tidak merespons setiap perkataanku. Aku mundur selangkah, kemudian selangkah lagi di detik berikutnya hingga punggungku bersentuhan dengan pintu. Mina terlihat aneh. Sangat aneh.

Bulu kuduk di belakang leherku meremang tatkala sesuatu yang kukira Mina itu menoleh sedikit ke kiri, menunjukkan kulit wajahnya yang pucat serta matanya yang tertutup poni berantakan. Tak perlu berhitung, aku melompat ke dalam rumah lalu BLAM! menutup pintu rapat-rapat dan bersandar di baliknya.

Keringat dingin bermunculan di keningku dan itu tidak baik. Aku mencengkeram tepian piyama dan merasakan getaran pelan dari dalam saku atasan baju tidurku. Dengan gemetaran aku mengambil ponsel dan membaca pesan masuk. Dari Mina.

Yu, sepertinya aku tidak bisa datang. Adikku mendadak demam tinggi dan aku tidak tega meninggalkannya. Mianhae!

Aku memejamkan mata sangat erat, tubuhku terus menggigil dan mulai berdoa dalam hati semoga ayah dan ibu berubah pikiran hingga memutuskan pulang malam ini juga! Mereka harus membantuku mengusir makhluk menakutkan di depan rumah kami! Aku tidak mau ketakutan sepanjang malam.

Selang beberapa menit, dengkingan mengerikan yang tak ingin kudengar menggema di balik pintu. Seolah menertawaiku, atau juga merasa senang telah berhasil membuatku mengkerut seperti tikus.

“HIHIHIHIHIHIHIHIIIIIII….!!!!!”

 

END

 

Cuma iseng kok nyempilin mbak Kunti di sini xD hihihihiii~

[Art] Asuka’s Art

Asuka’s Art (Manga/Anime)

 

  1. Hanamaru Go! Go!

Hanamaru Go Go

Hanamaru Go Go 2

Tokoh cewek dari komik ini aku lupa namanya, udah lama banget soalnya. Komik Hanamaru Go! Go! itu kutemukan waktu duduk di bangku SMP dan lagi suka-sukanya gambar karakter anime/manga ^^ kalau ada yang tahu namanya, isi di kotak komen ya!

  1. Kanzaki Mei Lin (from Dr. Lin)

Lin

Kalau tokoh peramal cewek ini aku temuin di salah satu majalah anak-anak favoritku waktu SD. Maksudku, majalahnya terbitan jaman2 aku SD, kalau ngegambarnya sih, pas udah SMP he he he~

  1. Sasuke chibi version (from Naruto)

sasuke versi dua lol

Wah kalau tokoh pria dari anime Naruto yang ganteng and cool satu ini pasti udah terkenal banget ya di kalangan para Otaku 😀 siapa lagi kalau bukan Sasuke Uchiha, musuh bebuyutan sekaligus sahabatnya Naruto Uzumaki (lol) tapi maaf maaf kata, aku cuma bisa ngegambar yang versi kiyut alias chibinya doang xD yg original belum pernah dicoba hahaha

  1. Saga & Sugar (from Sugar: A Little Snow Fairy)

Sugar little snow fairy

Yang ini aku belum pernah nonton animenya, tapi keburu baca ulasannya di sebuah majalah mingguan anak-anak. Yang kecil dan punya sayap kayak lalat (?) itu Sugar kalau nggak salah, trus yang gedean itu namanya Saga. Lucu aja gitu liatnya, eh tertarik buat gambar ^_^ hasilnya jelek ya? he he he~

  1. Misaki Mei (from Another)

Misaki Mei (from Another)

Hayoooo… pada tau nggak sama tokoh cewek ini??? Yep bener banget, dia adalah Misaki Mei yang fenomenal dengan penutup matanya di anime horor Another. Si pendiam yang misterius ini, langsung kujadikan tokoh anime cewek favorit c: suram nggak sih?

  1. Yato (from Noragami)

Yato (from Noragami)

Dewa Bencana di anime Noragami yang lumayan konyol namun heroik banget ini bikin jatuh cintrong kyyaaaa xD image-nya itu lhooo… ngangenin uhuk tapi bikinanku nggak mirip kan ya? mencong-mencong hua ha ha ha~

  1. Nora (from Noragami Aragoto)

Nora (from Noragami) - Copy

Ini (mantan) soulmate Dewa Yato, kecil-kecil cabe rawit. Gitu-gitu, Nora adalah regalia panggilan (?) dan punya banyak tuan. Penggambarannya simple, makanya aku nggak ragu-ragu menggoreskan ujung pensil buat menggambar si Nora ini.

  1. Izumi Kyouka (from Bungou Stray Dogs)

Izumi Kyouka (from BSD)

Tokoh favoritku yang teranyar, masih anget hihihihii… Si Kawaii Kyouka aku nyebutnya. Udah pernah kusebut-sebut juga di postingan sebelumnya tentang anime Bungou Stray Dogs. Si imut-cantik ini ribet banget digambar, terutama bagian rambutnya >< menurut kalian, gambarku apa udah mirip sama aslinya?

  1. Rinze & Sayuuki (original chara)

Rinze dan Sayuuki.jpg

Yang terakhir ini nggak dari manga/anime mana-mana, murni kerjaan isengku. Orat-oret bingung mau gambar apa, nyoba deh nyiptain karakter sendiri yang kuberi nama Rinze sama Sayuuki. Aneh ye? XD

 

Sebagian besar gambarnya emang sengaja nggak kuwarnai, hanya diarsir pake pensil, udah. Beberapa ada yang pake spidol jadi lebih tebal dan tegas garis gambarnya, nah sisanya yang masih pensil-pensil juga ngono, yaa karena aku nggak modal xD males beli spidol kecil sekarang ha ha ha ha ha biarlah terlihat lebih natural dan ori ^^

Kalau kalian juga punya hobi yang sama yaitu nggambar, jangan sungkan share aja ke aku ya! Tukeran liat gambarnya gitu he he he he he~

Love Sick [FF anime/Norn9]

Love Sick by Asuka

Rated: T

Romance & Family. No supernatural ability

Pairing: Akito-Nanami

Disclaim: I didn’t own anything beside plot. Norn9 ©Natsuki Takahashi

Asuka © June 2016

Sepasang mata sendu milik Nanami berkedip sesekali waktu sambil disapukan pada wajah-wajah ceria teman-temannya yang sedang seru mendiskusikan masalah liburan atau apalah yang tidak benar-benar ia hayati sejak tadi. Baginya musim liburan bukanlah hal yang istimewa dan perlu digembar-gemborkan. Cukup menikmati butiran salju yang jatuh melalui jendela ditemani seduhan teh atau cokelat cair hangat, sudah luar biasa menurutnya.

Berbanding terbalik dengan Mikoto dan juga Koharu, yang kini sama bersemangatnya seperti Kakeru dan Sakuya. Nanami tersenyum kecut, sudah jadi rahasia umum di antara mereka berlima, di mana ada Koharu, di sana ada Kakeru. Sakuya pun selalu mengiringi Mikoto dan berada di sampingnya nyaris setiap kesempatan. Sudah seperti kekasih. Kenyataan yang tak terbantahkan itu menampar Nanami sebagai gadis yang hanya bisa memandangi seseorang secara diam-diam.

Bukan Nanami tidak menyukai seorang pun siswa di SMA Norn—sekolahnya, tetapi ia memang belum berusaha membuka hati untuk siapapun, kecuali satu orang yang akan kalian ketahui nanti jati dirinya. Kadang ia iri melihat kedekatan Kakeru dan Koharu, atau kemistri antara Sakuya dan Mikoto, karena dirinya tak punya kekuatan untuk seperti mereka. Ia sudah terbiasa sendirian. Menyendiri.

Hari ini saja, jika kedua gadis yang masing-masing berambut pink serta hitam itu tidak menjemputnya ke rumah untuk mejeng ke luar, dapat dipastikan Nanami akan menghabiskan hari dengan duduk melamun di dekat bingkai jendela. Karena paksaan keduanya lah, ia berada di antara empat—tidak, hanya tiga orang karena Sakuya juga tidak terlalu banyak bicara sama sepertinya—yang mulutnya seperti petasan.

“Liburan musim dingin tidak seru kalau hanya di rumah saja. Tahun baru kan sudah lewat, apa rencana kita selanjutnya sambil menunggu tes masuk universitas?” Kakeru, si cowok periang itu menagih ide atau saran dari yang lain. Ia melirik Koharu yang berpandang-pandangan bersama Mikoto.

“Bagaimana kalau menyewa beberapa DVD film lawas dan nonton bersama? Atau mau ke karaoke?” sahut Mikoto yang terkenal dengan ide-ide briliannya. Koharu tertawa kecil, belum mengiyakan. Sementara Nanami lebih banyak diam dan berpikir apa yang menyebabkan Sakuya sampai begitu mengagumi sahabatnya itu mengingat kepribadian Mikoto yang seringkali tak terduga.

“Rekreasi saja, kita ke gunung main ski salju. Kemarin Itsuki senpai menghubungiku, promosi tentang hotel ayahnya yang baru dibangun dan letaknya strategis untuk wisata ski. Mau coba ke sana?” Sakuya akhirnya angkat bicara. Kakeru menoleh cepat padanya, dari binar matanya sih, pemuda berambut blondi itu berminat. Sangat malah.

“Boleh juga! Ayo Koharu, kita terima tawaran senior tajir itu!”

Sekejap, Koharu langsung menatap cemas pada Nanami. Begitu pula Mikoto. Mereka tahu betul masalah gadis itu.

Demo, Kakeru-kun, Nanami-chan ‘kan tidak suka gunung,” sahut Koharu sambil masih menghadap Nanami. Cemas. Mikoto bergabung. “Ya, itu benar. Kalian lupa, Nanami trauma naik gunung? Kau ini bagaimana sih, Sakuya? Kasih saran yang benar dong!”

Sakuya menghela napas mendengar omelan Mikoto. Kakeru menggaruk kepalanya lalu meminta maaf karena salah berkata-kata. Namami merasa tidak enak karena membuat teman-temannya jadi berdebat.

Minna-san, daijobou. Kalau kalian mau pergi, silakan saja. Tidak usah pedulikan aku. Aku hanya akan jadi beban kalian…”

Mikoto makin kalang-kabut melihat kemurungan Nanami. Ia merengut pada Sakuya yang lagi-lagi menghela napas, berusaha sabar menghadapi tempramen Mikoto yang suka naik-turun seperti jet-coaster. Kakeru sudah pasrah kalau Koharu memutuskan menolak ide Sakuya walau dalam hati ia berharap sekali bisa pergi, kan lumayan dapat liburan gratis. Itsuki sejak dulu terkenal sering menraktir teman seangkatan maupun juniornya karena pria itu memang golongan aristokrat.

“Kami tidak akan meninggalkanmu sendiri, Nanami!” tegas Mikoto semakin memupuskan harapan Kakeru.

“Hm. Aku juga tidak jika Mikoto tidak pergi,” sambung Koharu mantap. Lengkap sudah kekecewaan Kakeru. Sakuya memilih mengangguk, tidak ingin membantah Mikoto yang menjunjung tinggi nilai persahabatan.

Gomennasai,” gumam Nanami dengan wajah menyesal. Mikoto segera merangkulnya dan berkata tidak jadi masalah. Koharu pun berpikir keras mencari alternatif lain saat sebuah suara menyatukan kembali kepingan harapan yang sempat terpecah.

“Ayo kita semua ke gunung. Itsuki senpai akan marah kalau tahu Mikoto menolak tawarannya.”

Semua kepala serentak menoleh pada sosok berambut biru yang entah bagaimana sudah berada di sana saja. Terutama Nanami, ia lebih terkejut dibanding teman-temannya dengan kehadiran orang itu. Tak dapat dicegah, jantungnya meronta seperti derap kuda di arena pacuan ketika si Rambut Biru menatapnya. Dialah orangnya, pemuda yang memenjarakan Namami dalam siksa dua perasaan berbeda.

“Akito-kun, tapi Nanami—” perkataan Koharu buru-buru dipangkas Akito, “Trauma maksudmu? Oleh karena itu, kita harus membantunya mengatasi ‘penyakit’ tersebut. Dia tidak akan sembuh selamanya kalau menghindari gunung terus menerus.”

Kakeru maupun Sakuya tidak sempat mencegah Akito yang langsung merenggut pergelangan tangan Nanami, memaksanya berdiri dan mempertemukan netra mereka. Di bawah rinai salju tipis, Nanami merasakan tatapan Akito begitu dingin padanya. Telapak tangannya pun langsung membeku.

“Kau ingin sembuh, kan? Mari kita lakukan terapi sederhana ini.”

*

Paras pria bernama lengkap Itsuki Kagami yang memang sudah tampan sejak lahir itu semakin berseri ketika menyambut kedatangan mereka. Ia menyapa Mikoto pertama kali, membuat Sakuya menggeram. Seniornya itu memang seorang pemuja Mikoto nomor satu dan tidak segan-segan menunjukkan ketertarikannya secara terang-terangan meski di depan Sakuya. Ibarat menantang pesaing untuk perang terbuka.

“Berhenti memanggil Mikoto dengan sebutan Milady,” gerutu Sakuya sarkastik tidak peduli pemilik hotel tempat mereka cek in adalah orangtua Itsuki. Siapa dulu yang ngajakin gencetan senjata?

Mikoto mengabaikan perhatian Itsuki yang monoton, dengan ringan ia menggamit lengan Nanami dan Koharu untuk menaruh barang-barang mereka ke kamar. Para pemuda diantarkan oleh Itsuki ke suite room yang ternyata bersebelahan dengan kamar para gadis. Sebelum melangkah melewati bingkai pintu, Nanami sempatkan diri menoleh pada kelompok Sakuya di sebelah. Kebetulan Akito juga adalah orang yang terakhir masuk.

Mata mereka bertubrukan sesaat sebelum Nanami mengalah, mengalihkan pandangannya ke bawah. Tidak sanggup bertatapan lebih lama dengan Akito. Ia tak kunjung masuk sehingga  pemuda itu menghampirinya. Hanya ujung sepatu Akito yang dapat Nanami lihat selain mendengar suaranya.

“Apa kau gugup?”

Nanami menggeleng dan hendak meninggalkannya saat seruan Akito menjegal langkahnya. “Bohong! Aku bisa lihat kau gemetar sekarang.”

“Kau salah. Aku hanya kedinginan karena pakaianku kurang tebal.” Nanami menjawab tanpa menatap lawan bicaranya namun Akito belum mengizinkannya pergi. Tangan pemuda itu mencengkram lengannya sehingga mau tidak mau Nanami berdongak, memohon agar dilepaskan sekarang juga.

“Apa kau mau hidup seperti ini selamanya?! Kau benar-benar terlihat seperti orang sakit, Shiranui-san. Kau hanya—”

“Cukup, Shukuri-san. Kau tidak perlu memperhatikanku, semua adalah salahku…”

“Berapa kali harus kubilang ka—”

“Permisi, pasangan yang mau bertengkar silakan di kamar saja, OK?” Itsuki tiba-tiba berada di antara mereka, usil menginterupsi sembari mengedipkan mata. Akito terpaksa menyetop kalimatnya sementara Nanami menggunakan kesempatan itu untuk kabur dari situasi genting tersebut.

“Kau benar-benar kecoa pengganggu, senpai!” sembur Akito, dengan gusar meninggalkan Itsuki yang tersenyum puas. Pria berambut ungu itu kemudian berlalu diiringi siulan santai.

Tidak perlu menunggu berlama-lama, besoknya Sakuya dan Kakeru sepakat mengajak para gadis untuk berski di gunung. Pagi-pagi pintu kamar 108 sudah diketuk dan Nanami yang membukakan pintu terpelongo dibuatnya, kedua pemuda itu sudah siap dengan kostum supertebal. Di belakangnya berdiri Akito, berwajah biasa saja. Tidak sebersemangat dua temannya.

“Kalian sudah siap?” Kakeru berusaha mengintip ke balik punggung kecil Nanami, mencari tahu di mana Koharu sekarang.

“Kurasa sudah,” jawab Nanami. Ia menoleh pada Mikoto yang baru saja berdiri di sampingnya, pakaian gadis berambut panjang itu tidak kalah hangat dari yang lain. Koharu menyusul dan membuat Kakeru berdecak kagum melihat keseluruhan warna pink yang dikenakan gadis itu dari atas hingga bawah. Hanya Nanami yang tidak tampak berminat.

“Lho, kau tidak ingin ikut, Shiranui-san?” tegur Sakuya melihat Nanami diam saja, tidak keluar seperti kedua gadis lainnya. Ia hampir menggeleng saat Akito bersuara.

“Tentu dia ikut. Untuk apa ke mari kalau akhirnya mengurung diri saja?” tukas Akito nyaring hingga Nanami mendesis kesal padanya. Kakeru tampak tak setuju, ia bertolak pinggang kemudian menudingkan telunjuknya ke wajah Akito.

“Kau sendiri tadi, nyaris menolak kan? Jangan berlagak sok keren deh…” ejek Kakeru membangkitkan kemurkaan Akito. Mulut pemuda ini tidak bisa ditahan-tahan sedikit saja.

“Akito benar, tuh. Kau harus ikut, Nanami-chan. Para pria ini yang akan melindungi kita selama di gunung nanti. Iya ‘kan, Kakeru-kun?” Koharu meminta dukungan. Kakeru mengangguk lalu menyikut rusuk Sakuya agar mengikutinya.

“Kau harus melawan traumamu, Nanami. Aku yakin kau pasti bisa, ganbatte!” imbuh Mikoto. Terpaksa Nanami mengangguk walau berat sekali. Ia melirik ke arah Akito, menanti respon pemuda itu atas keputusannya. Ekspresinya biasa saja, tidak tersenyum, tertawa apalagi. Nanami tiba-tiba merasa menyesal memilih ikut.

Sementara Mikoto dan Koharu mendandani Nanami, ketiga pemuda itu menunggu di luar kamar dan tak lama Itsuki datang. Sepertinya ia tahu rencana mereka untuk berski ke gunung, atau mungkin ia sendiri yang menyarankan para juniornya itu.

“Kalian bisa ambil perlengkapan skinya sekarang. Mari, kuantarkan,” ajak Itsuki memimpin barisan. Mereka tahu gadis-gadis itu butuh waktu paling tidak setengah jam untuk bersiap-siap, maka agar tidak bosan lebih baik memilih perlengkapan duluan.

Nanami diseret keluar oleh Mikoto dan Koharu ketika punggung keempat pria sudah hampir menghilang di koridor. Segera saja Mikoto menarik keduanya demi menyusul yang lain. Setengah berlari Nanami melihat punggung lebar Akito di depan sana, tampak angkuh bagai tak pernah bisa diraih olehnya.

Mereka mengantri untuk menumpang lift berbentuk kereta gantung menuju ke atas. Itsuki merekomendasikan lift bangku ganda yang masing-masing dapat dimuati oleh dua orang. Nanami tegang karena dengan konyolnya baik Sakuya ataupun Kakeru tidak sudi berpisah dari pasangan mereka. Maka, ia terpaksa satu lift bersama Akito.

Sakuya-Mikoto dan Kakeru-Koharu berada di depan mereka, selama perjalanan naik tak ada percakapan yang terjadi antara keduanya. Nanami sangat canggung meski untuk memulai konversasi sederhana. Pun Akito lebih banyak membuang pandangannya ke samping, menikmati pemandangan pepohonan di sekitar mereka yang dihiasi salju pada pucuknya ketimbang mengajak ngobrol Nanami.

Tubuh bagian kanan Nanami sudah kaku, tidak dapat digerakkan seolah beku oleh dinginnya cuaca. Ia benar-benar payah bila berdekatan dengan Akito, keberaniannya menguap begitu saja. Berbagai perasaan silih-berganti menyapa hatinya, bingung harus menampakkan yang mana.

Perutnya mulai terasa mual ketika mereka tiba di puncak. Dari tempat berpijak, orang-orang yang sudah meluncur lebih dulu terlihat mengecil di antara putihnya salju. Terdengar euforia kegembiraan mereka, Sakuya dkk tidak mau ketinggalan. Tetapi tidak bagi Nanami, bayangan ketakutan itu muncul kembali, menyerangnya tanpa ampun.

Mikoto yang hendak menemaninya sudah lebih dulu didorong oleh Sakuya agar meluncur. Karena kurang siap, gadis itu berjerambab dengan wajah lebih dulu. Ia merasa diremehkan sehingga Mikoto menantang Sakuya berlomba menuruni lereng. Pemuda itu menerimanya dengan senang hati. Apalagi Itsuki ikut ambil bagian juga.

Kakeru lain lagi, ia sibuk mengajari Koharu yang belum pandai benar. Keduanya terlihat lucu layaknya instruktur dan seorang murid kecil. Nanami menyaksikan itu dari atas sepatu skinya dan terus menopang beban tubuhnya menggunakan tongkat. Ia pusing dan limbung, penglihatannya memburam akibat serangan rasa takut. Akito yang menyadari hal itu tidak jadi menyusul teman-temannya, berbalik mendekati gadis itu.

“Kau harus kuat! Aku benar-benar benci gadis lemah.”

Nanami menggigit bibirnya mendengar ucapan Akito. Apa tidak bisa pemuda itu bersikap lebih lembut sedikit saja padanya? Tangannya yang memegang tongkat gemetar, di pelupuk matanya berkelebat potongan-potongan kejadian yang semakin lama bertambah cepat sampai sulit dibedakan, mana kenyataan mana ilusi.

“Shu..kuri-san.. Ak-aku…”

“Jalan saja kalau tidak sanggup meluncur. Sini pegangan padaku.” Akito memberikan tangannya, menyuruh Nanami untuk menggenggamnya. Ragu-ragu, gadis itu meraihnya. Keduanya lalu perlahan menuruni gunung dengan cara berjalan, yang lain sudah jauh di depan sana.

“Atau kau mau kita turun menggunakan lift saja?” tanya Akito, namun Nanami menggeleng. Ia putuskan melawan traumanya, lagipula jika naik lift lagi suasananya pasti akan kembali seperti semula, saling diam dan tak mengacuhkan. Setidaknya, turun dengan cara begini memberinya waktu lebih lama untuk bersama Akito.

“Shiranui-san! Hei, hati-hati!” pekik Akito ketika Nanami terpleset setelah ditabrak salah seorang peluncur lain dari belakang hingga papan skinya terlepas. Benda itu langsung meluncur jauh sebelum sempat diraih. Akito menggerutui seseorang yang menabrak Nanami tadi.

“Aku tidak apa-apa.” Nanami berusaha bangun dan memandang sedih papan skinya yang tinggal sebelah saja.

“Kau tunggulah di sini, aku akan mengambilnya ke sana.” Akito menitipkan tongkat skinya dan bergerak mencari papan ski milik Nanami yang tergelincir agak jauh dari keramaian. Namun dasar Akito ceroboh, ia justru menginjak tumpukan salju yang rapuh sehingga tubuhnya merosot turun tak terkendali. Nanami terkejut, panik karena dalam sekejap si Rambut Biru itu tidak tampak lagi.

“Shukuri-san! Shukuri-san! Kau mendengarku?!” teriak Nanami dari tempatnya. Karena tak ada sahutan, ia memutuskan untuk menyusul Akito. Terlalu lama baginya jika harus memanggil rekan-rekannya. Arah hilangnya papan luncur Nanami pun tidak searah dengan posisi Sakuya beserta yang lain.

“Shukuri-san!” panggilnya lagi. Nanami sudah cukup berhati-hati turun, tidak mau bernasib sama dengan Akito. Setelah beberapa meter, akhirnya si Rambut Biru tampak sosoknya. Ia terduduk di atas hamparan salju dengan sebagian tubuh berwarna putih. Cepat-cepat Nanami menghampirinya.

“Shukuri-san! Daijobou?” Gadis itu bersimpuh di sampingnya sambil membantu Akito membersihkan pakaiannya dari salju. Ia kaget juga, tidak menyangka Nanami mampu menemukannya.

“Tidak ada yang luka atau pun terkilir. Tapi aku tidak menemukan papan skimu,” jelasnya kemudian berdiri diikuti Nanami.

“Lupakan papan skinya. Kita harus kembali dan bergabung bersama Sakuya dan yang lain.” Nanami berniat mendaki landasan tempatnya datang tadi namun tiba-tiba angin kencang berhembus, menerbangkan butiran salju lebih banyak dari langit. Perubahan cuaca yang ekstrem.

Akito menyadari sesuatu. “Sial! Kalau tidak bergegas kita bisa terjebak. Kupikir ini tanda-tanda terjadinya badai salju!”

Nanami tersentak dan pikiran-pikiran paranoid itu menghantuinya kembali. Padahal beberapa saat yang lalu ia mampu mengendalikannya, kini sudah payah lagi. Ia tidak peduli bagaimana Akito menyeret tangannya agar bergerak lebih cepat, kepalanya mendadak pening.

“Kau ini manusia atau siput, hah?! Lamban sekali!” Akito memarahinya sementara badai salju bertambah hebat. Nyaris tak ada yang dapat dilihat, jarak pandang semakin terbatas.

Bibir Nanami gemetar kedinginan, sama seperti wajah Akito yang memucat. Pria itu tidak kenal kata menyerah, ia terus menarik lengan Nanami dan melangkahkan kaki yang beratnya minta ampun. Tak diragukan, mereka sukses tersesat.

“Shukuri-san, tinggalkan saja aku. Kau tahu, aku hanya menghambat perjalananmu. Pergilah selamatkan dirimu,” ujar Nanami. Akito berang mendengarnya dan berbalik untuk memarahinya.

“Kalimat bodoh macam apa itu, hah? Kita pergi berdua!” Digantinya strategi karena melihat Nanami yang sudah kepayahan dan tidak sanggup lagi berjalan. Akito meminta gadis itu naik ke punggungnya namun Nanami menolak. Ia tidak ingin menjadi beban bagi pria itu.

“Dasar keras kepala! Ya sudah kalau itu maumu. Tetaplah di situ sampai orang-orang menemukan mayatmu!” Usai berkata demikian, Akito berbalik dan sungguh-sungguh meninggalkan Nanami. Sekejap saja punggungnya tidak terlihat lagi.

Kini Nanami menangis di tengah badai, menyadari bukan apa-apa di mata Akito. Ia tidak marah pada Akito yang memilih pergi karena ia sendiri yang meminta seperti itu. Akito pantas mengabaikannya setega itu setelah apa yang sudah diperbuatnya di masa lalu. Ia telah menyakiti Akito. Mungkin ini hukuman yang pantas baginya.

Entah sudah berapa lama Nanami menjatuhkan air mata yang kemudian langsung membeku diterpa badai, sesosok bayangan mendekat ke tempatnya. Nanami kira itu monster gunung atau siluman apalah, namun ternyata sosok besar tersebut adalah Akito. Ia kembali.

“Aku menemukan pondok di depan sana, kita bisa menunggu di situ sampai badainya reda.”

Nanami berhenti sejenak menangis, menatap Akito yang berjongkok di depannya. Bibir pemuda itu lebih membiru dari sebelumnya namun pancaran semangat masih menyala pada kedua matanya. Ia meraih lengan Nanami, mengajaknya bangkit menuju pondok yang ia maksud.

Doushite? Kenapa kau kembali, Shukuri-san?”

Baka. Sampai beku juga aku tidak akan meninggalkanmu sendirian. Tadi itu aku cuma memastikan apa ada jalan atau tidak. Kurasa kita masih punya harapan.”

Nanami menutup mulutnya hingga mereka sampai di pondok kayu yang cukup besar. Tampaknya tempat itu memang sengaja dibangun sebagai tempat beristirahat bagi pengunjung ketika ada badai salju dadakan seperti saat ini.

“Ayo masuk.” Akito membuka pintunya dan membiarkan Nanami masuk lebih dulu. Di sana ada perapian dari tanah yang segera dinyalakan oleh Akito agar mereka merasa lebih hangat. Setelah suhu di dalam pondok itu sudah cukup untuk mengerami sebutir telur ayam, mereka hanya duduk tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Badai masih menderu-deru di luar sana.

Nanami duduk di sudut pondok, sementara Akito lebih dekat ke perapian. Sadar gadis itu terlalu jauh, ia menyuruhnya mendekat agar tidak mati beku. Nanami memandanginya cukup lama seolah berpikir-pikir lagi tentang perintahnya.

“Aku tidak akan menerkammu, percayalah. Aku bukan serigala kelaparan. Jadi mendekat saja.” Akito dongkol dipandangi seperti pria mesum oleh Nanami. Sedikit demi sedikit gadis itu beringsut ke perapian, namun masih menjaga jarak.

Nanami melipat kedua kakinya dan memeluk itu, kemudian menaruh dagunya di atas lutut. Akito hanya meliriknya sekilas dan bernapas lega karena gadis itu tidak akan mati di sana.

Gomennasai.

Jika boleh bosan, Akito sudah jemu mendengar permintaan maaf dari Nanami. Kalimat itu berulang kali keluar dari bibir gadis itu dan selalu berhasil membuatnya kesal. Sekarang juga.

“Berhenti mengucapkan itu atau aku akan mengusirmu ke luar,” gertaknya. Nanami tak menggubris, lurus-lurus menatap ke dalam api yang kemerahan. Di sana ia melihat bayangan dua orang anak kecil berlarian, saling kejar di antara gelak tawa riang. Bayangan masa lalunya.

Akito menatapnya tanpa tahu apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Yang ia tahu sekarang Nanami hanya memandang ke arah api dengan mata sendunya dan diam membisu. Akito khawatir jangan-jangan Nanami kerasukan penunggu pondok, namun prasangkanya terbantahkan saat sebuah nama tercetus.

“Senri-kun…”

Akito terbelalak mendengarnya. Sudah lama sekali ia tidak mengungkit hal itu, sejak sembilan tahun lalu. Sejak polisi berhenti mengusut kejadian tersebut. Sejak jasad Senri ditemukan dan dimakamkan.

Nanami terus mengingatnya dengan baik, ketika teman masa kecilnya, Senri yang pendiam dan memiliki mata sekelabu rambutnya itu tertawa lebar akibat leluconnya. Sebagai bocah SD labil mereka selalu berkomplot melakukan kudeta terhadap Akito yang kala itu jelas-jelas seumuran dengan Nanami, namun gadis kecil itu kelihatannya lebih suka bergaul bersama Senri.

Setiap pulang sekolah Nanami mengajak Senri untuk bermain. Waktu kanak-kanak mereka tinggal di desa, yang masih memiliki banyak lahan hijau bersih untuk memuaskan dahaga masa kecil. Nanami merasa tak perlu mengenal Akito pada saat itu, pikirannya hanya dipenuhi rencana menceriakan Senri. Karena Nanami tidak punya adik, ia anak tunggal.

Senri pun senang menghabiskan sisa hari di dekat Nanami, gadis itu selalu memahaminya ketimbang Akito yang lebih sering mengajaknya ribut. Senri dan Akito tak pernah terlihat akur, setidaknya begitu menurut pengamatan Nanami selama ia mengenal mereka.

“Senri-kun.. Apa kau merindukannya, Shukuri-san?” Nanami bertanya lalu membenamkan wajahnya di antara lutut.

“Jangan membahas itu sekarang, Shiranui-san. Senri sudah damai di sana.”

De-demo… Aku yang membuatnya pergi, aku mencelakainya!”

“Berisik! Bisa tidak kau diam saja?!” bentak Akito tepat di telinga Nanami. Ia tidak tahu kejadian pastinya, sembilan tahun silam Nanami dan Senri tidak pulang selama sepuluh jam selepas mereka pamit pergi bermain di bukit belakang sekolah. Setelah berhasil membuat semua orang geger, Nanami muncul dengan wajah kotor penuh debu dan air mata, melaporkan telah kehilangan jejak Senri.

“Andai siang itu aku tidak mengajaknya menangkap kupu-kupu, Senri pasti masih hidup sekarang. Jika saja anak baik hati itu membiarkanku jatuh ke lubang, nasibnya akan berbeda,” Nanami terisak hebat. Ia ketakutan melihat Senri mempertahankan nyawanya pada seutas akar ringkih setelah berusaha menyelamatkannya yang secara ceroboh tergelincir saat hendak menggapai seekor kupu-kupu cantik.

Nanami sudah mengulurkan tangannya sejauh yang ia bisa, tetapi tetap saja Senri tak bisa ia raih. Bocah yang tadinya juga ketakutan itu, justru tersenyum hangat di detik-detik sebelum tubuhnya terperosok lebih dalam. Senang saja karena Nanami selamat.

‘Syukurlah, Nanami. Sayonara…’ Itulah kalimat terakhir Senri yang dibalas raungan keras oleh Nanami. Air matanya berjatuhan menyaksikan tubuh ringkih itu ditelan kegelapan jurang. Beberapa hari setelahnya jasad bocah lelaki itu ditemukan di dasar jurang, penuh luka dan beberapa bagian tulangnya patah. Nanami beruntung masih bisa pulang dan melapor pada orang dewasa.

“Akulah yang menyebabkan kematian Senri!” jeritnya lagi sambil memegang kepala.

Yang membuatnya frustasi bukan saja kematian Senri namun seiring waktu, Nanami tak mampu mencegah perasaannya bertumbuh untuk Akito. Keduanya selalu bertemu di sekolah yang sama, entah karena orangtua mereka yang sengaja menyekolahkan anak-anak itu di satu tempat atau takdir sendiri yang menuntunnya. Rasa suka itu tumbuh beriringan dengan perasaan bersalah di hatinya.

Akito sudah tidak tahan, ia meraih kerah mantel Nanami dan menariknya dengan kasar, seolah mengajak seorang pria untuk berduel.

“Apa kau sudah gila?! Sadarlah, Shiranui! Bangun jika kau sedang bermimpi buruk!”

Nanami menemukan sepasang mata Akito yang berair tepat di depan wajahnya. Walau hanya berpenerangan dian di perapian, hal itu dapat ia lihat dengan jelas. Sesak di lehernya akibat cengkraman Akito pasti belum sebanding dengan sakit hati yang diderita pemuda itu dulu.

“Maafkan aku, Shukuri-san.. Kuizinkan kau untu—”

“Meski aku membunuhmu, Senri tidak akan hidup kembali.” Akito meraih pundak Nanami. Gadis itu menyangka Akito akan mencekiknya sampai mati alih-alih merengkuhnya seerat ini.

“Aku tidak pernah menyalahkanmu, Shiranui-san. Aku justru berterima kasih padamu karena berhasil membangkitkan semangat Senri. Enam bulan sebelum kejadian itu, Senri divonis mengidap penyakit langka yang tak bisa disembuhkan dan menurut dokter sisa umurnya tidak sampai setahun. Aku yang sulit menerima kenyataan, bukannya menyenangkan Senri malah membuatnya kesal dan membenciku. Kupikir lebih mudah merelakannya kelak, jika aku dan Senri bermusuhan saja.”

Kantong mata Nanami tidak mampu berhenti memproduksi cairan demi mendengar pengakuan Akito. Sebuah kenyataan yang tidak ia ketahui selama ini tentang Senri. Keduanya melonggarkan pelukan dan kepala Akito tertunduk dalam, menyembunyikan sungai kecil yang bermuara pada sepasang matanya.

“Shukuri-san…”

“Maka dari itu, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, Shiranui-san. Kau tak perlu mati demi Senri.”

Nanami tersenyum sedih memandang wajah Akito yang basah. Dengan jemarinya ia menghapus jejak air mata pada paras si Rambut Biru itu dan kembali merengkuhnya dalam sebuah pelukan. Berbagi rasa kehilangan yang sama menyakitkannya.

*

Badai salju sudah reda, begitu pula badai abadi dalam hati Nanami. Terusir setelah bertemu badai yang serupa dari Akito. Mereka meninggalkan pondok ketika senja menjelang dan bertemu tim penyelamat yang dikerahkan Itsuki saat menyadari dua orang juniornya belum juga kembali ke hotel.

Sakuya dan Kakeru menghambur memeluk Akito tidak peduli pada tatapan orang-orang di lobi hotel. Pemuda itu menggeliat jijik melepaskan diri dari keduanya. Mikoto yang memberikan jaket ekstra untuk Nanami mencium ketidakberesan antara keduanya.

“Hei, kalau tidak salah tadi waktu kalian tiba di sini, Akito menggenggam tangan Nanami deh…”

Memerahlah seluruh wajah Akito mendengar hipotesa Mikoto yang memang memiliki penglihatan sejeli elang. Nanami hanya tersipu-sipu sambil menutupi separuh wajahnya menggunakan syal pemberian Koharu.

“Benarkah itu, Akito?” Kakeru sengaja membuat suaranya menjadi genit. Sakuya terpingkal-pingkal melihat temannya yang terkenal tsundere itu gelagapan.

“Wah wah.. terjebak dalam badai tidak selamanya buruk ya…” seloroh Koharu sambil menyenggol Nanami hingga gadis itu membentur lengan Akito. Ia melirik Akito yang memalingkan wajah, masih bersemu merah.

Ketika semua orang belum bubar, Akito menyambar lengan Nanami dan buru-buru menariknya meninggalkan keramaian. Dari Sakuya sampai Itsuki terheran-heran melihat keduanya, bahkan Nanami sendiri bingung dan menoleh ke sana ke mari karena diseret-seret.

“Heiii! Petugas belum selesai meminta keterangan dari kalian!”

Akito mengabaikan teriakan Itsuki sementara Nanami berusaha menggapai lengan besar pemuda itu untuk menghentikannya. Mereka baru berhenti di depan lift dan Akito menekan tombol di dinding berdasarkan nomor lantai di mana kamar mereka berada.

Begitu sudah di dalam, Nanami melihat Akito berdiri menghadapnya. Ia tidak bisa menerka-nerka tindakan apa yang selanjutnya akan dilakukan pemuda itu.

“Tentang kejadian di pondok tadi, jangan katakan pada siapa-siapa,” ucapnya serius.

“Apa? Oh, tentu saja.” Nanami mengangguk. Ia segera berpaling demi tersenyum tanpa ketahuan. Rahasia yang hanya diketahui olehnya dan Akito bertambah menjadi dua sekarang, dan itu membuatnya merasa diistimewakan.

“Jujur saja, aku tidak pernah membencimu. Sikapku selama ini semata-mata karena susah sekali mengajakmu bicara. Aku harus berpura-pura memarahimu dulu agar punya alasan berbicara denganmu. Tapi jangan kira aku menyukaimu ya—”

“Aku tahu, aku tahu!” Kali ini Nanami tersenyum lebar hingga mata ungunya tenggelam, memperlihatkannya pada Akito yang memerah lagi seperti daging kepiting yang sudah direbus terlalu lama. Nanami yakin tak perlu lagi menyembunyikan perasaannya. Show it now.

 

 

Fin.

 

 

 

Hoo… what is this? Berhubung lagi pengen nyoba bikin fanfic anime, ancur-ancuran hasilnya :p semoga ngerti sama ceritanya, eh kalau belum kenal para pemainnya (?) bisa googling sendiri yak, di google banyak kok suka pilih xD

Kasi aku saran, kritik apalagi, buat FF anime pertamaku yang kacau ini, ya? Onegai shimasu~ Oya, happy fasting all ^/\^

[Review] Bungou Stray Dogs OST

Ulasan singkat Anime Bungo Stray Dogs plus OST

 79409

Belakangan lagi pada rame nonton Anime apa? Tiap musim beda-beda ya, pas summer biasanya yang horor misteri, winter lain lagi, trus spring ada juga, pokoknya tiap musim (season) pasti ada aja anime yang rilis entah baru permulaan atau yang udah masuk season duanya. Tapi yang nggak kenal musim so pasti Doraemon sama Naruto (LOL)

Nah salah satu anime yang menarik di musim ini, adalah Bungo Stray Dogs atau biasa aku singkat sebagai BSD. Sebenarnya aku bukan mau ngebahas tentang anime yang satu ini, melainkan lagu penutupnya (closing theme). Kan jarang-jarang ada OST anime yang ngena di hati (cihuuyy^^) kayak BSD ini. Yang opening theme nggak jelek juga sebenernya, tapi aku lebih ngefeel sama closingnya, beneran dah!

Meskipun BSD ini termasuk anime yang rada kocak, plus terdapat unsur violence di dalamnya, tapi sumpah deh kalian harus dengerin closing theme-nya yang berjudul Namae wo Yobu yo, penyanyinya Luck Life, band Jepang gitu. Official MV dari grup itu juga ada kok, untuk di BSD sendiri lagunya terbatas banget, cuma semenit beberapa detik doang. Padahal durasi lagu aslinya sampai empat menitan. Kerennya, walau cuma semenit lebih dikit, lagu itu enak banget didenger dan bikin nagih. Boleh kubilang melow drama gitu, kebalikan dari cerita BSD itu sendiri yang berkisah tentang aktivitas para Detektif di Agensi Bersenjata melawan para Anggota Geng Port Mavia di Yokohama, Jepang.

bungo-stray-dogs-2

Ngomongin masalah OST BSD, nggak lengkap kalau misalnya aku nggak nyeritain sedikit aja tentang animenya itu sendiri. BSD itu tokoh utamanya Nakajima Atsushi, seorang anak muda terlantar yang sudah itu terusir pula dari panti asuhan tempatnya bernaung. Dia diusir karena ternyata bisa berubah jadi harimau di saat-saat tertentu. Nah, setelah pengusiran itu, Atsushi yang luntang-lantung di jalan kelaperan dan berniat ngerampok orang lewat di pinggir sungai tempat dia nongkrong. Sampai tiga target, dibatalin melulu soalnya korban nggak sesuai sama kriterianya Atsushi, maksudnya tuh bukan tandingannya dia. Terang aja, yang mau dirampok tentara lagi latihan hahahaha xD

Terakhir, ada orang hanyut di sungai dengan kepala di dalam air, Cuma kakinya yang ngangkang di permukaan sungai (sumpah ini orang gila atau stres aku udah sumpahin begitu wkwkwk), si Atsushi jadi bimbang ‘dirampok nggak ya?’ tapi pada akhirnya sisi kemanusiaan Atsushi mendominasi maka nyeburlah dia ke sungai buat nyelametin orang yang tenggelam itu. Sudah diseret ke tepian, bukannya terima kasih, orang aneh itu malah ngomelin Atsushi kenapa pake nolongin dia segala. Atsushi pun melongo, ternyata orang itu lagi mencoba bunuh diri dengan gaya terbaru (katanya) dan Atsushi udah ngebikin rencananya gagal total.

Itulah awal mula pertemuan tokoh utama dengan tokoh utama protagonis kedua. Orang aneh yang mau bunuh diri itu namanya Dazai Osamu, anggota Agensi Detektif Bersenjata, punya kemampuan supernatural yang … wuah aneh-aneh lah pokoknya xD selain Dazai, ada 6 orang lagi yang juga punya kekuatan magis. Tentunya, para musuh mereka juga nggak kalah aneh kekuatannya serta mencengangkan. Dengan bergabungnya Atsuhi, jadi delapan deh anggota Agensi Detektif Bersenjata.

Perjalanan Atsushi bersama Agensi Detektif Bersenjata seru bukan main dan penuh kekocakan super konyol. Ada juga sih saat seriusnya, romantis juga ada, tapi dikit bingits T.T antara Atsushi sama Kyouka (mantan kaki tangan Port Mavia). Nggak tahu deh endingnya gimana itu Atsushi sama si kawaii Kyouka, juga Dazai yang punya rahasia kelam yang nggak mau dia bagi-bagi sama anggota detektif lain -,,- kan masih ongoing, baru juga nyampe episode tujuh kemarin.

18366984

Ada yang berprasangka dengan closing theme-nya yang galau gila itu, kalau endingnya tidak bakal happy end. Huwaaa ekspektasinya nakutin ah! Semoga happy end, yah paling nggak jangan ada yang mati dehh tokoh protagonisnya. Mewek-mewek dikit nggak papa lah, asal jangan sampai bikin penonton nangis bombay huhuhu~

Nah, selain closing theme-nya yang aduhay itu, tema secara keseluruh anime ini juga cukup bagus kok. Karakternya juga kuat-kuat, berciri khas. Kualitas gambarnya juga lumayan, walau seringkali berubah konyol (lol). Sayangnya unsur kekerasan kayak mutilasi, dor-doran, bom sana-sini, banjir darah, bunuh-bunuhan dan yang paling aku nggak suka yaitu ambisi Dazai buat mencoba bunuh diri secara konstan. Hobi kok bunuh diri? Yang benar aja! Tapi terlepas dari itu, anime ini bisa diperhitungkan kok ^_^

aeddb2c1a2b79dae0fa05e3883668f18

Oh ya, dan lagi menurutku BSD nggak sekadar nampilin gambar bergerak tanpa pesan apa-apa di dalamnya. Sejauh ini aku udah bisa narik kesimpulan tentang pesan moral pada BSD: “Setiap orang memiliki kelebihan serta kekurangan juga potensi di dalam dirinya. Jika bisa memanfaatkan potensi dan kelebihan tersebut, niscaya ia akan berguna bagi orang lain.”

Itulah gambaran Atsushi yang terbuang kemudian bangkit lagi dengan bantuan ‘Bapak’ asuhnya: Dazai, untuk menemukan potensi diri dan bersama mengembangkannya di ‘wadah’ yang tepat. Anime ini juga mengajarkan tentang loyalitas terhadap tempatmu bekerja, kesetiaan dan persahabatan meski dibalutnya menggunakan kekoyolan 😀

Back to the OST yang berjudul Namae wo Yobu yo tadi, sejak pertama kali dengar closingnya itu, aku langsung negasin kalau aku suka lagunya! Hahaha… bukan sekali ini juga sih tiba-tiba suka sama OST anime, OST Noragami yang bagian closingnya aku juga suka. Trus, OST Inuyasha dulu juga, sampai bela-belain ngedonlot. OST Kekkaishi yang Akai Ito, sama Natsuyuki Rendezvous. Tapi nggak ada yang se-ngejleb ini xD Intinya sih, kalau kalian penasaran sama lagunya, silakan search di google atau streaming di youtube, atau sekalian langsung donlot aja.

Pokoknya ini cuma pendapatku ya, silakan mau setuju atau nggak, tertarik nonton apa nggak. Happy after all ^^ ❤

 

credit foto: on photos ^^

[Ficlet] The Jail

penjara-2

The Jail

Story by: Asuka

Starring by:

Shin Jimin (AOA)

Song Seunghyun (FTISLAND)/cameo

Ficlet | Horror | T

31/12/2015

“Selamat datang di penjara.”

Jimin mengorek-ngorek lantai penjara yang berada di bawah kakinya menggunakan ujung sendok yang tumpul hingga menimbulkan bunyi yang menyakitkan telinga. Ia hampir menangis jika mengingat nasibnya yang harus menginap di hotel prodeo selama beberapa waktu karena kesalahan konyol.

Jimin dituntut karena telah menjual produk kosmetik palsu secara ilegal yang ia order dari seseorang lalu menjualnya pada sekelompok gadis teman kantornya. Dan sekarang, Jimin merasa dirinya lah pihak yang paling dirugikan. Sudah tidak dapat untung sepeser pun, dijebloskan ke dalam sel tahanan pula.

Ia terus menerus insomnia semenjak memasuki penjara, tidak tahan dengan dinginnya tempat itu. Kantung matanya menebal dan sangat hitam sekarang. Malam ini juga sama, Jimin tidak bisa tidur sementara teman satu selnya sudah nyenyak sedari tadi tanpa peduli pada nyamuk-nyamuk.

Matanya menatap muram dari balik jeruji besi, berharap waktu cepat berlalu dan segera bebas dari sana. Sesaat kemudian, terdengar erangan halus dari sampingnya. Wanita yang tadi tertidur kini meringkuk gelisah dan menekan-nekan perutnya. Jimin beringsut mendekatinya.

Ahjumma, gwaenchana-yo?”

Tak ada jawaban. Hanya keluh kesakitan yang semakin keras. Jimin panik, sepertinya sakit wanita itu serius. Ia segera melompat menuju bibir sel, mencari sipir penjara yang bertugas.

“Pak Polisi! Di sini ada yang sakit! Bisa tolong kemari?! Pak Polisi!!!” jeritnya sambil mengentak-entakkan kaki. Sipir penjara segera mendekat dan menanyai kebenaran ucapannya. Siapa tahu itu hanya akal-akalan para tahanan agar bisa melarikan diri ketika ia lengah membukakan kunci.

“Astaga, ini DARURAT, Pak!!!” Jimin berkata seyakin-yakinnya sambil menunjukkan wajah pucat teman satu selnya. Sipir itu percaya kemudian bergerak cepat membuka pintu sel tahanan. Memeriksa kondisi si sakit lalu menghubungi atasannya. Jimin mengelap keringat di keningnya yang bermunculan karena terlalu gugup.

Lima menit kemudian wanita itu sudah diangkut dan dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Setelah semua orang pergi, ruang tahanan itu kembali sepi. Kini Jimin sendirian di dalam selnya. Ia tetap tak bisa tidur, hanya berbaring gelisah menunggu pagi.

Ketika matanya iseng menjelajahi seluruh dinding sel tahanan, netranya terpaku pada sebuah titik kecil pada tembok yang membatasi selnya dengan sel sebelahnya. Jimin bangun untuk memeriksanya. Ternyata titik itu adalah sebuah lubang berdiameter seukuran telunjuk orang dewasa. Tingginya kira-kira sejengkal di atas kepala Jimin. Ia harus berjinjit jika ingin mengintip lewat lubang itu.

Jimin merapatkan tubuh ke tembok, berjingkat semaksimal mungkin dan mengarahkan mata kirinya ke lubang. Sedikit usaha, ia bisa melihat lewat sana. Tapi tak ada yang istimewa, hanya cahaya lampu yang memantul ke tembok yang dapat divisualisasi oleh alat inderanya. Jimin kembali ke tinggi badannya semula, mendengus karena tidak dapat apa-apa.

Namun ia berkedip sesaat, baru saja ada sesuatu yang menghalangi cahaya keluar dari lubang tersebut. Seperti ada yang mengintip juga dari sel sebelah. Jimin kembali mendekat, ia mengulangi perilakunya tadi dan hasilnya mengejutkan. Matanya disambut oleh mata lain.

Jantung Jimin berdebar sesaat. Ia sempat terkejut juga tadi hingga nyaris terjungkal ke belakang. Begitu itu melihat lagi dari jarak yang sedikit lebih jauh, mata pengintip tadi sudah tidak di sana lagi.

“Seharusnya tadi aku tidak iseng, haaahh…” Jimin mengurut dadanya. “Kalau begini caranya aku bisa tewas jantungan.” Ia lalu merebahkan diri sambil masih memandangi lubang di tembok hingga pagi menjelang.

*

Malam-malam selanjutnya, Jimin semakin tidak tenang. Teman seselnya belum juga kembali, kabarnya wanita itu diopname di rumah sakit untuk waktu yang tidak dapat dipastikan akibat menderita gagal ginjal. Sekarang Jimin benar-benar sendiri. Apalagi insomnianya tak kunjung sembuh, masih saja setiap malam ia kesulitan memejamkan mata.

Satu hal yang membuatnya gelisah. Lubang di tembok itu mulai menakutinya. Jimin semakin sering menjumpai seseorang mengintip dari sana. Kadang kalanya, sepanjang malam mata tersebut memandanginya lewat lubang seolah tak pernah lelah dan Jimin tidak suka hal itu. Ia seperti diamati oleh psikopat.

Sesekali memang Jimin memberanikan diri untuk balas memelototi mata itu, namun baru semenit ia sudah tak tahan. Bulu halus di sekujur tubuhnya berdiri hanya karena bertatapan dengan mata asing dari sel sebelah itu. Insomnianya bertambah parah karenanya.

Puncaknya, Jimin menyerah dan berniat melaporkan hal itu pada sipir penjara. Ia memang tahanan, tetapi bukan berarti tidak layak mendapatkan ketenangan. Ketika seorang sipir bertubuh jangkung melewati selnya, Jimin menjulurkan tangan melewati jeruji dan menangkap lengan seragam sang sipir.

“Pak Polisi! Tolong bantu aku!”

Si sipir bertanda pengenal Song Seunghyun itu mengerutkan kening. Sebelum ia sempat membuka mulut, Jimin melanjutkan ucapannya, “Sepertinya ada yang aneh dengan tahanan di sebelah! Ia terus saja mengintipiku lewat lubang di tembok, dan.. dan kalian harus memperbaiki temboknya! Tolong tutup lubangnya!” Jimin berkata tanpa jeda.

Suaranya gemetaran, selaras dengan tangannya yang menggigil. Sipir Seunghyun menatap wajah Jimin dan tangannya secara bergantian, kemudian menenangkan gadis itu.

“Bicara perlahan, Nona. Dan bangunlah apabila kau sedang mengigau.” Jimin heran mendengarnya. Ucapan sipir itu seolah menganggapnya sedang melindur.

“Kau pikir aku tertidur dan bermimpi? Kalau begitu kau boleh masuk dan memeriksa lubang yang kumaksud!” Sekali lagi Jimin menarik lengan sipir Seunghyun dari balik jeruji. Pria itu perlahan melepaskan cengkraman Jimin darinya sambil masih mengerutkan kening.

“Bukan begitu. Tetapi kau mengatakan yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa tahanan di sebelah sini mengintipimu? Sepasang kakinya buntung,” jelas sipir Seunghyun. Jimin seketika terhenyak.

“Mu-mungkin teman seselnya? Aku bersumpah melihat seseorang mengintip lewat lubang itu!” Jimin menunjuk-nunjuk frustasi pada lubang di tembok. Sipir pria itu menggeleng ditambah senyum prihatin. Mungkin baginya ada yang tidak beres dengan otak Jimin.

“Dia sendirian di selnya, tidak ada tahanan lain. Kalau tidak percaya, mari kita buktikan.”

Dengan enteng sipir Seunghyun membuka kunci sel tahanan Jimin. Gadis itu mundur selangkah saat sipir bergerak masuk dan meraih pergelangan tangannya, mengaitkan borgol di lengan kanan Jimin kemudian memasang yang satu lagi di lengannya sendiri. Ia lalu mengajak gadis itu ke sel sebelah.

Jimin mengintip melalui punggung lebar pria berseragam coklat pucat itu untuk menengok ke dalam sel, dan seperti yang dikatakannya tadi di sana hanya ada seorang tahanan yang kedua kakinya buntung sebatas lutut.

“Lihat sendiri, kan? Bagaimana bisa ada yang mengintip seperti laporanmu tadi?”

Jimin mengabaikan perkataan si sipir, tangannya yang bebas meraba dinding di mana ketika ia berdongak tampak lubang yang menembus sampai ke selnya. Namun dengan kondisi tahanan tersebut, mustahil memang ia mengintip lewat lubang itu. Terlebih tidak ada satu pun kursi atau meja di ruang tahanan tersebut yang memungkinkan untuk digunakan sebagai alat memanjat.

Sementara sipir berbicara pada tahanan, menjelaskan tentang maksud kunjungan mereka, Jimin merasa suhu mendingin drastis. Tengkuknya seakan dijalari es balok. Dan sesuatu yang menjadi sumber dari rasa dingin itu amat dekat. Suara-suara yang tadi bergema di pendengarannya kini mendadak lenyap, terisi oleh keheningan yang menakutkan.

Jimin memutar lehernya yang kaku untuk menoleh pada sipir dan tahanan di ruangan tersebut, keduanya sama-sama menunduk dan itu aneh menurut Jimin.

“P-pak Polisi, bi-bisakah kita kembali ke selku saja?” Jimin mencoba untuk berani namun tetap saja ia ketakutan setengah mati. Mereka bereaksi, mengangkat wajahnya yang ternyata sangat pucat disertai timbulnya urat-urat kebiruan di sekitar leher, pipi dan juga kening. Mata mereka pun hitam berlubang menatap kosong pada Jimin.

Air mata gadis itu nyaris menitik namun tak bisa lari karena masih terbelenggu oleh borgol yang mengekang lengannya. Jimin memohon tidak ingin berada di sana, bersama dua orang yang semakin terlihat menyeramkan. Mereka menyeringai, bersamaan Jimin yang sudah tidak bisa lagi merasakan kedua kakinya, lembek seperti jeli.

“Selamat datang di penjara.”

 

END

 

Tragis? Sadis? Whatever lah xD